Tolak Tambang dan Pilkada 2010
Oleh Frans Anggal
Fraksi PDIP Mabar menyatakan tolak tambang. Tambang merusak lingkungan dan kehidupan manusia. Mabar memiliki banyak sektor andalan yang sudah lama diakrabi masyarakat. Pertanian, kelautan, dan perikanan. Belakangan, pariwisata. Sektor-sektor inilah yang semestinya dikembangkan optimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan PAD. Yang terjadi, sektor-sektor nonmineral ini belum dikembangkan optimal, sekarang mau urus tambang. Malah, ada pihak tertentu yang ngotot sekali. Ini ada apa?
Dalam sikapnya ini, Fraksi PDIP bermain bahasa. Siapa “pihak tertentu”, tidak disebutkan. Juga, “ini ada apa” tidak dijawabnya. Sengaja. Berkabur-kabur dengan pernyataan. Manfaatnya ganda. Pertama, dengan pernyataan kabur, publik tetap tahu siapa itu “pihak tertentu”. Sebab, yang dibaca publik bukan hanya teksnya tapi juga konteksnya. Kedua, dengan pernyataan kabur, Fraksi PDIP merasa bebas dari tanggung gugat.
Begitulah permainan bahasa politik. Santun, tapi sebenarnya tidak sopan. Mirip ketidaksopanan berpakaian. Berpakaian tidak sopan bukannya tidak berpakaian. Tetap berpakaian. Bukannya tidak menutupi aurat. Tetap menutup, namun dengan motivasi sebaliknya. Menutup untuk menonjolkan. Seandainya cara berpakaian seperti ini masuk pornoaksi, maka bertutur kata atas cara yang sama masuk pornodiksi. Pornodiksi politik.
Dalam soal tambang yang daya rusaknya luar biasa, semestinya Fraksi PDIP Mabar tidak bergenit-genit dengan pornodiksi politik. Mengapa tidak berterus terang saja? Misalnya, menyebut Bupati Fedelis Pranda sebagai “pihak tertentu” itu, dan langsung mengarahkan “ini ada apa” ke persiapan diri sang bupati menjelang pilkada Mabar. Bahwa, tambang emas bisa menjadi mesin uang yang dapat melempangkan jalannya untuk menang lagi pada periode kedua.
Berterus terang tidak ada salahnya, malah bermanfaat, termasuk bagi Bupati Pranda sendiri. Ia perlu tahu, wacana itu sudah berkembang. Wacana yang lahir dari berbagai preseden pada banyak daerah. Banyak bupati tikam kepala dengan tambang pada etape terakhir periode pertama untuk membekali diri ke periode kedua. Kalau investor masuk dengan modal Rp334 miliar misalnya, si bupati kebagian 10 persen, Rp33 milar. Tak heran, dia akan tikam kepala, tambang harus jadi, apa pun akibatnya bagi lingkungan.
Dalam hal sepenting ini, Fraksi PDIP Mabar tidak berani lugas, jelas, dan tegas. Masih berpornodiksi ‘menutup untuk menonjolkan’. Sementara dalam hal yang belum saatnya, ia begitu cepat buka-bukaan. Ia mengusung pasangan Agus Ch Dula dan Ambros Janggat untuk pilkada 2010. Ini memberi kesan: tolak tambang, karena ada maunya.
Yang kita inginkan: tolak tambang itu komitmen, bukan sekadar sarana merebut takhta. Kalau cuma untuk itu, apa bedanya dengan yang ngotot tambang yang juga kepingin takhta?
“Bentara” FLORES POS, Selasa 5 Mei 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar