Ketika Mulai Melirik Tambang Emas
Oleh Frans Anggal
Wakil Ketua DPRD Mabar Ambros Djanggat dan Lurah Labuan Bajo Abdul Ipur tersinggung, kecewa, menyesal, dan prihatin. Banyak media nasional tidak tahu letak Taman Nasional Komodo (TNK). Berita menyebutkan, TNK berada di Pulau Sumbawa. Lainnya, TNK masuk NTB. Media sudah begitu, orang per orang apalagi. Ada yang mengira TNK dekat dengan Ambon.
Sampai seperti itu, salah siapa? Ambros Djanggat dan Abdul Ipur menuding media. Media tidak akurat. Benar. Tapi tidak sepenuhnya. Mabar juga bersalah. Malah, kesalahannya paling besar dan menjadi biang kerok. Mau dikenal bagaimana kalau tidak diperkenalkan?
Tak ada kabupaten di NTT yang dikaruniai potensi pariwisata sekaya dan seindah pariwisata Mabar. Mabar punya banyak sekali. TNK hanya salah satunya, sekalgus jadi “ikon”-nya. Kalau sampai cuma TNK yang terkenal, Mabarnya tidak, ini ada apa? Ada yang belum beres. Pariwisatanya belum digenjot optimal. Salah siapa? Media? Lalu, bupatinya?
Yang banyak diharapkan dari Bupati Fidelis Pranda selaku bupati perdana Mabar justru, antara lain, peletakan fondasi, rancang bangun, dan pengembangan pariwisata sebagai leading sector yang menarik sektor-sektor lain. Di jelang senja kekuasaannya, sudahkah itu terwujud? Pasti dijawab sudah. Kalau sudah, mengapa TNK tenar sendirian sedangkan Mabar tidak?
Yang mencengangkan, ketika pariwisata belum sungguh-sungguh dikembangkan, perhatian sudah mulai ke tambang emas. Ini bahaya. Selain dahsyat daya rusaknya terhadap lingkungan, tambang emas membuat penguasa mengidap miopia (rabun jauh). Emas membawa rezeki nomplok (windfall profit) yang membuat penguasa gagal melihat jauh ke depan. Dalam jangka pendek, rezeki nomplok itu menguntungkannya, apalagi kalau mau menang pilkada. Dalam jangka panjang, lain ceritanya.
Dengan rezeki nomplok, penguasa jadi kaya mendadak. Ia tidak lagi bergantung pada rakyat sebagaimana laiknya pemimpin negara demokrasi yang hidup dari pajak. Sebaliknya, ia bisa “beli” rakyat. Keenakan oleh rezeki ini, ia abaikan investasi jangka panjang di sektor non-mineral seperti industri dan jasa. Padahal, emas akan habis. Akhir cerita: begitu emas habis, habislah semuanya.
Indonesia mengalami ini ketika terbuai rezeki nomplok minyak tahun 1970. Minyak mulai habis, Indonesia pun semakin miskin. Inilah yang disebut ‘kutukan sumber daya alam’ (resource curse). Sebaliknya, Jepang, Korea, Singapura. Miskin sumber alam, tapi maju pesat karena terpacu mengkompensasikan ketiadaan sumber alam melalui pengembangan sektor lain seperti teknologi dan jasa.
Sekarang, giliran Mabar. Mulai melirik tambang emas. Pariwisata terancam ditinggalkan. Rupanya kepingin ‘kutukan’ juga.
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 2 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar