11 Februari 2009

Agar Kisah Tak Berulang

Oleh Frans Anggal

Di Manggarai, persediaan pupuk SP36 bersubsidi semakin menipis. Tinggal sepuluh ton. Sedangkan Urea dan KCL yang notabene tidak bersubsidi masih cukup hingga Desember 2007. Menurut pihak distributor, SP36 langka karena faktor cuaca yang menyulitkan penyeberangan dari Jawa ke pelabuhan laut di Reo.

Pupuk langka, sudah biasa. Apalagi pupuk bersubsidi. Tata niaga pupuk di negeri ini memang amburadul. Tata niaga bertujuan menjamin ketersediaan pupuk, namun kenyataannya sering kali justru tata niaga itulah biang keroknya. Tata niaga pupuk telah dibongkar pasang berkali-kali. Sayang, apa pun bentuk tata niaganya, pupuk sering langka saat petani membutuhkannya. Ini juga yang terjadi di Manggarai dan pasti pada daerah lain di NTT.

Herannya, mengapa justru pupuk bersubsidi (SP36) yang langka, sementara pupuk bebas (Urea dan KCL) selalu cukup? Pupuk bersubsidi adalah pupuk untuk tanaman pangan. Negara menanggung sebagian biaya pembeliannya dengan maksud agar harganya murah sehingga terjangkau oleh petani. Yang terjadi, harga murah itu justru memicu spekulasi. Sebagian pengecer dan distributor terdorong menimbun dengan harapan harga naik.

Dampaknya semakin parah karena distrubusi pupuk diatur sangat rinci. Secara resmi distributor hanya boleh menyalurkan pupuk bersubsidi ke pengecer terdaftar, dan pengecer kepada petani di wilayah peruntukan yang sudah ditentukan. Kalau di suatu daerah permintaan naik drastis--karena pergantian pola tanam, perubahan cuaca, atau penambahan penggunaan pupuk--maka pupuk bisa hilang dalam sekejap. Ini memicu harga naik. Karena harga naik maka pengecer daerah lain secara ilegal bisa memasok. Akibatnya, di wilayah operasinya sendiri pupuk bisa menjadi langka.

Dampak lain, karena harga pupuk bebas jauh lebih tinggi dibanding pupuk bersubsidi, maka sebagian distributor mungkin secara ilegal menjual pupuk ke perkebunan besar dengan harga lebih tinggi. Akibatnya, pupuk bersubsidi menghilang dari pasaran. Lagi pula, penyelundupan selalu menghalangi pelaksanaan tata niaga. Karena harga internsional pupuk per ton jauh lebih mahal, sebagian pupuk bersubsidi mungkin secara ilegal diekspor.

Sangat jelas, tata niaga pupuk terlalu terbuka terhadap penyelewengan. Kontrol terhadap produsen, distributor, dan pengecer pun lemah. Ini yang harus diatasi. Tata niaga boleh dipertahankan, asalkan perhatikan dua hal ini. Pertama, produsen, distributor, dan pengecer yang bertanggung jawab pada distrubusi pupuk di suatu daerah harus bisa diaudit secara akurat. Kedua, setiap pelanggaran diberi hukuman yang berat. Kalau tidak maka dari tahun ke tahun kisah itu selalu berulang: pupuk langka, petani resah.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 22 Agustus 2007

Tidak ada komentar: