Oleh Frans Anggal
Saat melakukan pencerahan dan penguatan tolak tambang bagi masyarakat Kedang dan Leragere di Lembata, Pater Mikhael Peruhe OFM dari Tim JPIC SVD-OFM berkata sangat tandas.
“Kami tidak sedang mencari uang untuk serikat-serikat kami. Kami hadir untuk Anda semua yang gelisah. Kami solider dengan perjuangan untuk bertahan hidup dari ladang dan laut. Kami tidak tutup mata dengan kegelisahan Anda semua. Ketika Gereja menutup mata di hadapan persoalan seperti ini, sesungguhnya Gereja sedang membahayakan tugas perutusannya sendiri. Kami tidak mungkin hidup dengan tenang kalau mendengar jerit kegelisahan Anda semua di Kedang dan Leragere ini.”
Di Flores yang mayoritas penduduknya Katolik, Gereja masih dipandang sebagai organisasi yang memiliki kompentensi moral dan sosial. Oleh karena itu, hierarki Gereja masih selalu dipakai sebagai tolok ukur untuk menentukan sikap. Masyarakat membutuhkan referensi dari hieraki Gereja.
Yang terjadi dalam kasus tambang emas di Lembata, Gereja lokal justru tidak memiliki posisi yang jelas. Para pastor se-Dekenat Lembata telah secara tegas menolak tambang. Namun bagaimana mereka bisa berlangkah lebih jauh kalau tidak ada legitimasi dari uskup. Terlihat jelas ketidaksinkronan antara sikap hierarki dan sikap pribadi para pastor.
Keadaan ini membawa dampak serius. Muncul kebingungan di kalangan umat. Tidak hanya bingung, mereka mengalami gejala hilangnya pegangan bersama. Kegamangan seperti inilah yang justru dengan mudah dimafaatkan secara baik oleh penguasa untuk meraup dukungan. Hal ini dengan sangat telanjang terlihat dalam kasus pilkada Flotim beberapa waktu lalu.
Pada pilkada Flotim, sekelompok kecil imam boleh protes, tapi penguasa hierarki mendukung dan memberkati pembangunan monumen-monumen keagamaan, bangunan publik, dan kapal bermasalah, di tengah kemiskinan rakyat. Bupati Felix Fernandez kala itu mampu ‘menyogok’ dengan pembangunan publik dan sumbangan dua mobil untuk Keuskupan Larantuka. Banyak pastor juga mendapat sumbangan dan fasilitas dari bupati. Sehingga pada gilirannya ketika pejabat politik yang berjasa itu mau maju lagi, Gereja tidak bisa bersikap kritis. Sulit menepis kesan bahwa Gereja Larantuka secara hierakis saat itu sedang dimanfaatkan untuk kepentingan politik figur tertentu. Apakah hal yang sama kini menggejala dalam kasus tambang emas Lembata?
Kita berharap Gereja Larantuka tegas memihak yang tertindas. Selaku organisasi yang memiliki kompentensi moral dan sosial serta masih dijadikan tolok ukur menentukan sikap, Gereja tidak boleh suam-suam kuku, apalagi mencuci tangan seperti Pilatus.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 15 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar