13 Mei 2009

Ende, dari Keroyok ke Bom

Ketika Polisi Lamban Tanggapi Laporan Korban

Oleh Frans Anggal

Dua ledakan yang diduga bom ikan menggelar di kompleks Dolog, Ende, Minggu malam 10 Mei 2009. Tempat pengetikan dan tambal ban milik Thomas A Senda berantakan. Pemilik tempat usaha ini tak ada sangkut-pautnya. Sehari sebelumnya, Sabtu malam, terjadi pengeroyokan terhadap seorang warga Paupanda oleh tiga pelaku kompleks Dolog. Sebagai balasan, tempat usaha ini jadi sasaran penyebuan. Rupanya karena para pelaku pengeroyokan biasa mangkal di sini. Tidak dapat orangnya, tempatnya disikat.

Thomas A Senda betul-betul murni sebagai korban. Kita berempati padanya seraya mengutuk tidak hanya amuk massa brutal itu, tapi juga pengeroyokan keji oleh ketiga pelaku. Awalnya memang dari sini. Mungkin juga dari hal lain sebelumnya. Yang pasti, penyerbuan pakai bom tidak terjadi tiba-tiba.

Dalam teorinya, konflik itu bermetamorfosis. Berawal dari benih sampai mencapai bentuknya yang paling matang. Intensitasnya muncul dalam empat tahapan. Mulanya, konflik itu tersembunyi (laten), lalu mencuat (emerging), selanjutnya terbuka (manifes), dan akhirnya meningkat (eskalasi).

Yang terjadi pada Minggu malam itu sudah eskalatif. Konfliknya sudah meningkat secara kuantitatif dan kualitatif. Lihat, dalam kasus awal pengeroyokan Sabtu malam, pelakunya hanya tiga orang. Dalam kasus balasan Minggu malam, pelakunya sudah massal. Dalam kasus awal, aksinya sebatas menggunakan tangan kosong. Dalam kasus balasan, serangannya sudah menggunakan benda tumpul, tajam, dan bom rakitan.

Eskalasi tidak terjadi tiba-tiba. Ada mata rantai proses dan tahapan. Mata rantai ini yang harus segera diputus. Kalau tidak, perkelahian dua ekor semut bisa menjadi pertarungan kawanan gajah. Banyak cara memutus mata rantai konflik. Salah satunya, penegakan hukum. Inilah yang justru lemah dalam kasus di atas kalau penuturan warga Paupanda benar.

Mohamad Daeng berkata: aksi penyerbuan ini dilakukan karena massa tidak puas. Ketiga pelaku pengeroyokan belum diamankan polisi. Penyerbuan ini sebagai bentuk presur karena selama ini warga kompleks Dolog tidak pernah disentuh proses hukum setiap kali melakukan aksi melawan hukum.

Memahami penuturan ini tidak berarti melemparkan semua kesalahan kepada polisi. Semua pihak bersalah. Baik pelaku pengeroyokan maupun pelaku penyerbuan. Begitu juga polisi. Polisi turut berandil meningkatkan konflik ketika lamban menanggapi laporan pengeroyokan. Polisi baru menangkap pelaku setelah massa menyerbu dan korban tak bersalah menanggung akibat .

Pelaku pengeroyokan sudah ditangkap. Bagus. Tinggal otak dan pelaku penyerbuan, serta pembuat, penyimpan, dan pengguna bom. Apakah tunggu amuk massa dulu baru ditangkap?

“Bentara” FLORES POS, Rabu 13 Mei 2009

Tidak ada komentar: