Oleh Frans Anggal
Jumlah kasus gigitan hewan penular rabies (HPR) di Ngada meningkat. Peningkatan ini tidak diimbangi dengan ketersediaan vaksin anti-rabies (VAR) dalam jumlah yang memadai. Akibatnya, Ngada kekurangan dan akhirnya kehabisan VAR sehingga harus meminta dari kabupaten lain. Kekurangan VAR juga dialami Manggarai Barat.
Kalau dilihat dari seriusnya ancaman rabies, ketersediaan VAR semestinya tidak boleh menjadi masalah. Penyakit anjing gila atau rabies adalah penyakit menular yang akut. Penyakit ini menyerang susunan syaraf pusat, disebabkan oleh virus rabies jenis Rhabdho virus yang dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia. Penyakit ini sangat ditakuti karena biasanya diakhiri dengan kematian. Selain terdapat di susunan syaraf pusat, virus rabies juga hidup di air liur hewan penderita rabies. Oleh sebab itu penularan penyakit rabies pada manusia atau hewan lain terjadi melalui gigitan. Di Indonesia hewan-hewan yang biasa menyebarkan penyakit rabies adalah anjing, kucing, dan kera.
Di Flores-Lembata, upaya pemusnahan total hewan penular rabies, khususnya anjing, terhambat oleh budaya masyarakat yang ‘akrab’ dengan anjing. Pilihan pun jatuh pada vaksinasi anjing secara selektif. Vaksinasi terasa kian berat karena populasi anjing bertambah dari tahun ke tahun. Sejalan dengan itu, kesadaran masyarakat sendiri masih rendah akan pentingnya vaksinasi. Kondisi ini memberi peluang kembali mewabahnya rabies yang ditunjukkan dengan kasus gigitan yang terus meningkat. Sementara itu, VAR yang diandalkan untuk menyelamtakan hidup para korban gigitan selalu saja tidak tersedia dalam jumlah yang cukup. Keadaan ini dialami oleh hampir semua kabupaten di Flores-Lembata.
Di satu sisi kondisi ini bisa dimaklumi karena VAR mahal harganya sehingga membutuhkan dana yang besar untuk pengadaannya. Namun di sisi lain keadaan ini memprihatinkan karena rabies bukan lagi kasus baru di Flores-Lembata. Pulau ini pulau rabies. Oleh karena itu, semestinya tekad membebaskan Flores-Lembata dari rabies menjadi komitmen bersama yang terjelma dalam alokasi anggaran. Di sinilah salah satu titik kelemahan. Kebijakan anggaran belum cukup menunjukkan adanya tekad itu. Tak mengherankan, begitu kasus gigitan HPR meningkat, selalu saja persediaan VAR terbatas bahkan habis.
UU Nomor 6 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, pasal 23, menyebutkan pemerintah menyediakan obat-obatan dalam jumlah yang cukup serta mengatur dan mengawasi perbuatan, persediaan, peredaran serta pemakaiannya. Jelas, pengadaan VAR merupakan tanggung jawab pemerintah. Kita perlu mendesak tanggung jawab itu.
“Bentara” FLORES POS, Kamis 2 Agustus 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar