Oleh Frans Anggal
Iklim yang tak menentu mambawa petaka bagi para petani. Serangan hama datang secara tak terduga dan melenyapkan tanaman yang sudah diusahakan dengan susah payah. Bahaya kelaparan datang mengintip. Bahkan sudah ada warga yang makan isi batang gebang (mbutak) seperti yang terjadi di Manggarai Barat.
Keadaan ini seakan ‘mengolok-olok’ Peningkatan Ketahanan Pangan yang merupakan salah satu program utama Revitalisasi Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan untuk mendukung perekonomian nasional. Fokus peningkatan ketahanan pangan meliputi tiga komoditas tanaman pangan yang memegang peranan penting, yaitu padi/beras (mempertahankan swasembada secara berkelanjutan), jagung (mencapai swasembada tahun 2007 dan daya saing ekspor tahun 2008), dan kedelai (akselerasi peningkatan produksi untuk mengurangi ketergantungan impor).
Di NTT program indah nan permai ini menjadi bukan apa-apa ketika keadaan nyata memperlihatkan anomali iklim yang melipatgandakan hama dan akhirnya menggagalkan panen. Petani kelaparan dan terpaksa lari ke hutan mencari apa yang bisa dimakan.
Terbukti, perlindungan tanaman pangan belum terjamin. Tidak saja untuk NTT, tetapi juga secara nasional. Kita belum memiliki sistem andal dalam peramalan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan iklim. Padahal, keberhasilan antisipasi dan pengendalian OPT sangat dipengaruhi tingkat ketepatan peramalan populasi dan serangan OPT. Demikian pula antisipasi dan penanggulangan banjir dan kekeringan dipengaruhi oleh tingkat ketepatan peramalan iklim.
Hal ini disebabkan antara lain oleh beberapa faktor: masih sedikitnya studi atau penelitian yang mempelajari peramalan OPT di daerah tropis seperti Indonesia, sehingga sangat kurang bahan rujukan; sifat perkembangan populasi dan serangan OPT relatif spesifik lokasi, sehingga tidak ada rumusan yang secara umum dapat digunakan dengan tepat; peramalan iklim baik yang bulanan maupun musiman lebih berskala nasional sementara perilaku cuaca/iklim sangat spesifik lokasi; gejala alam anomali iklim lebih bersifat global, sehingga dinamika prosesnya sulit untuk diperkirakan, akibatnya tingkat ketepatan peramalan menjadi rendah.
Masalah seperti ini tidak bisa diatasi oleh masyarakat petani kita yang masih sangat sederhana. Dalam kasus seperti ini kita memandang pemerintah perlu lebih proaktif dan antisipatif. Tuntutan ini tidak menafikan pergeseran peran pemerintah yang dari semula dominan dalam pembangunan pertanian berubah menjadi fasilitator, stimulator atau promotor agar semua stake holders dapat bergerak dan berfungsi secara optimal. Ini kasus, maka perlakuannya juga harus khusus. Pemerintah perlu lebih proaktif dan antisipatif.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 6 Februari 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar