21 Februari 2009

Pemanasan Global, Respon Lokal

Oleh Frans Anggal

Pertemuan PBB di Bali tentang perubahan iklim telah berakhir. Besar harapan kita agar hasil pertemuan ini benar-benar akan mengubah banyak hal di negeri ini, terutama dalam hal arah pengelolaan hutan. Sebagai salah satu bentuk respon terhadap kegiatan tingkat dunia ini, hari ini Dian/Flores Pos bersama FIRD menggelar diskusi bertajuk “Pemanasan Global, Respon Lokal”.

Indonesia sebagai negara dengan hutan terluas ketiga di dunia ternyata termasuk negara yang mempunyai tingkat emisi gas rumah kaca relatif tinggi. Ternyata pula sebagian besarnya berasal dari deforestasi (kehilangan hutan) serta kebakaran hutan dan lahan.

Indonesia tercatat mempunyai laju kehilangan hutan 1,8—2,5 juta ha per tahun. Sementara itu, kebakaran hutan tahun 1997/1998 melepaskan emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak hampir 3 gigaton karbon ke atmosfer. Ini setara dengan 13--40% total emisi karbon dunia yang dihasilkan dari bahan bakar fosil per tahunnya. Ini berarti pula menambah kontribusi bagi perubahan iklim dan pemanasan global. Di NTT sendiri , degradasi lahan meningkat sangat berarti. Peningkatannya mencapai 46 persen dari luas wilayah NTT. Keadaan ini diperburuk dengan laju kehilangan hutan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Dampaknya sudah sangat terasa, antara lain berubahnya iklim yang membawa bencana alam. Banjir, tanah longsor, dan kekeringan. Menurut Badan Penanggulangan Bencana Nasional Indonesia, dalam kurun waktu 2003-2005 bencana alam yang terkait dengan cuaca mencapai 1.429 kasus atau 53,3% dari total bencana alam yang terjadi di Indonesia.
Di lain pihak, ketika musim kering melanda, negeri ini menghadapi ancaman kekeringan yang berkepanjangan. Untuk sektor kehutanan, titik api akan semakin parah. Pada bulan September 2006 saja tercatat 26.561 titik api. Jumlah ini merupakan jumlah yang terbesar sejak Agustus 1997 ketika sepanjang 1997 tercatat ‘hanya’ 37.938 titik api.

Tidak bisa dimungkiri lagi, masalah nyata kita adalah kehilangan hutan (deforestasi) dan kerusakan hutan (degradasi). Dalam degradasi, tutupan hutan tidak hilang namun kualitasnya menurun ataupun rusak dan terganggu. Bila deforestasi dan degradasi ini tidak segera dicegah dan ditanggulangi maka dampaknya akan semakin mengerikan. Perubahan pola iklim akan menambah daftar panjang ancaman bagi negeri kita.

Kini saatnya negeri ini, provinsi ini, kabupaten ini memiliki mekanisme yang responsif untuk mengatasi masalah perubahan iklim secara tepat dan efektif. Tindakan pencegahan di level nasional dan lokal perlu dilaksanakan segera bersama-sama dengan inisiatif internasional. Nah, di level lokal, apa respon kita?

"Bentara" FLORES POS, Rabu 19 Desember 2007

Tidak ada komentar: