16 Februari 2009

Mengapa Membunuh Bayi?

Oleh Frans Anggal

Di Golo Pau, Kecamatan Langke Rembong, Kabupaten Manggarai, orok bayi ditemukan membusuk dalam kantong plastik. Siapa ibu dan ayahnya, belum diketahui. Demikian juga motifnya. Kuat dugaan, bayi itu hasil fornikasi atau hubungan seks di luar nikah.

Pembunuhan bayi memang tidak seheboh pembunuhan massal. Karena itu pula, kasusnya sering mudah terlupakan meski sesungguhnya tak kalah mengerikannya jika semua kasusnya terungkap. Gelapnya kasus-kasus pembunuhan bayi semestinya semakin mendorong kita memikirkan, bukan hanya bagaimana mencegah fornikasi, tetapi juga apa yang harus dilakukan ketika seorang bayi telah dikandung atau dilahirkan di luar pernikahan.

Umumnya strategi etik kita lebih menekankan bagaimana mencegah hubungan seks di luar nikah. Tidak salah. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Namun penekanan yang terlalu kuat pada pernyataan normatif pencegahan bisa melumpuhkan seseorang ketika mengalami situasi nyata. Orangtua si bayi merasa tertekan, tidak saja oleh dosa fornikasi, tetapi juga oleh ganjaran masyarakat. Aiblah yang menjadi sanksi moral yang diganjarkan masyarakat kepada siapa pun yang hamil atau melahirkan tanpa pernikahan.

Aib di sini bukanlah bagian dari konsep moral, melainkan bagian dari konsep sosial. Orangtua bayi menanggung aib bukan terutama karena mereka telah melakukan kesalahan moral, melainkan karena mereka kehilangan identitas dan status lamanya dalam masyarakat akibat tindakannya itu. Pandangan picik ini menyeret mereka pada kesimpulan bahwa jika tak lebih dahulu dibunuh, maka kehadiran si bayi akan ‘membunuh’ mereka dengan menghilangkan identitas dan status sosial mereka. Pembunuhan bayi haram dalam pandangan ini merupakan upaya si pembunuh untuk secara semu mengembalikan identitas dan status sosial lamanya yang telah hilang. Dengan cara ini ia merasa bisa hidup di tengah masyarakat.

Sangat jelas bahwa faktor terbesar dalam pembunuhan bayi haram justru terletak pada tekanan sosial yang diganjarkan masyarakat. Bertolak dari kenyataan ini, kita perlu emperbaiki strategi etik kita yang mungkin kurang tepat selama ini. Upaya pencegahan lewat seruan moral selayaknya dilengkapi dengan keberanian untuk melihat kenyataan. Memang, mencegah lebih baik daripada mengobati. Namun persoalan etika dalam kasus seperti ini bukan peroalan memilih antara yang baik dan yang buruk, melainkan memilih di antara hal-hal yang sama buruknya. Dalam kasus ini, seseorang berdiri antara dosa fornikasi, identitas dan status sosial, situasi keterlanjuran, dan nyawa seorang bayi. Adakah yang lebih berharga daripada memberikan cinta dan kesempatan hidup kepada seorang bayi? Halal ataupun haram prosedur kehadirannya, seorang bayi tetaplah manusia yang memiliki hak hidup dan masa depan.

"Bentara" FLORES POS, Selasa 13 November 2007

Tidak ada komentar: