Oleh Frans Anggal
Masalah utama di kabupaten baru Nagekeo, khususnya di ibu kota Mbay, adalah masalah tanah. Hal ini dinyatakan oleh para panelis diskusi Andai Saya Bupati Nagekeo yang diselenggarakan Flores Pos.
Kritisnya persoalan tanah mendorong Penjabat Bupati Elias Djo memikirkan perlunya pembentukan lembaga pemangku adat. Lembaga yang terdiri dari tokoh-tokoh adat ini diharapkan menjadi fasilitator penyelesaian sengketa. Dengan demikian tidak semua kasus tanah perlu dibawa ke meja hijau kalau ternyata bisa diselesaikan di tingkat masyarakat sendiri. Elias Djo menginginkan lembaga ini dikukuhkan melalui peraturan daerah (perda).
Gagasan ini patut didukung. Namun bentuk dukungan yang benar tidaklah dengan mengiyakannya begitu saja. Gagasan itu perlu dikritisi, terutama tentang bagaimana prosesnya dan siapa saja yang akan duduk dalam lembaga pemangku adat dimaksud. Di sini, awasan yang diberikan Yohanes Don Bosco Do, salah satu panelis diskusi, layak diperhatikan.
Masyarakat Nagekeo terdiri dari banyak dan beragam persekutuan adat. Cakupan persekutuan itu pun luas dan bertingkat-tingkat. Ada persekutuan ‘pokok’ yang kemudian berkembang meluas dengan lahirnya banyak persekutuan ‘cabang’ dan ‘ranting’ dari pokok yang sama. Tokoh-tokoh adat baik dari persekutuan ‘pokok’ maupun dari persekutuan ‘cabang’ dan ‘ranting’ perlu terakomodasi dengan secara berjenjang pula dalam lembaga pemangku adat yang dibentuk. Hierarki ini perlu diperhatikan. Ini sangat sensitif. Idealnya, lembaga pemangku adat paralel dengan struktur komunitas adat yang nyata-nyata masih hidup. Dengan demikian, lembaga pemangku adat dirasakan sebagai modifikasi dari struktur adat yang sudah mereka kenal dan hormati. Secara lain dapat kita katakan, jangan bikin struktur yang asing, yang menyalahi, apalagi yang bertantangan dengan strukur adat yang sedang hidup dan dihormati masyarakat. Hal ini perlu diperhatikan. Jika tidak maka lembaga pemangku adat hanya akan menimbulkan konflik baru.
Selain strukturnya harus pas dan orang-orang yang duduk di dalamnya representatif, yang juga perlu diperhatikan adalah proses pembentukan dan perekrutan orang-orangnya. Idealnya, proses itu mulai dari masyarakat sendiri. Sebab, mereka yang lebih tahu apa yang mereka miliki dan apa yang mereka butuhkan. Hindari intervensi pemerintah. Pemerintah hanya sebagai fasilitator. Sekali pemerintah campur tangan terlalu jauh maka lembaga pemangku adat akan terkooptasi, dan itu berarti tidak akan bisa dipercaya oleh masyarakat. Bila itu yang terjadi maka lembaga yang dibentuk itu bukan lagi ‘lembaga pemangku adat’, tapi cuma menjadi ‘lembaga pemangku tangan’ karena tidak ada kerjaan lantaran tidak bisa dipercaya oleh masyarakat.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 3 Juli 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar