24 Desember 2011

Sejenak dengan Wabup Kamelus Deno (2/Habis)


Maju Lagi, “Tergantung Kraeng Mereka”


Oleh Frans Anggal


RUANG kerja Wabup Kamelus Deno berbentuk "L", jika dilihat dari barat. Garis vertikal "L"-nya menjadi ruang tamu dan tempat meja kerja. Sedangkan garis horizontal "L"-nya ruang rapat.

Lurus dengan pintu masuk dari arah selatan, kami langsung ke ruang tamu. Berderet delapan kursi, berhadap-hadapan. Di tengahnya, memanjang empat meja kayu berpolitur. Taplak mejanya kain bermotif songke, tenunan Manggarai. Taplak itu padu serasi dengan alas dan penutup gelas serta sarung botol air mineral, yang juga bermotif songke.

Kami menempati kursi sisi selatan, lurus dengan pintu masuk. Sedangkan wabup di kursi tunggal di sisi barat. Kursinya diapiti dua meja kecil, bertaplak motif songke pula. Satu dua meter di belakang punggungnya tampak meja kerjanya. Kursinya hitam tinggi, menghadap ke timur.

Cahaya menerobos dari utara, menerangi seluruh ruangan. Lurus dengan arah masuknya cahaya itulah ruang rapat. Terletak di balik pilar dua pelukan orang dewasa. Menempati garis vertikal "L", ruang itu tidak kelihatan dari pintu masuk. Kurang lebih sepuluh kursi berhadap-hadapan, mengapiti meja rapat. Memanjang.

Beralaslantaikan karpet merah, keseluruhan ruangan ini luas, bersih, segar, dan nyaman. Maklum, ini ruang kerja seorang wabup dalam sebuah kantor yang konstruksinya berstandar nasional. "Kantor bupati dengan konstruksi berstandar nasional" merupakan frasa pernyataan pers Bupati Christian Rotok di Ruteng, Selasa 7 Juli 2009, jelang peresmian kantor tersebut.

Di dalam ruangan itu, saat bersama Pemimpin Umum Flores Pos John Dami Mukese SVD melakukan audiensi, saya sempat tercenung sejenak. Kalau ruang kerja wabupnya begini, bagaimana pula ruang kerja bupatinya? Boleh jadi sama. Tapi bisa juga lebih.

Letak ruang kerja bupati di sebelah timur, di seberang garis tengah bangunan. Untuk menca¬pai ruangan itu, tidaklah sulit. Dua puluhan langkah, sudah sampai. Tapi, untuk menduduki kursi tunggal di balik meja kerjanya, pasti tidak gampang. Harus lewat proses panjang, berat, dan mahal. Pemilukada!

Akankah Kamelus Deno, yang kini wabup, berniat menyeberang ke ruangan itu? Untuk menduduki kursi tunggal bupati pada pemilukada 2015?


AUDIENSI kami jelang berakhir ketika pertanyaan itu saya lontarkan.

Saya berharap jawaban Wabup Deno jelas dan tegas: mau atau tidak mau maju lagi. Dasar harapan saya: betapapun dia wabup, lelaki kelahiran Rakas Cibal 2 Agustus 1959 ini doktor dan ahli hukum. Dia dosen nonaktif Universitas Nusa Cendana, Kupang. Seorang akademikus sudah terbiasa berbahasa jelas dan tegas.

Harapan saya meleset. Mantan sekjen PMKRI NTT ini ternyata memilih bahasa seorang politikus ketimbang bahasa seorang akademikus. Apa bedanya? Dalam membuat pernyataan, politikus tidak boleh salah tapi boleh tidak jujur. Akademikus sebaliknya, boleh salah tapi tidak boleh tidak jujur.

"Pak Kemelus, bagaimana, apakah mau maju nanti?" tanya saya.

"Tergantung Kraeng mereka," jawabnya. Singkat dan bisa multitafsir.

"Kalau menurut saya, sebaiknya Pak Kamelus maju," kata saya. "Pak Kamelus sudah teruji dan terbukti sukses sebagai wabup. Kompak dengan bupati di periode pertama, dan sekarang tetap akur di periode kedua."

Dasar anjuran ini sederhana saja. Kompaknya pasangan Christian Rotok-Deno Kamelus (Credo) menyelesaikan periode pertama, dan kini tetap akurnya mereka di periode kedua jabatan bupati-wabup, menunjukkan mereka telah menemukan formula tepat dalam proses manajerial pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik.

Kalau soal otoritas keputusan, ya, di mana-mana sama. Sudah standar, final, dan terikat secara legal. Hanya bupatilah yang memiliki otoritas keputusan. Yang boleh tanda tangani produk hukum di kabupaten, perda misalnya, hanya bupati. Wabup tidak. Juga tidak bisa diwakilkan. Tanpa tanda tangan bupati, instrumen kebijakan tidak bisa diberlakukan. Sehebat apa pun wabup, dia tidak bisa masuk ke ruang otoritas eksklusif milik bupati ini.

Yang sering jadi soal dan akhirnya jadi ajang sengketa adalah manajemen. Dalam hal ini manajemen pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Pada beberapa kabupaten, peran wabup benar-benar marjinal atau, lebih tepat, dimarjinalkan oleh bupati. Wabup betul-betul hanya jadi ban serap. Dan baru bisa jadi ban terpakai kalau bupatinya sedang tidak berada di tempat.

Pada beberapa kabupaten lain, tidak baku cocoknya bupati dan wabup bermula dari jatah-jatahan proyek. Ini semakin runyam kalau tim sukses penyandang dana pemilukada, yang notabene kebanyakan kontrator itu, mulai menuntut balas jasa melalui 'menang' tender proyek. Timnya bupati dan timnya wabup baku saing, baku ribut, baku rebut, baku sikut. Bupati dan wabupnya ikut-ikutan terseret. Maka berkela¬hilah mereka hanya karena masalah perut. Manajemen pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik terbengkalai. Masyarakat jadi korban.

Yang seperti ini tidak terjadi pada Credo. Sejak awal, pasangan ini telah membuat pembagian kerja yang jelas dan tegas dalam manajemen pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Tidak hanya itu. Proses manajerialnya pun berlangsung dalam bingkai "4i": tupoksi (tugas pokok dan fungsi), komuni¬kasi, transparansi, dan tahu diri. Inilah bingkai kolegialitas. Bukan bingkai rivalitas.

Nah. Kalau Kamelus Deno maju dalam pemilukada mendatang dan menang merebut kursi bupati, besar kemungkinan manajemen pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik ala Credo berkelanjutan. Bisa menjadi pembelajaran bagi para penggantinya. Bahkan bisa menjadi pembelajaran bagi daerah lain di Indonesia.


Dalam penjelasan singkatnya atas jawaban "tergantung Kraeng mereka", Wabup Deno menukik ke inti. Kalau dikehendaki masyarakat, dia akan maju merebut kursi bupati pada pemilukada 2015. Namun, imbuhnya, sampai sekarang ia belum punya pikiran ke arah itu. Dia masih fokus pada karya dan pengabdian sampai masa jabatannya berakhir.

Yang menjadi soal: bagaimana kalau dia tak dikehendaki lagi? Atau, dikehendaki dan maju, tapi kemudian kalah?

Suami Yeni Veronika ini bilang, tidak apa-apa. Ia tidak kehilangan apa pun. Nothing to lose.

Jika tidak lagi berkarya di bidang politik, ia akan back to basic. Kembali ke habitat aslinya: kampus. Kembali jadi dosen aktif di Universitas Nusa Cendana. Dalam hitung-hitunganya, dengan sejumlah karya ilmiah yang sudah dan akan dia tulis, gelar profesor atau guru besar bukanlah sesuatu yang sulit untuk diraih.

"Saya anjurkan Pak Kamelus menulis buku, share tentang kiat kompaknya Credo memimpin Manggarai dua periode," kata saya. "Ini bisa menjadi pembelajaran bagi generasi mendatang."

Dia tidak menjawab. Tapi sorot matanya menunjukkan ia sangat mempertimbangkan anjuran itu. Mudah-mudahan.

Flores Pos Sabtu 24 Desember 2011

23 Desember 2011

Sejenak dengan Wabup Kamelus Deno (1)


Kolegialitas, Bukan Rivalitas

Oleh Frans Anggal

TIDAK hujan, namun udara Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, tetap dingin siang itu, Kamis 8 Desember 2011. Christo Lawudin wartawan Flores Pos di Ruteng menelepon kami agar datang tepat waktu. Jadwal audiensi dengan Wabup Kamelus Deno tepat pukul 11.00.

"Datang suda e. Wabup sudah tunggu," katanya dari seberang ketika jarum jam mendekati angka sebelas.

Saya dan Pemimpin Umum Flores Pos Pater John Dami Mukese SVD meluncur dengan Daihatzu Taft Hi Line dari Kumba, arah timur. Melintasi ruas lurus mulus Jalan Ranaka dan Jalan Ahmad Yani, mobil yang dikemudi Om Flavi itu pun tiba di pusat kota. Melaju pelan di bawah naungan beringin, belok kiri, mobil menanjak masuk sebuah pekarangan luas. Itulah kompleks Kantor Bupati Manggarai.

Kami berhenti di pelataran parkir. Berharap Christo sudah tunggu di situ. Eh, tidak. Kami masuk, menemui resepsionis. Ia arahkan kami ke lantai dua, belok ke barat. Di ruang sekretariat, kami sampaikan tujuan. Sudah pukul 11.00. Pikirnya segera masuk. Ternyata … wadoh… masih ada tamu lain. Kami pun duduk di ruang tunggu.

Sekitar 30 menit kemudian, Christo tiba.

"Saya baru abis kirim berita e," katanya tanpa ditanya. "Soalnya, sebelum jam dua belas, berita harus sudah masuk redaksi."

Sambil duduk, saya decak kagumi kantor berlantai tiga itu. Megah. Christo menangkap makna tiap anggukan saya.

"Di kantor ini, kalau orang rokok, tahu memang," katanya. Ia hendak gambarkan lengkapnya fasilitas kantor tersebut.


KANTOR ini dibangun di atas lokasi kantor lama. Diresmikan Juli 2009. Telan biaya 20,5 miliar. Dari dana ad hoc pemerintah pusat tahun 2007 sebesar Rp36 miliar.

Peralatannya canggih. Ada CCTV. Bupati dan wabup bisa pantau kegiatan di setiap ruangan. Ada fasilitas presentasi in focus dll di ruang rapat. Ada jaringan LAN (local areal network). Semua ruangan di dalam dan unit di luar kantor dapat saling mengakses. Ada hot spot internet nirkabel.

Tidak hanya itu. Ada juga pendeteksi asap (smoke detector). Ini alat sistem pengamanan bahaya kebakaran. Berfungsi ganda. Pantau dini bahaya kebakaran, juga pantau asap rokok di ruang bebas asap merokok. Alat inilah yang dimaksudkan Christo ketika dia bilang, "Di kantor ini, kalau orang rokok, tahu memang."

Kami sedang asyik berbincang ketika Charles Helmon ajudan wabub persilakan kami masuk. Pukul 12.00.

Sedianya kami temui Bupati Christian Rotok. Namun, ia sedang ada di Jakarta. Informasi ini diperoleh Pater Dami langsung dari bupati saat kami masih di Labuan Bajo sehari sebelumnya. Selanjutnya, dari Christo kami dapat informasi, Bupati Rotok telah berkoordinasi dengan wabup. Wabuplah yang terima kami.

Wabup Deno bicara banyak tentang dinamika pembangunan di Manggarai. Usai Pater Dami sampaikan tujuan audiensi, suasana perbincangan makin cair.

Saya lontarkan satu pertanyaan. Ini mewakili rasa ingin tahu publik. Apa kiatnya sehingga pasangan Christian Rotok-Deno Kamelus (Credo) bisa akur selesaikan periode pertama masa jabatan bupati-wabup, dan tetap kompak di periode kedua?

Wabup Deno jawab, ada 4 kunci. Kebetulan tiap katanya berakhir dengan huruf "i". Kita namakan saja ini "4i ala Credo".

Pertama, tupoksi (tugas pokok dan fungsi). Sudah ada dalam UU. Bupati-wabup tinggal laksanakan secara konsisten.

Kedua, komunikasi. Ini harus dibangun dan dipertahankan. Jangan tunggu ada masalah besar baru baku cari, sebelum atau sesudah baku tuduh.

Ketiga, transparansi. Saling terbuka. Tak ada yang disembunyikan.

Keempat, tahu diri. "Saya tahu apa tugas saya, dan sampai di mana batas wewenang saya," kata Wabup Deno. Bukan hanya sikap yuridis, ini juga sikap etis.

Boleh dibilang, 4i ala Credo ibarat 4 sisi yang membingkai tipe hubungan ideal bupati-wabup. Yaitu, hubungan kolegial. Ke luar, hubungan tipe ini memancarkan tipe kepemimpinan ideal pula. Kepemimpinan kolegial. Dasar terdalamnya: kolegialitas. Bukan rivalitas.


CREDO sudah buktikan itu. Dan Credo adalah fenomena langka di tengah gejala umum: bupati-wabup tidak akur di tengah jalan. Menurut data lansiran Kementerian Dalam Negeri, sekitar 91 persen kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi sebelum masa jabatan berakhir.

"Hanya ada sembilan persen yang kepemimpinan gubernur dan wagub, bupati dan wabup, yang langgeng sampai akhir jabatannya," kata Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan di sela seminar Desiminasi Produk Perencanaan Bappenas, di Denpasar, Rabu 30 November 2011.

Atas dasar ini, kini pemerintah susun draf rancangan undang-undang (RUU) tentang pemerintah daerah, yang akan mengakhiri jabatan politis wakil kepala daerah. Wakil kepala daerah tidak akan dipilih lagi dalam pilkada, melainkan ditunjuk. Yang berhak adalah PNS setingkat sekda.

"Wakil kepala daerah harus ditunjuk supaya tidak berkelahi (dengan kepala daerah) setelah terpilih," kata Prof. Dr. Ryaas Rasyid di Jakarta, Kamis 15 Desember 2011. Ia anggota Dewan Pertimbangan Presiden Bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi.

Wabup Deno mengkritik solusi ini.

"Pemerintah pusat cenderung melihat akar banyak persoalan hanya pada peraturan perundang-undangan," katanya.

Padahal, letak persoalan utamanya di sini bukan pada UU-nya, tapi pada diri pengemban amanat UU itu. Bukan pada senjatanya, tapi pada 'orang di balik senjata itu', the man behind the gun.

Secara lain bisa dikatakan: penyelenggaraan negara akan baik di tangan orang baik, meski UU-nya belum baik. Sebaliknya, penyelenggaraan negara akan buruk di tangan orang buruk, walau UU-nya sudah baik.

Maka, dalam hubungan bupati-wabup yang tidak akur, kata Wabup Deno, yang patut dipersalahkan bukan UU-nya, tapi orangnya. Dalam hal ini, bupatinya. Bukan wabupnya.

Ini masuk akal. Tugas dan wewenang kepala daerah adalah "memimpin" penyelenggaraan pemerintahan daerah, dst. Sedangkan tugas dan wewenang wakil kepala daerah adalah "membantu" kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, dst. Itu kata UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam hubungan asimetris itu, yang "memimpin"-lah yang pegang kunci. Bukan yang "membantu". Maka, kalau bupati-wabup tak akur, bupatinyalah yang tak becus.

"Tidak ada murid yang jelek. Yang ada hanyalah guru yang jelek." Begitu kata seorang guru kungfu, Han, kepada muridnya, Dre, dalam film "Karate Kid".

Kurang lebih begitulah. Tidak ada wabup yang jelek. Yang ada hanyalah bupati yang jelek. Maka, menjadi tidak lucu: bupatinya yang jelek, tapi wakilnya yang kena getah. Diturunkan pangkat demokrasinya oleh RUU, dari "dipilih" menjadi "ditunjuk". Hhh ....

Flores Pos Jumat 23 Desember 2011

20 Desember 2011

Natas Lehong, Pusatnya Manggarai Timur (2/Habis)


Indah secara Visual, Matang secara Konseptual

Oleh Frans Anggal

SEBELUM tinggalkan Lehong, kami putar-putar sebentar di area terbuka (open space), tepat di depan bangunan kantor bupati. Dalam master plan sang arsitek, ruang terbuka ini berbentuk lingkaran, berdiameter 190 meter, dengen luas 2,85 ha. Tepat di titik pusatnya akan dibangun tugu tempat terpancangnya tiang bendera.

“Ini semacam compang atau tiang persembahan pada pola perkampungan Manggarai," kata Firman Demorin, sang arsitek, kala menjelaskan master plan di rumah singgah di Peot sesaat sebelum kami ke Lehong. Ia lulusan Universitas Atmajaya Yogyakarta 2004, bukan 2009 seperti disebutkan sebelumnya.

Dengan sebuah titik pusat, jika dilihat dari atas, tata ruang Natas Lehong tampak tidak hanya seperti beo (perkampungan), tapi juga seperti lodok (kebun berpola jaring laba-laba). Inilah "pola konsentris atau radial terpusat" dalam istilah Firman. Sebuah transformasi pola perkampungan Manggarai ke dalam pola rencana tata bangunan lingkungan.

Saat kami lewat mengitarinya, titik pusat bakal tugu tiang bendera itu sudah ditandai dengan pancangan sebatang tiang bambu setinggi 5 meter. Dari titik itu, hamparan gusuran sudah meluas ke barat dan utara.

Gusurannya dalam. Maklum, Lehong itu miring, maka harus diratakan. Lapisan atas tanahnya (top soil) tidak bagus sebagai penyangga bangunan. Tanahnya liat dan lengket di kala hujan. Kering dan terbelah di saat kering.

Pada beberapa jalur, lapisan tanah setebal kurang lebih 1 meter itu sudah digusur buang. Sebuah buldoser, eksavator, dan vibro sedang parkir, istirahat. Gerimis terus mengguyur. Ban mobil kami tetap menggelinding di atas tanah licin, untuk kemudian balik ke arah kami datang.

Kami tinggalkan Lehong. Puas.


"NATAS Lehong itu perkampungan Manggarai berdesain modern, dengan konsep tiga batu tungku, trias politica," kata Bupati Yoseph Tote. Ia ditemui di rumah jabatan di Golo Lada, sore jelang malam, sepulangnya kami dari Lehong.

Tiga batu tungku tergambar jelas dalam master plan. Perkantoran melingkar bak belanga itu diapiti tiga bangunan pada tiga titik terluar. Yakni, bangunan eksekutif (kantor bupati), bangunan legislatif (kantor DPRD), dan bangunan yudikatif (kantor kepolisian, kejaksan, dan pengadilan).

Pater John Dami Mukese SVD yang tertarik dengan konsep ini langsung menyahuti bupati. Ia mengusulkan agar kompleks pusat pemerintahan itu tetap dinamai "Natas Lehong" dengan konsep "Likan Telu". Likan Telu merupakan padanan kata dalam beberapa bahasa di Manggarai Timur untuk Tiga Batu Tungku.

Bupati menyambut positif usulan ini. Namun ia menambahkan, perlu ada satu unsur lagi. Unsur masyarakat. Karena itu, di luar kompleks pusat pemerintahan akan dibangun perumnas, 365 rumah. Angka ini menarik. Jumlahnya sama dengan jumlah hari dalam setahun. Hmm, Natas Lehong kaya akan simbol.

"Perlu ada permukiman," kata bupati. "Di mana-mana, kompleks pemerintahan tanpa permukiman pasti mati."

Langkah ke arah ini sudah ia tempuh. "Saya minta lagi tanah 3,3 ha dari masyarakat. Sudah diusahakan dan sedang dalam proses sertifikasi. Lagi, 5 ha sedang diusahakan."

Rumah-rumah itu nantinya untuk PNS. "Kita butuh yang penuhi syarat. Cicilannya Rp500-750 ribu per bulan, selama 10 tahun. Akan disetor ke kas daerah. Jadi, semuanya berpihak kepada kepentingan daerah."

Tidak hanya permukiman. Di dalam kawasan Lehong akan dibangun pula SD dan SMP, tahun 2012. Ini salah satu pemenuhan pelayanan publik bagi warga perumnas dan warga lain sekitarnya.

Dengan ditetapkannya Natas Lehong sebagai pusat pemerintahan, maka daerah pesisir akan terfokus menjadi daerah niaga, yang didorong oleh pariwisata. "Dampaknya nanti, pertumbuhan ekonomi masyarakat lebih cepat."

Dari master plan, tampak jelas, Natas Lehong sebagai pusat pemerintahan benar-benar didukung oleh ruas jalan yang telah, sedang, dan akan dibangun dari dan menuju natas itu.

"Yang dirilis sekarang ada empat arus. Dari Paka, Kembur, Waereca, dan Jawang," kata bupati.

"Dengan demikian, posisi Lehong berada di tengah-tengah Borong. Ke Lehong, orang bisa datang dari mana saja."

Perencanaan natas pusat pemerintahan ini sudah mempehitungkan pula wilayah konservasi.

"Lehong tetap pertahankan lingkungan," kata bupati.

Ini tercermin dalam master plan. Di atas kawasan 500 ribu meter persegi, ruang terbuka hijau mencapai 60 persen. Sedangkan area terbangunnya 40 persen. Ada jalan raya selebar 30 meter bermodel boulevard. Ada area terbuka hijau, taman, dll. Ada area taman hijau yang masih dimungkinakan untuk dikembangkan. Ada pula area taman kota dan area pedestrian di pusat alun-alun.

"Konsep jalannya tidak hanya ramah terhadap lingkungan, tapi juga ramah terhadap manusia," kata Firman.

"Ada pedestrian ways. Ada juga untuk kaum difabel." Ini istilah yang tepat untuk kaum cacat: different ability people (difabel), orang yang berkemampuan berbeda. Bukannya tidak berdaya dan dibelaskasihani.

Luar biasa. Natas Lehong, sebuah karya monumental. Sudah pasti menguras otak, batin, waktu, tenaga, dan dana.

"Lehong, kalau jadi semua, habiskan Rp35 miliar," kata bupati. "Yang sudah dihabiskan Rp18 miliar."

Ia akui, ini perjuangan habis-habisan. Namun ia optimistis. "Orang bilang, kantor bupati belum ada uang. Tidak benar belum ada uang. Ada! Hanya, sekarang sedang diusahakan."

Menurutnya, mindset eksekutif perlu diubah. "Dana perlu diusahakan. Jangan hanya tahu gunakan. Birokrat harus kreatif dan inovatif. Tanpa itu, berapa kita punya PAD? Tidak kuat!"

Natas Lehong pun jalan terus. Targetnya, 2012 diresmikan. Bertepatan dengan HUT Kabupaten Manggarai Timur.


KELUAR dari rumah jabatan bupati, ada rasa puas. Sebagaimana puas setelah melihat Lehong, kami pun puas setelah beraudiensi dengan sang nakhoda Manggarai Timur.

Hanya bermobil satu dua menit dari rumah jabatan bupati, kami sudah tiba di Kevikepan, tempat kami menginap.

Malam semakin larut ... Natas Lehong seakan tetap menggelantung di pelupuk mata. Ulasan sang nakhoda seakan tetap terngiang di telinga.

Natas Lehong sungguh telah direncanakan dengan baik. Mudahan-mudahan tuntas terlaksana dengan baik pula. Ini sebuah pusat pemerintahan, yang tidak hanya indah secara visual, tapi juga matang secara konseptual.

Flores Pos Selasa 20 Desember 2011

19 Desember 2011

Natas Lehong, Pusatnya Manggarai Timur (1)


Yang Tersembunyi Kini Tersingkap

Oleh Frans Anggal

SIANG itu, Sabtu, 10 Desember 2011. Satu jam bermobil dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, kami sudah tiba di Borong, ibu kota Kabupaten Manggarai Timur. Waktu masih sangat cukup sebelum kami beraudiensi dengan Bupati Yoseph Tote sore harinya. Maka, rencana kami pun terwujud. Ke Lehong!

Yang jadi soal: siapa yang memandu? Saya cuma tahu nama Lehong, tapi tidak tahu letaknya. Begitu juga Pater John Dami Mukese SVD, pemimpin umum Flores Pos. Om Flavi, sopir kami, apalagi. Gelap. Namanya saja belum pernah ia dengar. Hhh ….

Tiba-tiba ponsel saya berdering.

"Om mereka sudah di mana?"

"Sudah di Kevikepan di Golo Lada. Sekarang mau langsung ke Lehong."

"Saya masih di Borong, Om. Kalau begitu, Om mereka singgah dulu di rumah Tanta Dis di Peot. Saya menyusul. Dari situ kita sama-sama ke Lehong."

Plong! Kami tidak sekadar dapatkan seorang pemandu. Tapi seorang pemandu yang tepat. Yang tahu baik Lehong. Yang hampir tiap hari ke Lehong. Dia, Firman Demorin. Arsitek jebolan Universitas Atmajaya Yogyakarta 2004. Dialah pembuat master plan sekaligus konsultan perencana RTBL (Rencana Tata Bangunan Lingkung¬an) Lehong. Di Lehong-lah pemerintahan Manggarai Timur akan berpusat.


DARI rumah singgah di Peot, arah timur Borong, kami meluncur ke Lehong, lebih ke timur lagi. Kami pakai dua mobil. Pater Dami tetap menumpang Daihatzu Taft Hi Line. Sedangkan saya pindah ke Toyota Hardtop milik Firman. Kami berdua di depan, memandu.

Dari Peot hingga Kembur, jalannya berupa lapen (lapisan penetrasi)macadam lebar 7 meter. Kualitasnya seperti hotmiks saja. Ini perubahan besar sejak Manggarai Timur jadi daerah otonom baru, lepas dari induk Kabupaten Manggarai, 2007. Secara khusus, ini terobosan duet bupati-wabup perdana yang kini sedang jadi nakhoda, Yoseph Tote dan Andreas Agas alias YOGA.

Sepanjang jalan di bawah gerimis, tampak sekelebat pemandangan penting selain rumah warga, berderet di sisi utara dan selatan. Ada kompleks perumahan yang sedang digusur lahannya. Ada bangunan SMK Pertanian. Ada SMA Negeri 2 Borong.

Tiba di Pertigaan Kembur, Firman banting setir ke kiri, membelok 45 derajat. Inilah jalan menuju Lehong. Beberapa ratus meternya sudah berupa pengerasan. Selanjutnya, sedang dalam pengerjaan.

Baru saja beberapa menit melintasi ruas jalan ini, kami melihat 6 mobil berhenti beberapa puluh meter di depan. Puluhan orang pada turun dan bincang-bincang. Kebanyakan perempuan. Firman sudah bisa mengidentifikasi siapa mereka.

"Itu rombongan wakil bupati, Om," katanya sembari terus maju mendekatkan mobil.

"Itu ada ibu bupati, ibu wakil bupati, kadis pertanian, kabid cipta karya …."

Kami pun turun dari mobil. Menyalami mereka. Wabup Andreas Agas. Ibu Yosefina Sedia, istri bupati. Ibu Theresia Wisang, istri wabup. Kadis Pertanian Don Datur. Ibu Yustina Jahang, istri kadishub dan infokom. Dll.

"Wah, pas sudah. Kita sama-sama ke Lehong," kata Wabup Ande. "Ini ada juga teman-teman dari TVRI."

Ia tampak sangat gembira. Dua media datang meliput ke Lehong … yang tersembunyi, yang seakan tak ada, dan seolah-olah tak ada apa-apanya. Sebagian besar warga Borong belum melihat lokasi ini. Sebagian pejabat pemerintah juga begitu.

Kami semua masuk mobil lagi. Lanjutkan perjalanan. Tujuh mobil beriringan, naik turun merayapi lekak-lekuk jalan tanah berbatu dan berlumpur. Paling depan mobil open kap, ditumpangi ibu-ibu Dharma Wanita. Mereka, di bawah pimpinan ketua Yustina Jahang, baru selesai lakukan penghijauan. Menanam 400 anakan mahoni dan 100 anakan mangga di atas lahan 1 ha SMK Pertanian. Istri bupati dan wabup hadir selaku panasihat.

Di belakang mobil Dharma Wanita, beturut-turut mobil wabup, mobil istri bupati, mobil kadis pertanian, mobil Firman, mobil Pater Dami, dan mobil kabid cipta karya.

Dari titik start ini, jalan ke Lehong penuh tantangan. Pada bulan hujan seperti ini, mobil tanpa derek sebaiknya tidak coba-coba maju kalau tidak ingin kandas di jalan.

Dari titik ini, Lehong belum kelihatan. Kiri kanan jalan hanya ilalang, diantarai perdu. Pada beberapa titik tampak pohon jambu mete, subur menghijau. Maju terus, kami pun memasuki jalan menurun. Mobil merayap di antara batu-batu besar dan licin hingga mencapai gorong-gorong aramco, lalu menanjak dan merayap. Di kiri kanan jalan itu menggunduk tanah hitam liat hasil gusuran, ilalang, mete, dan gamal.

Dengan kondisi seperti ini, mencapai Lehong terasa lama dan berat. Maklum, Lehong itu 2 km dari Pertigaan Kembur. Dan ... benar saja. Kami harus menanjak lagi. Lalu menurun lagi melewati gorong-gorong aramco, sebelum naik masuk MCS. Ini singkatan dari nama tempat yang "aneh": Mongkol Cungu Sesat.

Selanjutnya kami harus menurun lagi melintasi gorong-orong aramco, lalu menanjak, dan akhirnya sampai di bibir Lehong. Dari titik inilah sesuatu yang tersembunyi itu kelihatan dengan jelas. Sebuah surprise usai oleng-kemoleng mengarungi ruas jalan sulit. Dari titik ini … siapa bilang di Lehong tidak ada apa-apanya?

Di utara jalan masuknya sudah ada bangunan permanen ruko pemda. Berdinding kuning, berpintu biru. Tapi kami tidak berhenti di situ. Mobil terdepan membawa kami langsung ke bangunan kantor bupati nun di depan, yang sudah tampak kukuh menjulang di ketinggian. Berlantai dua, gedung itu beratap depan bundar mengerecut seperti mbaru gendang, rumah adat Manggarai.

Dalam warta media tahun 2009, bangunan ini menelan biaya hampir Rp9 miliar. Dialokasikan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2009. Luasnya 150 x 160 meter persegi. Empat perusahaan ikut tender. Nindya Karya Persero, PT Bumi Citra Persada, PT Ronson Jaya Putra, PT Agung Kencana, dan PT Menara Armada Pratama.

Dalam perkembangan hingga kini, biayanya ternyata jauh lebih besar. Sebab, ada penambahan bangunan. Tahap 1 saja Rp8 miliar. Tahap 2 Rp 6 miliar. Tahap 3 (final) Rp13 miliar. Angka ini saya peroleh dari Fatchur Rozi di Lehong. Ia site enginer PT Menara Armada Pratama yang menang tender dan hampir rampung mengerjakan gedung itu.


OLEH wabup, kami diantar melintasi lantai pertama gedung tersebut, sebelum naik tangga menuju lantai dua. Ruang demi ruang kami susuri sampai akhirnya berdiri berlama-lama di ruang bundar ala mbaru gendang. Dari balik jendea kaca bening, tampak jelas, kota bakal pusat pemerintahan Manggarai Timur ini berbentuk seperti perkampungan Manggarai.

"Ini pola konsentris atau radial terpusat seperti beo, kampungnya orang Manggarai," kata Firman ketika memperlihatkan master plan di rumah singgah di Peot sesaat sebelum kami ke Lehong. "Ini transformasi pola perkampungan Manggarai terhadap bentuk RTBL."

Pater Dami terkesan dengan konsep ini. Kepada sang arsitek di rumah singgah, juga kepada Wabup Ande Agas di Lehong, serta kepada Bupati Yoseph Tote saat audiensi di rumah jabatan, Pater Dami menawarkan nama yang tepat bagi lokasi pusat pemerintahan Manggarai Timur itu. Natas Lehong!

"Natas itu tempat orang bertemu," katanya.

Dan … di natas itu kami telah datang. Menyaksikan langsung bangunan kantor bupati yang hampir rampung. Melihat dari jauh banyak bangunan lain yang sedang dikerjakan. Sungguh, yang tersembunyi itu kini telah tersingkap.

Flores Pos Senin 19 Desember 2011

17 Desember 2011

Hutan Pantai di Iteng (2/Habis)


"Ine Mbele” Terlantar dan Dirusakkan

Oleh Frans Anggal

KE Ine Mbele kami pergi. Lewat tengah hari. Dari arah timur. Bermobil dari rumah Mantri Sius Nggaur, dalam dua tiga menit, kami sudah sampai. Tepi hutan itu berbatasan langsung dengan jalan berhotmiks seperempat lingkaran. Berpagar kawat duri. Melewati lingkaran hotmiks, kami tiba di sisi barat hutan. Di situlah lokasi Pasar Iteng. Masih lengang. Tapi sorenya pasti sudah ramai, karena keesokannya, Sabtu, hari pasar.

Kami tidak segera berhenti untuk masuk hutan mini itu. Tapi lihat-lihat dulu pantai Iteng. Cuma seratusan meter dari pasar. Melintasi jalan berbatu pasir, tibalah kami di tepi pantai. Pulau Mules tampak dari kejauhan. Deru ombak dan bau asin Laut Sawu seakan menyapa kami. Terutama dua orang yang baru pertama kali ke tempat ini. Pater John Dami Mukese SVD pemimpin umum Flores Pos dan Om Flavi sopir.

Hanya beberapa meter ke barat, ada bekas dermaga darurat. Tinggi tumpukan batu dan pasirnya dua tiga meter dari permukaan laut. "Di sini tempat sandarnya kapal tongkang, Bapa Koe," kata Obin, putra sulung Mantri Sius Nggaur, pemandu kami. Bapa Koe bukan nama kapal tongkang, tapi sapaan Obin buat saya: Bapa Kecil. Ia anak dari kakak istri saya.

"Alat-alat berat Ulumbu turun di sini," tambahnya. Yang ia maksudkan adalah serbaneka sarana dan prasarana bagi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu. Semuanya sudah diangkut dengan mobil tronton ke Ulumbu. Yang tersisa depan dermaga hanya tiang-tiang listrik. Terbuat dari semen, tiang-tiang itu berongga, dan pasti tidak sebaik tiang baja.

Puas berada di lokasi dermaga, kami balik ke arah kami datang. Kami berhenti depan gerbang masuk Ine Mbele. Letaknya lurus dengan garis tengah pasar. Lebarnya satu meter. Bertiang beton, berdaun jeruji baja.

Beberapa meter dari gerbang, dalam areal hutan, ada rumah tinggal, merangkap pos penjaga. Rumah tembok bercat putih. Kami menduga, kami harus singgah dulu di situ. Mungkin sekadar melapor, mencatat identitas, menyampaikan tujuan, serta meninggalkan pesan dan kesan saat pulang. Eh, tau-taunya tidak perlu.

"Masuk saja, Bapa Koe," kata Obin. "Petugasnya sering tidak ada."


KE tengah hutan. Menapaki jalan setapak. Rabat beton. Tapi semenya koq hampir tidak kelihatan. Tertutup tumpukan dedaunan kering. Hanya hujan lebat yang bisa membersihkan jalan itu. Petugasnya jelas tidak. "Betul-betul makan gaji buta," saya menggerutu dalam hati.

Baru maju puluhan langkah, kami saksikan hal menyakitkan lainnya. Pohon setinggi tiga meter terpangkas. Entah untuk apa, tiga dahannya terparang hingga lepas dari pokok. Diambil juga tidak. Terkesan sekadar pangkas lepas. Daun-daun di ujung ranting-rantingnya masih hijau segar.

Makin jauh ke dalam hutan, bukannya makin menyenangkan. Nasib terpangkas menimpa banyak pohon lain. Dari yang seukuran perdu hingga yang pokoknya sebesar lengan orang dewasa. Yang luput hanya pohon-pohon besar dan tua. Di antaranya berdiemeter dua kali pelukan orang dewasa.

Hati terhibur setiap kali mata menatap pohon-pohon besar dan tua itu. Tapi nurani kembali terusik ketika wajah menengadah. Banyak ruang dalam hutan ini telah jadi ruang tembus langit. Ine Mbele bukan lagi hutan padat, yang dedaunan antarpohonnya rimbun seakan saling menganyam. Pada banyak titik di tengah hutan ini, kami tersengat matahari. Sinarnya menerbos masuk tanpa hambatan. Hhh, kami gerah di tengah hutan.

Lebih jauh ke dalam hingga seratusan meter, kami berhenti. Itulah ujung jalan setapak sebelum belok 45 derajat menuju bagian lain hutan. Pada sudut belokan itu kami saksikan lagi hal menyakitkan. Sebuah kali kecil. Mata airnya ada di bagian utara, 50-an meter dari tempat kami berdiri. Debit airnya sangat kecil. Alirannya ke selatan hampir tidak kelihatan, tersembunyi di bawah bebatuan.

"Dulu airnya banyak," kata Obin. Debetnya menurun drastis sejak bebatuan dari hulu hingga tempat kami berdiri dibongkar oleh warga. Mereka bongkar hanya untuk cari belut. Hasilnya tidak banyak, cuma satu ember Matex. Turut tertangkap saat itu, belut besar pendek hitam. Itu satu-satunya yang hitam dan paling besar. "Neho pa'a mesen!" kata Obin. Ini gaya hiperbol khas Manggarai. Belut sebesar paha! Maksudnya, besar sekali.

Sejak belut "sebesar paha" ditangkap, kata Obin, debet air kali menurun drastis. Penjelasan Obin mewakili kepercayaan masyarakat setempat. Bahwa Ine Mbele itu pong sengit. Hutan angker. Dalam kepercaayan ini, hutan dipandang sebagai tempat tinggal makhluk adikodrati, yang menjaga dan melindungi hutan. Merusak hutan dan isinya diyakini mendatangkan murka penjaga dan pelindungi hutan. Kepercayaan inilah yang bisa menjelaskan hubungan antara tangkap belut "sebesar paha" dan mengecilnya debit air kali.

Oleh adanya kepercayaan seperti ini, warga sekitar pun tidak berani menebang pohon-pohon besar dan tua. Satu di antaranya pohon "Luwu" tinggi besar dan lurus. Sempat diabadikan kamera Pater Dami. Warga sekitar juga tidak mengusik kera yang ratusan ekor jumlahnya. Tiap Sabtu sehabis pasar, kera-kera ini menyerbu lokasi pasar. Menikmati apa saja yang bisa dimakan.

Di dalam hutan Ine Mbele, salah satu makanan utama kera adalah buah ara hutan (Ficus variegate). Kebetulan sekali pohonnya tumbuh dekat tempat kami berdiri. Rangkaian buahnya padat memanjang turun hingga dua tiga meter. Pater Dami tidak abaikan pemandangan ini. Ia angkat kamera. Klik.

Berbeda dengan kera, kalong Ine Mbele bernasib sial. Saat musimnya tiba, jumlahnya ribuan ekor. Tapi ratusan di antaranya pasti mati. Mamalia bersayap ini jadi sasaran empuk warga. Ditembak untuk dipanggang.

"Untuk dapat satu ekor kalong, sering beberapa pohon harus ditebang," kata Mantri Sius dalam bincang-bincang di rumahnya sekembalinya kami dari Ine Mbele. Bebebeda dengan burung, kalong tidak langsung jatuh ke tanah saat terkena tembakan. Binatang berdarah panas ini selalu tancapkan kuku sayapnya pada batang ranting. Banyak yang mati tapi tidak jatuh dan akhirnya membusuk di atas pohon.


HINGGA kami tinggalkan Ine Mbele, tak seekor kalong pun yang kelihatan. Sudah bertahun-tahun mereka belum juga bermigrasi ke sini. Mungkin juga mereka tak akan kembali …. Wallahualam.

Kera? Hanya satu ekor yang kelihatan. Ia sepertinya hanya datang mengintai lalu menghilang ke balik belukar saat kami melintasi jalan pulang. Jalan pulang kami bukan lagi ke barat, arah kami datang. Tapi, ke selatan, ke bibir pantai. Sisi selatan ini sangat terbuka. Beton-beton batas hutan sudah ambruk. Pagar kawat berdurinya sudah raib.

Dari arah selatan inilah warga datang membawa masuk ternak sapi. Ternak-ternak ini bebas merdeka memakan dedaunan dan minum air dalam hutan. Ine Mbele telah jadi semacam kandang sapi raksasa. Untuk menghidupi ternak inilah, warga tidak segan-segan mengambil dedaunan dengan memangkas dahan dan ranting pohon.

Dalam situs resminya, Pemkab Manggarai berpromsi …. "Ine Mbele. Hutan pantai yang spesifik. Terdapat pohon-pohon besar yang tua, mata air, kawanan tabuhan, kakatua, kera, ular, dan lain-lain." Dan lain-lain? Mungkin maksudnya sapi-sapi warga itu.

Promosi, bagus. Tapi bisa melenakan tanpa kerja keras. Termasuk melenakan Dinas Kehutanan, pihak yang paling bertanggung jawab. Pihak yang secara kasat mata terbukti tidak punya perhatian serius terhadap Ine Mbele. Kami menyaksikan secara langsung …. Ine Mbele terlantar dan dirusakkan! ***

Flores Pos Sabtu 17 Desember 2011

Hutan Pantai di Iteng (1)


Sebuah Nama yang Tidak Lazim

Oleh Frans Anggal

KELUAR dari kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu di Desa Wewo, Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, kami tiba di pertigaan Ponggeok. Kalau belok ke utara berarti ke Ruteng, ibu kota kabupaten. Kalau tikung ke selatan berarti ke Iteng, ibu kota kecamatan. Ruteng, sudah. Itu kota kami inap. Titik dari mana kami datang siang itu, Jumat 9 Desember 2011. Maka … ke Iteng lah. Cuma 30 menit koq.

Mobil Daihatzu Taft Hi Line pun meluncur menuju kota pantai itu. Jalannya berhotmiks mulus. Menurun terus dan banyak kelokan. Pintar-pintar saja injak rem. Dan itu urusan sopir, Om Flavi. Saya dan Pater John Dami Mukese SVD "pasrah-pasrah" saja. Baru kali itu pemimpin umum Flores Pos ini ke Iteng. Demikian juga Om Flavi. Maka, saya yang pernah lima kali ke sini pede mati punya. Bisa berlagak jadi pemandu, seolah-olah tahu semua sana sini dan ini itunya jalan ke Iteng.

Kian mendekati Iteng, jalannya kian mulus dan lurus. Seperti jalan tol. Om Flavi makin tancap gas saja. Terpaan angin tambah keras. Saya dag dig dug. Maka … saya cari akal.

"Di sini tempat celakanya Pater Saverinus Pambut," kata saya kepada Pater Dami, dengan volume suara yang pasti terdengar jelas oleh Om Flavi.

"O ya," sahut Pater Dami.

Pater Saverinus Pambut SVD adalah misionaris di Papua New Guinea. Saat datang cuti ke kampung halamannya di Kecamatan Satarmese belasan tahun silam, ia tewas dalam lakalantas tunggal. Kala itu ia sedang bersepeda motor melintasi ruas jalan yang sedang kami lalui. Persisnya di ruas jalan mana, saya tidak tahu. Saya terka-terka saja, sekadar "mengingatkan" Om Flavi agar mengurangi kecepatan. Dan, cara ini ternyata sukses, he he.

Idealnya, menuju Iteng melaju pelan saja. Dengan demikian, landskapnya enak tercerap. Persawahannya membentang kiri dan kanan. Sejauh mata memandang, ya, sawah. Seakan-akan terhampar hingga bibir pantai Laut Sawu. Hijau …. Segar ….

Persawahan Iteng merupakan salah satu gudang beras Kabupaten Manggarai. Lainnya adalah persawahan Narang di Kecamatan Satar Mese Barat. Satu-satunya jalan terpendek yang digunakan dalam berbagai transaksi ekonomi antara masyarakat kota Ruteng dan masyarakat Kecamatan Satarmese adalah ruas jalan ini. Dan inilah satu-satunya jalan provinsi di Kabupaten Manggarai. Adapun ruas jalan lainnya, Ruteng-Reo, telah berubah status menjadi jalan nasional sejak 2010.


MASUK Iteng. Melintas depan kompleks kantor camat. Di sisi kanan di tepi tanah lapang. Rumah itu masih seperti dulu, saat saya pertama kali datang tahun 1990-an. Sebuah rumah papan lantai dua. Orang di Manggarai biasa menyebutnya "rumah tingkat".

"Itu rumahnya Kraeng Simpel Bero," saya mengarahkan telunjuk.

Pater Dami kenal nama ini. Simpel Bero adalah camat pertama Satarmese. Semasa hidupnya, ia tetap jadi tokoh, meski tidak lagi jadi pejabat. Anak-anaknya sudah jadi orang. Felomena Burhan, istri Frans Dula Burhan, bupati ketiga Manggarai. Paulus Bero, sekarang sekda Manggarai. Yeremias Bero, imam SVD, kini bertugas di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Dll.

Dari situ mobil kami membelok ke kanan. Lurus terus. Memasuki ruas jalan depan Mapolsek dan Puskesmas Iteng, tampaklah sesuatu yang langsung menumbuk mata. Sebuah hutan. Unik. Karena ini hutan heterogen di tepi pantai. Pantai-pantai di Flores kebanyakan punya hutan homogen, hutan bakau. Juga unik, karena hutan satu ini sangat mencolok. Menjulang, rimbun, dan hijau sendirian di tengah savana Iteng.

Hutan jenis inilah yang biasa disebuat hutan pantai. Ekosistemnya di daerah-daerah kering tepi pantai. Dengan kondisi tanah berpasir atau berbatu. Dan terletak di atas garis pasang tertinggi. Daerah seperti itu umumnya jarang tergenang air laut. Namun sering terkena angin kencang dengan embusan garam.

Maka, lazimnya, spesies pohon dalam ekosistem hutan jenis ini adalah Barringtonia asiatica, Terminalia catappa, Calophyllum inophyllum, Hibiscus tiliaceus, Casuarina equisetifolia, dan Pisonia grandis. Kadang-kadang juga terdapat spesies Hernandia peltata, Manilkara kauki, dan Sterculia foetida (http://ekologi-hutan.blogspot.com)

Situs resmi Pemkab Manggarai menggolongkan hutan pantai Iteng sebagai salah satu objek wisata alam. Lainnya, Ulumbu, dengan sumber gas alam atau panas bumi serta mata air panasnya. Juga Liang Bua, dekat Ruteng, gua besar dengan batu tetesan atas bawah, tempat ditemukannya benda-benda purbakala dan fosil Homo floresiensis yang terkenal.

Kami belum langsung ke hutan itu. Tapi hanya mendekat. Karena kami menyinggahi salah satu rumah terdekat. Yang terletak persis di tengah-tengah antara puskesmas dan areal hutan. Rumahnya Mantri Sius Nggaur. Dari Mantri Sius dan putra sulungnya, Obin, kami memastikan nama hutan itu dalam lafal yang jelas tegas. Sebuah nama yang tidak lazim untuk lidah dan telinga orang Manggarai: Ine Mbele.


Ine Mbele. Ini bukan kosa kata Manggarai. "Ine" itu ibu, bahasa Bajawa, Nagekeo, Ende, dan Lio. "Mbele"? Ini yang tidak jelas. Tapi bunyinya berkerabat dengan bunyi kata dalam bahasa Ende dan Lio: "mbere", yang berarti mengalir. Bajawa: "bere", mengalir, juga bisa berarti tas gantung tempat sirih pinang, tembakau, dll.

Dalam kawasan hutan itu ada mata air. Sumber air ini menghidupi warga sekitar, selain air kali Wae Koe di seberangnya, yang bermuara ke Laut Sawu. Terasa masuk akal kalau nama pemberian pertama terhadap hutan itu adalah Ine Mbere. Ibu yang mengalirkan air. Bandingkan dangan nama dua gunung api di Ngada dan Nagekeo. Ine Rie, ibu riang-riang. Ine Lika, ibu tungku api.

Besar kemungkinan, masyarakat di Iteng salah dengar dan akhirnya salah ucap ketika nama imporan itu disebut-sebut. Salah paham, salah dengar, dan akhirnya salah ucap bukanlah fenomen baru dalam penamaan atas sesuatu atau seseorang. Ada contohnya: sebuah lema yang sudah (lama) masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Yaitu, "meriam".

KBBI menjelaskan, meriam = senjata berat yang larasnya besar dan panjang, pelurunya besar, sering diberi roda untuk memudahkan pengangkutannya. Jadi pertanyaan: kenapa namamya "meriam"? Dalam banyak bahasa asing, nama senjata jenis ini adalah "cannon". Sama sekali tidak ada kekerabatan bunyi sedikit pun dengan "meriam".

Inilah penamaan akibat salah tafsir, salah dengar, dan akhirnya salah ucap itu. Terjadi pada saat penjajahan Portugis di Indoensia. Tentara Portugis yang Katolik selalu mengucapkan "Ave Maria" (semacam bismillah) sebelum melepaskan tembakan dari senjata berat jenis ini. Orang Indonesia yang mendengarnya mengira itulah nama senjatanya. "Ave Maria", terdengar salah, dan akhirnya dipersingkat saja jadi "meriam".

Kembali ke Ine Mbele. Apakah ini nama yang lahir dari salah dengar dan salah ucap? Wallahualam. Apalah arti sebuah nama. Yang menjadi pertanyaan: kalau Ine Mbele berasal dari Ine Mbere, yang berarti ibu yang mengalirkan air, masihkan mata air di hutan pantai itu jernih dan membual seperi sediakala, ketika atas dasar itu namanya diberikan? Jawabannya ada di hutan itu. Ketika kami datang dan menyaksikan sendiri …. ***

Flores Pos Jumat 16 Desember 2011

15 Desember 2011

Sejumput Kisah dari Ulumbu (2/Habis)


Dari Berkat ke Kerja Berat

Oleh Frans Anggal

DARI lokasi asli Ulumbu, kami menapaki jalan tanah bercekung menuju lokasi buatan. Di selatan. Hanya beberapa ratus meter. Inilah lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu.

Sebelum dibolehkan masuk atau tidak, kami harus isi buku tamu di pos masuk. Pria hitam berkumis dan berseragam biru itu mempersilakan kami duduk. "Karolus Beok", tertera pada saku kanannya. "Security", pada saku kirinya. Ia asal Kaca. Tinggalnya di Iteng. Ia mendapat giliran piket hari itu, Jumat 9 Desember 2011.

Dari satpam ini kami mendapat informasi, orang yang berwenang menjelaskan hal ihwal pembangkit listrik tenaga panas bumi Ulumbu adalah orang PLN. Namanya Pak Agus. Sayang, dia sedang tidak berada di tempat.

"Dia sudah pigi solat Jumat dari tadi Pak," kata Karolus. Jam menunjukkan pukul 12.00.

"Solat di mana?" tanya saya.

"Di Nanga Paang di Iteng, Pak." Hmmm, berarti harus bermobil setengah jam sebelum mencapai Iteng, ibu kota Kecamatan Satarmese.

"Kapan pulangnya?"

"Mungkin jam 3 sore, Pak."

"Kenapa bisa lama begitu?"

"Tida tau lagi e. Habis solat, dia pasti makan siang. Mungkin juga tidur siang."

Di saat itu baru kami sadar, kami terlalu berlama-lama di lokasi asli Ulumbu. Menyaksikan kepulan asap putih pada banyak titik .… Memelototi didihan air berlumpur belerang kekuning-kuningan …. Meraba dan merasakan langsung sengatan air panas dan bebatuan gosong …. Belum lagi jepret sana sini ….

"Maunya tadi kita langsung ke sini," kata Pater John Dami Mukese SVD sesaat setelah keluar dari pos satpam menuju lokasi pembangkit listrik. Pemimpin umum Flores Pos ini sadar telah terjadi salah perhitungan. Setibanya kami di tempat itu satu jam sebelumnya, dialah yang duluan menuju lokasi asli, tidak pake tanya-tanya. Saya dan sopir Om Flavi mau tidak mau ikut saja, he he he.


KAMI diantar Karolus menjejaki jalan menurun menuju pusat pembangkit listrik. Satpam ini memberanikan diri jadi pemandu. Lain-lain yang ada di situ mana berani. Sebab, yang begini-begini wewenangnya Pak Agus. Mau bilang apa. Tak ada Agus, Karolus pun jadi.

Bangunan pertama yang kami masuki adalah gedung turbin. Berdinding alumunium anti api. Ada dua turbin di situ. Raksasa. Tingginya tiga kali tinggi orang dewasa. Ini turbin berkapasitas besar. Masing-masing berdaya 2,5 mega watt (MW). Sedangkan yang berkapasitas kecil berada pada bangunan lain, berdaya 100 kilo watt (KW). Turbin kecil inilah yang sudah beroperasi, menerangi empat desa sekitar. Sementara turbin besar masih dalam proses pemipaan.

Wardoyo, tenaga teknis pemipaan dari PT Hindro, sibuk memasang pipa turbin saat kami masuk menyalaminya. Ditanyai tentang cara kerja turbin, dia tidak bersedia menjawab. Bukan karena tidak tahu, tapi karena tahu diri. Itu wewenang orang PLN, dalam hal ini Pak Agus yang sedang tidak berada di tempat. Kenapa harus orang PLN?

Undang-Undang (UU) No. 27/2003 tentang Panas Bumi, pasal 10, mengamanatkan bahwa untuk mempercepat pemanfaatan panas bumi, negara dapat memberikan wilayah penugasan survei pendahululuan panas bumi kepada badan usaha. Berdasarkan UU tersebut, dan diperkuat Peraturan Pemerintah (PP) No.59/2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi, maka Kementerian Energi dan Sumber Daya (KESDM) melalui Kepmen No. 2010 K/30/MEM/2009, memutuskan: terdapat 9 wilayah penugasan survei pendahuluan panas bumi yang ditawarkan kepada badan usaha dan terbuka untuk umum.

Dalam perkembangannya, dari 9 lokasi yang ditawarkan, hingga kini baru 2 lokasi wilayah penugasan yang telah diambil penugasannya. Yaitu wilayah Ulumbu (Manggarai) dan Mataloko (Ngada) di Flores yang diberikan kepada PT PLN (persero). Sedangkan 7 lokasi lain sampai saat ini masih terbuka untuk ditawarkan kepada badan usaha yang berminat dan memenuhi syarat (www.esdm.go.id).

Keluar dari bangunan turbin raksasa, kami diantar Karolus menuju bangunan turbin kecil. Bisingnya di sini minta ampun. Desis desing uap dari sumur bornya seakan hendak memekakkan telinga.

Sugeng, dari KSO yang menangani sumur dan pemipaan, memberikan penjelasan penuh ragu tatkala ditanyai tentang proses kerja turbin. Seperti Wardoyo, ia juga tahu diri. Itu wewenang orang PLN. Yang bisa dia jelaskan hanya ini. Ada tiga sumur. Masing-masing berkedalaman 895 meter, 945 meter, dan 1800 meter. Dari sumur inilah uap dialirkan ke tiga turbin. Masing-masingnya berdaya 1 x 100 KW (turbin kecil) dan 2 x 2,5 MW (turbin besar).

Singkat cerita, tak banyak informasi yang kami peroleh tentang cara kerja turbin geoter-mal Ulumbu. Inilah risiko liputan dadakan. Soalnya, ke Ulumbu hanya intermezo dalam perjalan¬an tugas kami berau¬dien¬si dengan petinggi tiga kabupaten: Manggarai Barat, Manggarai, dan Manggarai Timur.

Tak dapat gambaran apa-apa tentang cara kerja turbin, kami tetap puas telah ke Ulumbu. Menyaksikan langsung apa yang sudah ada. Terutama setelah persitiwa penting yang menda¬pat liputan luas media. Yaitu peresmian uji coba pasokan listrik PLTP Ulumbu oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan pada tanggal 11 bulan 11 tahun 2011.


SAAT hendak pulang, sebelum memasuki mobil, saya berhenti sejenak depan pos satpam. Berusaha menyadari diri sedang berada di mana. Oh, ternyata di tengah hutan! Di tengah hutan lindung! Apakah PLTP Ulumbu salah tempat?

Di samping mensyukuri berkah PLTP Ulumbu, saya mengkhawatirkan kutukan alam seperti dikisahkan mitos Ulumbu. Nasib apa gerangan yang akan menimpa hutan lindung nan hijau di sekitar tempat ini? Kekhawatiran kian menebal di tengah kebijakan pemerintah meningkatkan porsi pemanfaatan energi terbarukan dalam energy mix nasional. Pemerintah terus berupaya mendorong pemanfaatan panas bumi. Salah satunya dengan menyiapkan izin eksplorasi 28 titik geotermal sebagai bagian solusi kebutuhan pasokan energi.

"Ke-28 titik geotermal tersebut berada di dalam kawasan hutan lindung dan akan segera diberikan izin untuk eksplorasi dan eksploitasinya," kata Menteri ESDM Jero Wacik, di Bali Nusa Dua Convention Center, Sabtu 19 November 2011. Selama ini, kata dia, pemanfaatan energi panas bumi terhambat karena lokasinya berada di hutan lindung. Dia telah berkomunikasi dengan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan untuk menandatangani kesepakatan izin eksplorasi (www.esdm.go.id).

Tentang ini, Indonesia bisa belajar dari Filipina. Pemanfaatan panas bumi Filipina dimulai pada era 1970-an. Kini, lebih dari 27% total produksi listrik negara itu dihasilkan dari panas bumi. Ini mengantarkan Filipina menjadi negara terbesar kedua setelah Amerika Serikat dalam pemanfaatan panas bumi.

Kenapa pemanfaatan panas bumi jadi pilihan Filipina? Ada empat alasan. Rendah biaya modal. Tak adanya biaya valuta asing untuk bahan bakar. Kecilnya unit-unit. Kecilnya pula dampak lingkungan.

Kecil, bukan berarti tidak ada dampak lingkungan. PLTP Ulumbu sudah menunjukkan itu. Inilah tantangan ke depan. Dari berkat elektrifikasi ke kerja berat pelestarian lingkungan. Eksploitasi panas bumi tanpa penghancuran hutan lindung!

Flores Pos Kamis 15 Desember 2011

14 Desember 2011

Sejumput Kisah dari Ulumbu (1)


Dari Kutukan ke Berkat

Oleh Frans Anggal

DAHULU kala, Ulumbu itu sebuah kampung. Dihuni ratusan warga. Pada suatu hari, warganya meninggalkan kampung. Mereka pergi menanami kebun baru. Semuanya pergi. Tinggal hanya seorang buta dan seorang lumpuh. Keduanya ibu lanjut usia.

Saat hendak menanak, si buta tidak punya api. Ia menyapa tetangganya, si lumpuh, meminta api. "Ole, cala manga api koe nitu ta," katanya. "Bo api," jawab si lumpuh,"landing cei ata ban." Api ada, tapi tak ada yang bisa antar, katanya. Semua sudah pada pergi. Yang tinggal hanya mereka berdua dan seekor anjing. Gagasan kreatif dan inovatif pun muncul. Memanfaatkan anjing piaraan sebagai pengantar puntung api.

Maka, si lumpuh mengikatkan puntung api pada ekor anjing. Selanjutnya si buta memanggil anjing itu. Anjing pun datang berlari-lari, dengan api yang masih bernyala-nyala pada ekornya.

Tindakan yang tidak patut ini mendatangkan murka alam. Penguasa alam pun tiba. Ia mendekati si buta yang sedang menanak. Ia lontarkan satu pertanyaan tentang hasil tanakan yang diinginkan. "Ngoeng mbelek ko kar?" Mau yang lunak atau yang keras? Si buta menimbang-nimbang sejenak, lalu menjawab, "Mbelek."

Jawaban itulah yang membuat Ulumbu jadi "mbelek". Lunak berlumpur mendidih seperti tanakan matang yang kebanyakan air. Bersamaan dengan itu, kampungnya hilang seketika. Rumah-rumah warganya berubah jadi bebatuan panas nan gosong. Sebuah kutukan!


JUMAT 9 Desember 2011. Bermobil dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, kami menuju "tempat kutukan" ini, 22 km arah selatan Ruteng, di Desa Wewo, Kecamatan Satarmese. Pater John Dami Mukese SVD duduk di depan, di samping kiri sopir Om Flavi. Saya duduk tepat di belakang pemimpin umum Flores Pos ini. Lewat kaca spion kiri, saya mudah menyaksikan rona wajahnya kala menikmati pemandangan sepanjang jalan. Juga gampang menonton anggukannya ketika ia terkantuk-kantuk dan terlelap oleh terpa dinginnya aroma hutan.

Kami start dari Ruteng pukul 08.30. Tapi baru tiba di Ulumbu pukul 10.00. Huh, satu setengah jam! Perjalanan tidak selama ini kalau kami tidak singgah sana sini urus ini itu, sebelum akhirnya meninggalkan Ruteng, menanjaki punggung gunung Golo Lusang, untuk seterusnya menurun menikung berkelok-kelok, hingga tiba di Ulumbu. Kalau lancar-lancar saja, satu jam sudah sampai.

Dari Ruteng hingga Pertigaan Ponggeok, jalannya berhotmiks. Pasti lancar mulus kalau tidak terganggu oleng-kemoleng di tengah hutan akibat tanah terban hingga satu meter amblasnya. Dari Pertigaan Ponggeok, kami menikung ke kiri. Itulah jalan menuju Ulumbu. Masih berupa pengerasan. Bergelombang berbatu-batu dan berdebu. Daihatzu Taft Hi Line yang kami tumpangi kotor-motor seperti mobil di arena balap off road.

Laju dari Pertigaan Ponggeok tersendat-sendat. Di depan kami sedang merayap mobil tronton yang memuat alat berat. Om Flavi tetap menjaga jarak aman, terutama pada tiap tanjakan. Kami betiga tidak mau mati konyol tergilas remuk jadi perkedel.

Beberapa ratus meter sebelum tiba di lokasi, setelah jauh meninggalkan kampung Lale, bau belerang mulai menyengat. Makin dekat, makin tajam. Usai mencapai titik ketinggian dan melewati jalan menurun, mata kami tertumbuk pada kepulan uap putih. Tak lama berselang, kami tiba di posisi tertinggi di lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu.

Jalan menurunnya rawan longsor. Kemiringannya 70-80 derajat. "Awas jatuh tergelincir", "Awas bahaya longsor". Dua leter itu terpancang di ujung pita hitam kuning yang terbentang sebagai pembatas. Kalau tidak hati-hati, siapa saja bisa tegelincir jatuh. Dan itu berarti remuk. Untuk mengatasi longosoran, tebing sepanjang 200-an meter itu kini sedang dirabatbetonkan. Bibir atasnya sekaligus akan berfungsi sebagai got.

Dari atas ketinggian inilah mata kami tersedot oleh sosok belakang bangunan kukuh berlantai delapan berkerangka beton tanpa dinding. Pada puncaknya bertengger berderet empat "kuali" raksasa, satu dari sekian banyak sarana pendukung kerja turbin pembangkit listrik. Adapun bangunan turbin sendiri berada di depan dan berdempet dengan menara beton itu.

Dari ketinggian jalan itu juga, desis desing uap dari sumur turbin terdengar begitu keras. Kepulan uapnya menggumpal di selatan bangunan turbin. Kami memilih tidak segera mendatangi tempat itu. Tapi lebih dahulu ke lokasi asli Ulumbu. Terletak hanya beberapa ratus meter dari pembangkit litrik, ke utara, di tepi hutan lindung.

Menuruni pinggiran jembatan Wae Kokor, lokasi asli itu mudah dicapai hanya dengan 50-an langkah kaki. Tanahnya gundul. Kekuning-kuningan oleh muntahan belerang dari perut bumi. Bebatuannya gosong, terutama pada titik semburan uap yang mencapai ratusan jumlahnya. Bebatuan itu panas, terebus air mendidih yang meloncat-loncat lima hingga sepuluh sentimeter.

Dulu, sebelum panas bumi dieksploitasi, didihannya tinggi. Juga lebar hingga satu meter. Lontaran uapnya pun menjulang seperti air mancur. Begitu kata Pater Dami. Ia dan teman-temannya pernah ke sini puluhan tahun silam. Mereka datang dari arah Lungar, melewati jalan tikus tembak lurus menerabas hutan.

Di timur dan barat lokasi ini terdapat kebun warga. Subur. Tanamannya hijau segar, serimbun hutan lindung di seberangnya. Kebun warga ini sudah ada sejak 50-an tahun silam, kata Florianus Wantu (54 tahun). Ia asal Lungar, tinggal di Desa Wewo. Dari mulut pria inilah mitos Ulumbu saya catat dalam wawancara sekilas di atas jembatan Wae Kokor saat ia sedang beritirahat.


FLORIANUS Wantu adalah tenaga harian pada proyek Ulumbu. Tugasnya untuk bersih-bersih, tebas rumput, dll. Ia digaji Rp35 ribu per hari, tanggung makan sendiri. Ia mengeluh. Angka ini terlalu kecil. Dia bilang, di kampung, di luar lokasi proyek, buruh harian dibayar Rp35 ribu juga, tapi makan ditanggung majikan. "Maunya gaji lima puluh ribu ka Pa, itu baru saya rasa pas e," katanya dalam logat Manggarai yang kental.

Di balik kekecewaan digaji rendah, Florianus bersyukur dapat kerja di proyek ini. Ia bisa kerja tetap, tidak musiman lagi seperti di proyek-proyek lain. Ia mengakui, inilah salah satu manfaat dari Ulumbu. Manfaat lain dan paling penting, tentulah, elektrifikasi. Pelistrikan. Dan itu sudah nyata, tidak lagi sekadar maya.

PLTP Ulumbu dieklporasi sejak 1994. Sejak itu, masyarakat hanya dengar janji dan janji. Elektrifikasi hanya jadi "proyek akan". Baru pada 2011 janji Ulumbu terwujud. Uji coba pasokan listriknya resmi dioperasikan pada tanggal 11 bulan 11 tahun 2011. Selanjutnya daya 100 kilo watt (KW) disalurkan ke empat desa sekitar dari total kapasitas 2 X 2,5 mega watt (MW). Desa pertama yang menerima berkah adalah Desa Wewo, Desa Ponggeok, Desa Umu, dan Desa Paka. Warga mendapat meteran gratis. Seterusnya nanti, secara bertahap, listrik Ulumbu akan menerangi Ruteng dan kota-kota lain di Flores.

Itulah sejumput kisah Ulumbu. Dari mitos kutukan ke etos berkat. Dari mbelek (panas dan berlumpur) ke delek (terima dan bersyukur). Teknologi telah menjadi anjing pengantar puntung api. Melahirkan media elektrifikasi, dengan serbaneka manfaatnya. Bagi yang buta, agar bisa melihat. Bagi yang lumpuh, agar bisa berjaan.

Flores Pos Rabu 14 Desember 2011