14 Desember 2011

Sejumput Kisah dari Ulumbu (1)


Dari Kutukan ke Berkat

Oleh Frans Anggal

DAHULU kala, Ulumbu itu sebuah kampung. Dihuni ratusan warga. Pada suatu hari, warganya meninggalkan kampung. Mereka pergi menanami kebun baru. Semuanya pergi. Tinggal hanya seorang buta dan seorang lumpuh. Keduanya ibu lanjut usia.

Saat hendak menanak, si buta tidak punya api. Ia menyapa tetangganya, si lumpuh, meminta api. "Ole, cala manga api koe nitu ta," katanya. "Bo api," jawab si lumpuh,"landing cei ata ban." Api ada, tapi tak ada yang bisa antar, katanya. Semua sudah pada pergi. Yang tinggal hanya mereka berdua dan seekor anjing. Gagasan kreatif dan inovatif pun muncul. Memanfaatkan anjing piaraan sebagai pengantar puntung api.

Maka, si lumpuh mengikatkan puntung api pada ekor anjing. Selanjutnya si buta memanggil anjing itu. Anjing pun datang berlari-lari, dengan api yang masih bernyala-nyala pada ekornya.

Tindakan yang tidak patut ini mendatangkan murka alam. Penguasa alam pun tiba. Ia mendekati si buta yang sedang menanak. Ia lontarkan satu pertanyaan tentang hasil tanakan yang diinginkan. "Ngoeng mbelek ko kar?" Mau yang lunak atau yang keras? Si buta menimbang-nimbang sejenak, lalu menjawab, "Mbelek."

Jawaban itulah yang membuat Ulumbu jadi "mbelek". Lunak berlumpur mendidih seperti tanakan matang yang kebanyakan air. Bersamaan dengan itu, kampungnya hilang seketika. Rumah-rumah warganya berubah jadi bebatuan panas nan gosong. Sebuah kutukan!


JUMAT 9 Desember 2011. Bermobil dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, kami menuju "tempat kutukan" ini, 22 km arah selatan Ruteng, di Desa Wewo, Kecamatan Satarmese. Pater John Dami Mukese SVD duduk di depan, di samping kiri sopir Om Flavi. Saya duduk tepat di belakang pemimpin umum Flores Pos ini. Lewat kaca spion kiri, saya mudah menyaksikan rona wajahnya kala menikmati pemandangan sepanjang jalan. Juga gampang menonton anggukannya ketika ia terkantuk-kantuk dan terlelap oleh terpa dinginnya aroma hutan.

Kami start dari Ruteng pukul 08.30. Tapi baru tiba di Ulumbu pukul 10.00. Huh, satu setengah jam! Perjalanan tidak selama ini kalau kami tidak singgah sana sini urus ini itu, sebelum akhirnya meninggalkan Ruteng, menanjaki punggung gunung Golo Lusang, untuk seterusnya menurun menikung berkelok-kelok, hingga tiba di Ulumbu. Kalau lancar-lancar saja, satu jam sudah sampai.

Dari Ruteng hingga Pertigaan Ponggeok, jalannya berhotmiks. Pasti lancar mulus kalau tidak terganggu oleng-kemoleng di tengah hutan akibat tanah terban hingga satu meter amblasnya. Dari Pertigaan Ponggeok, kami menikung ke kiri. Itulah jalan menuju Ulumbu. Masih berupa pengerasan. Bergelombang berbatu-batu dan berdebu. Daihatzu Taft Hi Line yang kami tumpangi kotor-motor seperti mobil di arena balap off road.

Laju dari Pertigaan Ponggeok tersendat-sendat. Di depan kami sedang merayap mobil tronton yang memuat alat berat. Om Flavi tetap menjaga jarak aman, terutama pada tiap tanjakan. Kami betiga tidak mau mati konyol tergilas remuk jadi perkedel.

Beberapa ratus meter sebelum tiba di lokasi, setelah jauh meninggalkan kampung Lale, bau belerang mulai menyengat. Makin dekat, makin tajam. Usai mencapai titik ketinggian dan melewati jalan menurun, mata kami tertumbuk pada kepulan uap putih. Tak lama berselang, kami tiba di posisi tertinggi di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu.

Jalan menurunnya rawan longsor. Kemiringannya 70-80 derajat. "Awas jatuh tergelincir", "Awas bahaya longsor". Dua leter itu terpancang di ujung pita hitam kuning yang terbentang sebagai pembatas. Kalau tidak hati-hati, siapa saja bisa tegelincir jatuh. Dan itu berarti remuk. Untuk mengatasi longosoran, tebing sepanjang 200-an meter itu kini sedang dirabatbetonkan. Bibir atasnya sekaligus akan berfungsi sebagai got.

Dari atas ketinggian inilah mata kami tersedot oleh sosok belakang bangunan kukuh berlantai delapan berkerangka beton tanpa dinding. Pada puncaknya bertengger berderet empat "kuali" raksasa, satu dari sekian banyak sarana pendukung kerja turbin pembangkit listrik. Adapun bangunan turbin sendiri berada di depan dan berdempet dengan menara beton itu.

Dari ketinggian jalan itu juga, desis desing uap dari sumur turbin terdengar begitu keras. Kepulan uapnya menggumpal di selatan bangunan turbin. Kami memilih tidak segera mendatangi tempat itu. Tapi lebih dahulu ke lokasi asli Ulumbu. Terletak hanya beberapa ratus meter dari pembangkit litrik, ke utara, di tepi hutan lindung.

Menuruni pinggiran jembatan Wae Kokor, lokasi asli itu mudah dicapai hanya dengan 50-an langkah kaki. Tanahnya gundul. Kekuning-kuningan oleh muntahan belerang dari perut bumi. Bebatuannya gosong, terutama pada titik semburan uap yang mencapai ratusan jumlahnya. Bebatuan itu panas, terebus air mendidih yang meloncat-loncat lima hingga sepuluh sentimeter.

Dulu, sebelum panas bumi dieksploitasi, didihannya tinggi. Juga lebar hingga satu meter. Lontaran uapnya pun menjulang seperti air mancur. Begitu kata Pater Dami. Ia dan teman-temannya pernah ke sini puluhan tahun silam. Mereka datang dari arah Lungar, melewati jalan tikus tembak lurus menerabas hutan.

Di timur dan barat lokasi ini terdapat kebun warga. Subur. Tanamannya hijau segar, serimbun hutan lindung di seberangnya. Kebun warga ini sudah ada sejak 50-an tahun silam, kata Florianus Wantu (54 tahun). Ia asal Lungar, tinggal di Desa Wewo. Dari mulut pria inilah mitos Ulumbu saya catat dalam wawancara sekilas di atas jembatan Wae Kokor saat ia sedang beritirahat.


FLORIANUS Wantu adalah tenaga harian pada proyek Ulumbu. Tugasnya untuk bersih-bersih, tebas rumput, dll. Ia digaji Rp35 ribu per hari, tanggung makan sendiri. Ia mengeluh. Angka ini terlalu kecil. Dia bilang, di kampung, di luar lokasi proyek, buruh harian dibayar Rp35 ribu juga, tapi makan ditanggung majikan. "Maunya gaji lima puluh ribu ka Pa, itu baru saya rasa pas e," katanya dalam logat Manggarai yang kental.

Di balik kekecewaan digaji rendah, Florianus bersyukur dapat kerja di proyek ini. Ia bisa kerja tetap, tidak musiman lagi seperti di proyek-proyek lain. Ia mengakui, inilah salah satu manfaat dari Ulumbu. Manfaat lain dan paling penting, tentulah, elektrifikasi. Pelistrikan. Dan itu sudah nyata, tidak lagi sekadar maya.

PLTP Ulumbu dieklporasi sejak 1994. Sejak itu, masyarakat hanya dengar janji dan janji. Elektrifikasi hanya jadi "proyek akan". Baru pada 2011 janji Ulumbu terwujud. Uji coba pasokan listriknya resmi dioperasikan pada tanggal 11 bulan 11 tahun 2011. Selanjutnya daya 100 kilo watt (KW) disalurkan ke empat desa sekitar dari total kapasitas 2 X 2,5 mega watt (MW). Desa pertama yang menerima berkah adalah Desa Wewo, Desa Ponggeok, Desa Umu, dan Desa Paka. Warga mendapat meteran gratis. Seterusnya nanti, secara bertahap, listrik Ulumbu akan menerangi Ruteng dan kota-kota lain di Flores.

Itulah sejumput kisah Ulumbu. Dari mitos kutukan ke etos berkat. Dari mbelek (panas dan berlumpur) ke delek (terima dan bersyukur). Teknologi telah menjadi anjing pengantar puntung api. Melahirkan media elektrifikasi, dengan serbaneka manfaatnya. Bagi yang buta, agar bisa melihat. Bagi yang lumpuh, agar bisa berjaan.

Flores Pos Rabu 14 Desember 2011

Tidak ada komentar: