Kasus Tilang di Maumere
Oleh Frans Anggal
Warga Maumere yang ditilang polantas Polres Sikka protes. Tiap butir pelanggaran dikenai denda Rp75.000. Uangnya disetor ke polantas, namun tanpa kuitansi atau tanda bukti pembayaran. Muncul dugaan, polantas melakukan pungutuan liar. Polantas membantah.
Menurut Kasat Lantas Indra Wijatmiko, pihaknya hanya mengeluarkan blanko tilang, bukan kuitansi. Di dalamnya tercantum jenis pelanggaran dan nilai uang yang harus dibayar pelanggar. “Kami bukan jual kacang seperti di pasar sehingga bisa keluarkan kuitansi. Blanko tilang yang kami keluarkan sesuai kesepakatan tim terpadu.”
Ini gawat. Polantas tidak memisahkan dua tanda bukti yang hakikatnya berbeda. Blanko tilang itu tanda bukti penilangan. Pencantuman nilai uang di dalamnya hanya bersifat pemberitahuan, seperti halnya pencantuan nilai uang dalam surat penagihan. Pencantuman ini mewajibkan tindakan lain, tindakan transaksi, memberi dan menerima uang, yang harus disertai tanda bukti tersendiri. Itulah kuitansi.
Untuk instansi pelayanan publik, kuitansi itu wajib hukumnya. Malah, idealnya, rangkap empat! Kuitansi merupakan bukti akuntabilitas sebuah instansi. Tegasnya, akuntabilitas mengharuskan kuitansi. Karena itu, kewajibkan ini tidak hanya ditujukan kepada petugas selaku pelayan, tetapi juga kepada masyarakat yang dilayani. Masyarakat selalu diimbau: jangan takut minta kuitansi saat bertransaksi.
Dalam kasus tilang di Maumere, imbauan ini dilaksanakan oleh Yonanes Kia Nunang, salah seorang pelanggar. Ia minta kuitansi kepada polantas Yodi Sadipun saat membayar denda Rp150.000 untuk dua butir pelanggaran. Kuitansi ia butuhkan guna mempertanggungjawabkan uang yang ia keluarkan. Polantas tidak berikan kuitansi. Kia Nunang mempertanyakan, mengapa polisi tidak melakukan hal itu.
Pertanyaan ini dijawab enteng saja oleh kasat lantas. “Kami bukan jual kacang seperti di pasar sehingga bisa keluarkan kuitansi.” Ini jawaban ngawur yang tidak menunjukkan kelas yang pantas bagi seorang kasat lantas. Kuitansi itu wajib hukumnya. Nama lainnya “tanda bukti setor”, sebagaimana tercantum dalam Buku Petunjuk Teknis tentang Penggunaan Banko Tilang yang merupakan lampiran Skep Kapolri Tahun 1998.
Jadi, cukup jelas. Alasan yang dikemukakan kasat lantas hanyalah dalih, mencari-cari pembenaran untuk tindakan yang jelas-jelas salah. Kedoknya kelihatan. Kalau ada instansi yang bertransaksi tanpa kuitansi, patut dapat diduga ke mana uang akan lari. Bukan ke kas negara. Tolak kuitansi atau “tanda bukti setor” itu merupakan “tanda bukti kotor”. Polisi kotor tolak kuitansi.
“Bentara” FLORES POS, Rabu 6 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar