23 Desember 2011

Sejenak dengan Wabup Kamelus Deno (1)


Kolegialitas, Bukan Rivalitas

Oleh Frans Anggal

TIDAK hujan, namun udara Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, tetap dingin siang itu, Kamis 8 Desember 2011. Christo Lawudin wartawan Flores Pos di Ruteng menelepon kami agar datang tepat waktu. Jadwal audiensi dengan Wabup Kamelus Deno tepat pukul 11.00.

"Datang suda e. Wabup sudah tunggu," katanya dari seberang ketika jarum jam mendekati angka sebelas.

Saya dan Pemimpin Umum Flores Pos Pater John Dami Mukese SVD meluncur dengan Daihatzu Taft Hi Line dari Kumba, arah timur. Melintasi ruas lurus mulus Jalan Ranaka dan Jalan Ahmad Yani, mobil yang dikemudi Om Flavi itu pun tiba di pusat kota. Melaju pelan di bawah naungan beringin, belok kiri, mobil menanjak masuk sebuah pekarangan luas. Itulah kompleks Kantor Bupati Manggarai.

Kami berhenti di pelataran parkir. Berharap Christo sudah tunggu di situ. Eh, tidak. Kami masuk, menemui resepsionis. Ia arahkan kami ke lantai dua, belok ke barat. Di ruang sekretariat, kami sampaikan tujuan. Sudah pukul 11.00. Pikirnya segera masuk. Ternyata … wadoh… masih ada tamu lain. Kami pun duduk di ruang tunggu.

Sekitar 30 menit kemudian, Christo tiba.

"Saya baru abis kirim berita e," katanya tanpa ditanya. "Soalnya, sebelum jam dua belas, berita harus sudah masuk redaksi."

Sambil duduk, saya decak kagumi kantor berlantai tiga itu. Megah. Christo menangkap makna tiap anggukan saya.

"Di kantor ini, kalau orang rokok, tahu memang," katanya. Ia hendak gambarkan lengkapnya fasilitas kantor tersebut.


KANTOR ini dibangun di atas lokasi kantor lama. Diresmikan Juli 2009. Telan biaya 20,5 miliar. Dari dana ad hoc pemerintah pusat tahun 2007 sebesar Rp36 miliar.

Peralatannya canggih. Ada CCTV. Bupati dan wabup bisa pantau kegiatan di setiap ruangan. Ada fasilitas presentasi in focus dll di ruang rapat. Ada jaringan LAN (local areal network). Semua ruangan di dalam dan unit di luar kantor dapat saling mengakses. Ada hot spot internet nirkabel.

Tidak hanya itu. Ada juga pendeteksi asap (smoke detector). Ini alat sistem pengamanan bahaya kebakaran. Berfungsi ganda. Pantau dini bahaya kebakaran, juga pantau asap rokok di ruang bebas asap merokok. Alat inilah yang dimaksudkan Christo ketika dia bilang, "Di kantor ini, kalau orang rokok, tahu memang."

Kami sedang asyik berbincang ketika Charles Helmon ajudan wabub persilakan kami masuk. Pukul 12.00.

Sedianya kami temui Bupati Christian Rotok. Namun, ia sedang ada di Jakarta. Informasi ini diperoleh Pater Dami langsung dari bupati saat kami masih di Labuan Bajo sehari sebelumnya. Selanjutnya, dari Christo kami dapat informasi, Bupati Rotok telah berkoordinasi dengan wabup. Wabuplah yang terima kami.

Wabup Deno bicara banyak tentang dinamika pembangunan di Manggarai. Usai Pater Dami sampaikan tujuan audiensi, suasana perbincangan makin cair.

Saya lontarkan satu pertanyaan. Ini mewakili rasa ingin tahu publik. Apa kiatnya sehingga pasangan Christian Rotok-Deno Kamelus (Credo) bisa akur selesaikan periode pertama masa jabatan bupati-wabup, dan tetap kompak di periode kedua?

Wabup Deno jawab, ada 4 kunci. Kebetulan tiap katanya berakhir dengan huruf "i". Kita namakan saja ini "4i ala Credo".

Pertama, tupoksi (tugas pokok dan fungsi). Sudah ada dalam UU. Bupati-wabup tinggal laksanakan secara konsisten.

Kedua, komunikasi. Ini harus dibangun dan dipertahankan. Jangan tunggu ada masalah besar baru baku cari, sebelum atau sesudah baku tuduh.

Ketiga, transparansi. Saling terbuka. Tak ada yang disembunyikan.

Keempat, tahu diri. "Saya tahu apa tugas saya, dan sampai di mana batas wewenang saya," kata Wabup Deno. Bukan hanya sikap yuridis, ini juga sikap etis.

Boleh dibilang, 4i ala Credo ibarat 4 sisi yang membingkai tipe hubungan ideal bupati-wabup. Yaitu, hubungan kolegial. Ke luar, hubungan tipe ini memancarkan tipe kepemimpinan ideal pula. Kepemimpinan kolegial. Dasar terdalamnya: kolegialitas. Bukan rivalitas.


CREDO sudah buktikan itu. Dan Credo adalah fenomena langka di tengah gejala umum: bupati-wabup tidak akur di tengah jalan. Menurut data lansiran Kementerian Dalam Negeri, sekitar 91 persen kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi sebelum masa jabatan berakhir.

"Hanya ada sembilan persen yang kepemimpinan gubernur dan wagub, bupati dan wabup, yang langgeng sampai akhir jabatannya," kata Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan di sela seminar Desiminasi Produk Perencanaan Bappenas, di Denpasar, Rabu 30 November 2011.

Atas dasar ini, kini pemerintah susun draf rancangan undang-undang (RUU) tentang pemerintah daerah, yang akan mengakhiri jabatan politis wakil kepala daerah. Wakil kepala daerah tidak akan dipilih lagi dalam pilkada, melainkan ditunjuk. Yang berhak adalah PNS setingkat sekda.

"Wakil kepala daerah harus ditunjuk supaya tidak berkelahi (dengan kepala daerah) setelah terpilih," kata Prof. Dr. Ryaas Rasyid di Jakarta, Kamis 15 Desember 2011. Ia anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi.

Wabup Deno mengkritik solusi ini.

"Pemerintah pusat cenderung melihat akar banyak persoalan hanya pada peraturan perundang-undangan," katanya.

Padahal, letak persoalan utamanya di sini bukan pada UU-nya, tapi pada diri pengemban amanat UU itu. Bukan pada senjatanya, tapi pada 'orang di balik senjata itu', the man behind the gun.

Secara lain bisa dikatakan: penyelenggaraan negara akan baik di tangan orang baik, meski UU-nya belum baik. Sebaliknya, penyelenggaraan negara akan buruk di tangan orang buruk, walau UU-nya sudah baik.

Maka, dalam hubungan bupati-wabup yang tidak akur, kata Wabup Deno, yang patut dipersalahkan bukan UU-nya, tapi orangnya. Dalam hal ini, bupatinya. Bukan wabupnya.

Ini masuk akal. Tugas dan wewenang kepala daerah adalah "memimpin" penyelenggaraan pemerintahan daerah, dst. Sedangkan tugas dan wewenang wakil kepala daerah adalah "membantu" kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, dst. Itu kata UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam hubungan asimetris itu, yang "memimpin"-lah yang pegang kunci. Bukan yang "membantu". Maka, kalau bupati-wabup tak akur, bupatinyalah yang tak becus.

"Tidak ada murid yang jelek. Yang ada hanyalah guru yang jelek." Begitu kata seorang guru kungfu, Han, kepada muridnya, Dre, dalam film "Karate Kid".

Kurang lebih begitulah. Tidak ada wabup yang jelek. Yang ada hanyalah bupati yang jelek. Maka, menjadi tidak lucu: bupatinya yang jelek, tapi wakilnya yang kena getah. Diturunkan pangkat demokrasinya oleh RUU, dari "dipilih" menjadi "ditunjuk". Hhh ....

Flores Pos Jumat 23 Desember 2011

Tidak ada komentar: