19 Desember 2011

Natas Lehong, Pusatnya Manggarai Timur (1)


Yang Tersembunyi Kini Tersingkap

Oleh Frans Anggal

SIANG itu, Sabtu, 10 Desember 2011. Satu jam bermobil dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, kami sudah tiba di Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur. Waktu masih sangat cukup sebelum kami beraudiensi dengan Bupati Yoseph Tote sore harinya. Maka, rencana kami pun terwujud. Ke Lehong!

Yang jadi soal: siapa yang memandu? Saya cuma tahu nama Lehong, tapi tidak tahu letaknya. Begitu juga Pater John Dami Mukese SVD, pemimpin umum Flores Pos. Om Flavi, sopir kami, apalagi. Gelap. Namanya saja belum pernah ia dengar. Hhh ….

Tiba-tiba ponsel saya berdering.

"Om mereka sudah di mana?"

"Sudah di Kevikepan di Golo Lada. Sekarang mau langsung ke Lehong."

"Saya masih di Borong, Om. Kalau begitu, Om mereka singgah dulu di rumah Tanta Dis di Peot. Saya menyusul. Dari situ kita sama-sama ke Lehong."

Plong! Kami tidak sekadar dapatkan seorang pemandu. Tapi seorang pemandu yang tepat. Yang tahu baik Lehong. Yang hampir tiap hari ke Lehong. Dia, Firman Demorin. Arsitek jebolan Universitas Atmajaya Yogyakarta 2004. Dialah pembuat master plan sekaligus konsultan perencana RTBL (Rencana Tata Bangunan Lingkung¬an) Lehong. Di Lehong-lah pemerintahan Manggarai Timur akan berpusat.


DARI rumah singgah di Peot, arah timur Borong, kami meluncur ke Lehong, lebih ke timur lagi. Kami pakai dua mobil. Pater Dami tetap menumpang Daihatzu Taft Hi Line. Sedangkan saya pindah ke Toyota Hardtop milik Firman. Kami berdua di depan, memandu.

Dari Peot hingga Kembur, jalannya berupa lapen (lapisan penetrasi)macadam lebar 7 meter. Kualitasnya seperti hotmiks saja. Ini perubahan besar sejak Manggarai Timur jadi daerah otonom baru, lepas dari induk Kabupaten Manggarai, 2007. Secara khusus, ini terobosan duet bupati-wabup perdana yang kini sedang jadi nakhoda, Yoseph Tote dan Andreas Agas alias YOGA.

Sepanjang jalan di bawah gerimis, tampak sekelebat pemandangan penting selain rumah warga, berderet di sisi utara dan selatan. Ada kompleks perumahan yang sedang digusur lahannya. Ada bangunan SMK Pertanian. Ada SMA Negeri 2 Borong.

Tiba di Pertigaan Kembur, Firman banting setir ke kiri, membelok 45 derajat. Inilah jalan menuju Lehong. Beberapa ratus meternya sudah berupa pengerasan. Selanjutnya, sedang dalam pengerjaan.

Baru saja beberapa menit melintasi ruas jalan ini, kami melihat 6 mobil berhenti beberapa puluh meter di depan. Puluhan orang pada turun dan bincang-bincang. Kebanyakan perempuan. Firman sudah bisa mengidentifikasi siapa mereka.

"Itu rombongan wakil bupati, Om," katanya sembari terus maju mendekatkan mobil.

"Itu ada ibu bupati, ibu wakil bupati, kadis pertanian, kabid cipta karya …."

Kami pun turun dari mobil. Menyalami mereka. Wabup Andreas Agas. Ibu Yosefina Sedia, istri bupati. Ibu Theresia Wisang, istri wabup. Kadis Pertanian Don Datur. Ibu Yustina Jahang, istri kadishub dan infokom. Dll.

"Wah, pas sudah. Kita sama-sama ke Lehong," kata Wabup Ande. "Ini ada juga teman-teman dari TVRI."

Ia tampak sangat gembira. Dua media datang meliput ke Lehong … yang tersembunyi, yang seakan tak ada, dan seolah-olah tak ada apa-apanya. Sebagian besar warga Borong belum melihat lokasi ini. Sebagian pejabat pemerintah juga begitu.

Kami semua masuk mobil lagi. Lanjutkan perjalanan. Tujuh mobil beriringan, naik turun merayapi lekak-lekuk jalan tanah berbatu dan berlumpur. Paling depan mobil open kap, ditumpangi ibu-ibu Dharma Wanita. Mereka, di bawah pimpinan ketua Yustina Jahang, baru selesai lakukan penghijauan. Menanam 400 anakan mahoni dan 100 anakan mangga di atas lahan 1 ha SMK Pertanian. Istri bupati dan wabup hadir selaku panasihat.

Di belakang mobil Dharma Wanita, beturut-turut mobil wabup, mobil istri bupati, mobil kadis pertanian, mobil Firman, mobil Pater Dami, dan mobil kabid cipta karya.

Dari titik start ini, jalan ke Lehong penuh tantangan. Pada bulan hujan seperti ini, mobil tanpa derek sebaiknya tidak coba-coba maju kalau tidak ingin kandas di jalan.

Dari titik ini, Lehong belum kelihatan. Kiri kanan jalan hanya ilalang, diantarai perdu. Pada beberapa titik tampak pohon jambu mete, subur menghijau. Maju terus, kami pun memasuki jalan menurun. Mobil merayap di antara batu-batu besar dan licin hingga mencapai gorong-gorong aramco, lalu menanjak dan merayap. Di kiri kanan jalan itu menggunduk tanah hitam liat hasil gusuran, ilalang, mete, dan gamal.

Dengan kondisi seperti ini, mencapai Lehong terasa lama dan berat. Maklum, Lehong itu 2 km dari Pertigaan Kembur. Dan ... benar saja. Kami harus menanjak lagi. Lalu menurun lagi melewati gorong-gorong aramco, sebelum naik masuk MCS. Ini singkatan dari nama tempat yang "aneh": Mongkol Cungu Sesat.

Selanjutnya kami harus menurun lagi melintasi gorong-orong aramco, lalu menanjak, dan akhirnya sampai di bibir Lehong. Dari titik inilah sesuatu yang tersembunyi itu kelihatan dengan jelas. Sebuah surprise usai oleng-kemoleng mengarungi ruas jalan sulit. Dari titik ini … siapa bilang di Lehong tidak ada apa-apanya?

Di utara jalan masuknya sudah ada bangunan permanen ruko pemda. Berdinding kuning, berpintu biru. Tapi kami tidak berhenti di situ. Mobil terdepan membawa kami langsung ke bangunan kantor bupati nun di depan, yang sudah tampak kukuh menjulang di ketinggian. Berlantai dua, gedung itu beratap depan bundar mengerecut seperti mbaru gendang, rumah adat Manggarai.

Dalam warta media tahun 2009, bangunan ini menelan biaya hampir Rp9 miliar. Dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2009. Luasnya 150 x 160 meter persegi. Empat perusahaan ikut tender. Nindya Karya Persero, PT Bumi Citra Persada, PT Ronson Jaya Putra, PT Agung Kencana, dan PT Menara Armada Pratama.

Dalam perkembangan hingga kini, biayanya ternyata jauh lebih besar. Sebab, ada penambahan bangunan. Tahap 1 saja Rp8 miliar. Tahap 2 Rp 6 miliar. Tahap 3 (final) Rp13 miliar. Angka ini saya peroleh dari Fatchur Rozi di Lehong. Ia site enginer PT Menara Armada Pratama yang menang tender dan hampir rampung mengerjakan gedung itu.


OLEH wabup, kami diantar melintasi lantai pertama gedung tersebut, sebelum naik tangga menuju lantai dua. Ruang demi ruang kami susuri sampai akhirnya berdiri berlama-lama di ruang bundar ala mbaru gendang. Dari balik jendea kaca bening, tampak jelas, kota bakal pusat pemerintahan Manggarai Timur ini berbentuk seperti perkampungan Manggarai.

"Ini pola konsentris atau radial terpusat seperti beo, kampungnya orang Manggarai," kata Firman ketika memperlihatkan master plan di rumah singgah di Peot sesaat sebelum kami ke Lehong. "Ini transformasi pola perkampungan Manggarai terhadap bentuk RTBL."

Pater Dami terkesan dengan konsep ini. Kepada sang arsitek di rumah singgah, juga kepada Wabup Ande Agas di Lehong, serta kepada Bupati Yoseph Tote saat audiensi di rumah jabatan, Pater Dami menawarkan nama yang tepat bagi lokasi pusat pemerintahan Manggarai Timur itu. Natas Lehong!

"Natas itu tempat orang bertemu," katanya.

Dan … di natas itu kami telah datang. Menyaksikan langsung bangunan kantor bupati yang hampir rampung. Melihat dari jauh banyak bangunan lain yang sedang dikerjakan. Sungguh, yang tersembunyi itu kini telah tersingkap.

Flores Pos Senin 19 Desember 2011

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Proficiat buat Yoga,pada pundak Bapak berdua sejuta harapan masyarakat manggarai timur, maju terus, retas isolasi,brantas kebodohan,tingkatkan kemakmuran,jangah lemah dengan kritikan karena yang lain baru berhayal,GBU, by Flavi Gony