17 Desember 2011

Hutan Pantai di Iteng (2/Habis)


"Ine Mbele” Terlantar dan Dirusakkan

Oleh Frans Anggal

KE Ine Mbele kami pergi. Lewat tengah hari. Dari arah timur. Bermobil dari rumah Mantri Sius Nggaur, dalam dua tiga menit, kami sudah sampai. Tepi hutan itu berbatasan langsung dengan jalan berhotmiks seperempat lingkaran. Berpagar kawat duri. Melewati lingkaran hotmiks, kami tiba di sisi barat hutan. Di situlah lokasi Pasar Iteng. Masih lengang. Tapi sorenya pasti sudah ramai, karena keesokannya, Sabtu, hari pasar.

Kami tidak segera berhenti untuk masuk hutan mini itu. Tapi lihat-lihat dulu pantai Iteng. Cuma seratusan meter dari pasar. Melintasi jalan berbatu pasir, tibalah kami di tepi pantai. Pulau Mules tampak dari kejauhan. Deru ombak dan bau asin Laut Sawu seakan menyapa kami. Terutama dua orang yang baru pertama kali ke tempat ini. Pater John Dami Mukese SVD pemimpin umum Flores Pos dan Om Flavi sopir.

Hanya beberapa meter ke barat, ada bekas dermaga darurat. Tinggi tumpukan batu dan pasirnya dua tiga meter dari permukaan laut. "Di sini tempat sandarnya kapal tongkang, Bapa Koe," kata Obin, putra sulung Mantri Sius Nggaur, pemandu kami. Bapa Koe bukan nama kapal tongkang, tapi sapaan Obin buat saya: Bapa Kecil. Ia anak dari kakak istri saya.

"Alat-alat berat Ulumbu turun di sini," tambahnya. Yang ia maksudkan adalah serbaneka sarana dan prasarana bagi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu. Semuanya sudah diangkut dengan mobil tronton ke Ulumbu. Yang tersisa depan dermaga hanya tiang-tiang listrik. Terbuat dari semen, tiang-tiang itu berongga, dan pasti tidak sebaik tiang baja.

Puas berada di lokasi dermaga, kami balik ke arah kami datang. Kami berhenti depan gerbang masuk Ine Mbele. Letaknya lurus dengan garis tengah pasar. Lebarnya satu meter. Bertiang beton, berdaun jeruji baja.

Beberapa meter dari gerbang, dalam areal hutan, ada rumah tinggal, merangkap pos penjaga. Rumah tembok bercat putih. Kami menduga, kami harus singgah dulu di situ. Mungkin sekadar melapor, mencatat identitas, menyampaikan tujuan, serta meninggalkan pesan dan kesan saat pulang. Eh, tau-taunya tidak perlu.

"Masuk saja, Bapa Koe," kata Obin. "Petugasnya sering tidak ada."


KE tengah hutan. Menapaki jalan setapak. Rabat beton. Tapi semenya koq hampir tidak kelihatan. Tertutup tumpukan dedaunan kering. Hanya hujan lebat yang bisa membersihkan jalan itu. Petugasnya jelas tidak. "Betul-betul makan gaji buta," saya menggerutu dalam hati.

Baru maju puluhan langkah, kami saksikan hal menyakitkan lainnya. Pohon setinggi tiga meter terpangkas. Entah untuk apa, tiga dahannya terparang hingga lepas dari pokok. Diambil juga tidak. Terkesan sekadar pangkas lepas. Daun-daun di ujung ranting-rantingnya masih hijau segar.

Makin jauh ke dalam hutan, bukannya makin menyenangkan. Nasib terpangkas menimpa banyak pohon lain. Dari yang seukuran perdu hingga yang pokoknya sebesar lengan orang dewasa. Yang luput hanya pohon-pohon besar dan tua. Di antaranya berdiemeter dua kali pelukan orang dewasa.

Hati terhibur setiap kali mata menatap pohon-pohon besar dan tua itu. Tapi nurani kembali terusik ketika wajah menengadah. Banyak ruang dalam hutan ini telah jadi ruang tembus langit. Ine Mbele bukan lagi hutan padat, yang dedaunan antarpohonnya rimbun seakan saling menganyam. Pada banyak titik di tengah hutan ini, kami tersengat matahari. Sinarnya menerbos masuk tanpa hambatan. Hhh, kami gerah di tengah hutan.

Lebih jauh ke dalam hingga seratusan meter, kami berhenti. Itulah ujung jalan setapak sebelum belok 45 derajat menuju bagian lain hutan. Pada sudut belokan itu kami saksikan lagi hal menyakitkan. Sebuah kali kecil. Mata airnya ada di bagian utara, 50-an meter dari tempat kami berdiri. Debit airnya sangat kecil. Alirannya ke selatan hampir tidak kelihatan, tersembunyi di bawah bebatuan.

"Dulu airnya banyak," kata Obin. Debetnya menurun drastis sejak bebatuan dari hulu hingga tempat kami berdiri dibongkar oleh warga. Mereka bongkar hanya untuk cari belut. Hasilnya tidak banyak, cuma satu ember Matex. Turut tertangkap saat itu, belut besar pendek hitam. Itu satu-satunya yang hitam dan paling besar. "Neho pa'a mesen!" kata Obin. Ini gaya hiperbol khas Manggarai. Belut sebesar paha! Maksudnya, besar sekali.

Sejak belut "sebesar paha" ditangkap, kata Obin, debet air kali menurun drastis. Penjelasan Obin mewakili kepercayaan masyarakat setempat. Bahwa Ine Mbele itu pong sengit. Hutan angker. Dalam kepercaayan ini, hutan dipandang sebagai tempat tinggal makhluk adikodrati, yang menjaga dan melindungi hutan. Merusak hutan dan isinya diyakini mendatangkan murka penjaga dan pelindungi hutan. Kepercayaan inilah yang bisa menjelaskan hubungan antara tangkap belut "sebesar paha" dan mengecilnya debit air kali.

Oleh adanya kepercayaan seperti ini, warga sekitar pun tidak berani menebang pohon-pohon besar dan tua. Satu di antaranya pohon "Luwu" tinggi besar dan lurus. Sempat diabadikan kamera Pater Dami. Warga sekitar juga tidak mengusik kera yang ratusan ekor jumlahnya. Tiap Sabtu sehabis pasar, kera-kera ini menyerbu lokasi pasar. Menikmati apa saja yang bisa dimakan.

Di dalam hutan Ine Mbele, salah satu makanan utama kera adalah buah ara hutan (Ficus variegate). Kebetulan sekali pohonnya tumbuh dekat tempat kami berdiri. Rangkaian buahnya padat memanjang turun hingga dua tiga meter. Pater Dami tidak abaikan pemandangan ini. Ia angkat kamera. Klik.

Berbeda dengan kera, kalong Ine Mbele bernasib sial. Saat musimnya tiba, jumlahnya ribuan ekor. Tapi ratusan di antaranya pasti mati. Mamalia bersayap ini jadi sasaran empuk warga. Ditembak untuk dipanggang.

"Untuk dapat satu ekor kalong, sering beberapa pohon harus ditebang," kata Mantri Sius dalam bincang-bincang di rumahnya sekembalinya kami dari Ine Mbele. Bebebeda dengan burung, kalong tidak langsung jatuh ke tanah saat terkena tembakan. Binatang berdarah panas ini selalu tancapkan kuku sayapnya pada batang ranting. Banyak yang mati tapi tidak jatuh dan akhirnya membusuk di atas pohon.


HINGGA kami tinggalkan Ine Mbele, tak seekor kalong pun yang kelihatan. Sudah bertahun-tahun mereka belum juga bermigrasi ke sini. Mungkin juga mereka tak akan kembali …. Wallahualam.

Kera? Hanya satu ekor yang kelihatan. Ia sepertinya hanya datang mengintai lalu menghilang ke balik belukar saat kami melintasi jalan pulang. Jalan pulang kami bukan lagi ke barat, arah kami datang. Tapi, ke selatan, ke bibir pantai. Sisi selatan ini sangat terbuka. Beton-beton batas hutan sudah ambruk. Pagar kawat berdurinya sudah raib.

Dari arah selatan inilah warga datang membawa masuk ternak sapi. Ternak-ternak ini bebas merdeka memakan dedaunan dan minum air dalam hutan. Ine Mbele telah jadi semacam kandang sapi raksasa. Untuk menghidupi ternak inilah, warga tidak segan-segan mengambil dedaunan dengan memangkas dahan dan ranting pohon.

Dalam situs resminya, Pemkab Manggarai berpromsi …. "Ine Mbele. Hutan pantai yang spesifik. Terdapat pohon-pohon besar yang tua, mata air, kawanan tabuhan, kakatua, kera, ular, dan lain-lain." Dan lain-lain? Mungkin maksudnya sapi-sapi warga itu.

Promosi, bagus. Tapi bisa melenakan tanpa kerja keras. Termasuk melenakan Dinas Kehutanan, pihak yang paling bertanggung jawab. Pihak yang secara kasat mata terbukti tidak punya perhatian serius terhadap Ine Mbele. Kami menyaksikan secara langsung …. Ine Mbele terlantar dan dirusakkan! ***

Flores Pos Sabtu 17 Desember 2011

Tidak ada komentar: