24 Desember 2011

Sejenak dengan Wabup Kamelus Deno (2/Habis)


Maju Lagi, “Tergantung Kraeng Mereka”


Oleh Frans Anggal


RUANG kerja Wabup Kamelus Deno berbentuk "L", jika dilihat dari barat. Garis vertikal "L"-nya menjadi ruang tamu dan tempat meja kerja. Sedangkan garis horizontal "L"-nya ruang rapat.

Lurus dengan pintu masuk dari arah selatan, kami langsung ke ruang tamu. Berderet delapan kursi, berhadap-hadapan. Di tengahnya, memanjang empat meja kayu berpolitur. Taplak mejanya kain bermotif songke, tenunan Manggarai. Taplak itu padu serasi dengan alas dan penutup gelas serta sarung botol air mineral, yang juga bermotif songke.

Kami menempati kursi sisi selatan, lurus dengan pintu masuk. Sedangkan wabup di kursi tunggal di sisi barat. Kursinya diapiti dua meja kecil, bertaplak motif songke pula. Satu dua meter di belakang punggungnya tampak meja kerjanya. Kursinya hitam tinggi, menghadap ke timur.

Cahaya menerobos dari utara, menerangi seluruh ruangan. Lurus dengan arah masuknya cahaya itulah ruang rapat. Terletak di balik pilar dua pelukan orang dewasa. Menempati garis vertikal "L", ruang itu tidak kelihatan dari pintu masuk. Kurang lebih sepuluh kursi berhadap-hadapan, mengapiti meja rapat. Memanjang.

Beralaslantaikan karpet merah, keseluruhan ruangan ini luas, bersih, segar, dan nyaman. Maklum, ini ruang kerja seorang wabup dalam sebuah kantor yang konstruksinya berstandar nasional. "Kantor bupati dengan konstruksi berstandar nasional" merupakan frasa pernyataan pers Bupati Christian Rotok di Ruteng, Selasa 7 Juli 2009, jelang peresmian kantor tersebut.

Di dalam ruangan itu, saat bersama Pemimpin Umum Flores Pos John Dami Mukese SVD melakukan audiensi, saya sempat tercenung sejenak. Kalau ruang kerja wabupnya begini, bagaimana pula ruang kerja bupatinya? Boleh jadi sama. Tapi bisa juga lebih.

Letak ruang kerja bupati di sebelah timur, di seberang garis tengah bangunan. Untuk menca¬pai ruangan itu, tidaklah sulit. Dua puluhan langkah, sudah sampai. Tapi, untuk menduduki kursi tunggal di balik meja kerjanya, pasti tidak gampang. Harus lewat proses panjang, berat, dan mahal. Pemilukada!

Akankah Kamelus Deno, yang kini wabup, berniat menyeberang ke ruangan itu? Untuk menduduki kursi tunggal bupati pada pemilukada 2015?


AUDIENSI kami jelang berakhir ketika pertanyaan itu saya lontarkan.

Saya berharap jawaban Wabup Deno jelas dan tegas: mau atau tidak mau maju lagi. Dasar harapan saya: betapapun dia wabup, lelaki kelahiran Rakas Cibal 2 Agustus 1959 ini doktor dan ahli hukum. Dia dosen nonaktif Universitas Nusa Cendana, Kupang. Seorang akademikus sudah terbiasa berbahasa jelas dan tegas.

Harapan saya meleset. Mantan sekjen PMKRI NTT ini ternyata memilih bahasa seorang politikus ketimbang bahasa seorang akademikus. Apa bedanya? Dalam membuat pernyataan, politikus tidak boleh salah tapi boleh tidak jujur. Akademikus sebaliknya, boleh salah tapi tidak boleh tidak jujur.

"Pak Kemelus, bagaimana, apakah mau maju nanti?" tanya saya.

"Tergantung Kraeng mereka," jawabnya. Singkat dan bisa multitafsir.

"Kalau menurut saya, sebaiknya Pak Kamelus maju," kata saya. "Pak Kamelus sudah teruji dan terbukti sukses sebagai wabup. Kompak dengan bupati di periode pertama, dan sekarang tetap akur di periode kedua."

Dasar anjuran ini sederhana saja. Kompaknya pasangan Christian Rotok-Deno Kamelus (Credo) menyelesaikan periode pertama, dan kini tetap akurnya mereka di periode kedua jabatan bupati-wabup, menunjukkan mereka telah menemukan formula tepat dalam proses manajerial pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik.

Kalau soal otoritas keputusan, ya, di mana-mana sama. Sudah standar, final, dan terikat secara legal. Hanya bupatilah yang memiliki otoritas keputusan. Yang boleh tanda tangani produk hukum di kabupaten, perda misalnya, hanya bupati. Wabup tidak. Juga tidak bisa diwakilkan. Tanpa tanda tangan bupati, instrumen kebijakan tidak bisa diberlakukan. Sehebat apa pun wabup, dia tidak bisa masuk ke ruang otoritas eksklusif milik bupati ini.

Yang sering jadi soal dan akhirnya jadi ajang sengketa adalah manajemen. Dalam hal ini manajemen pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Pada beberapa kabupaten, peran wabup benar-benar marjinal atau, lebih tepat, dimarjinalkan oleh bupati. Wabup betul-betul hanya jadi ban serap. Dan baru bisa jadi ban terpakai kalau bupatinya sedang tidak berada di tempat.

Pada beberapa kabupaten lain, tidak baku cocoknya bupati dan wabup bermula dari jatah-jatahan proyek. Ini semakin runyam kalau tim sukses penyandang dana pemilukada, yang notabene kebanyakan kontrator itu, mulai menuntut balas jasa melalui 'menang' tender proyek. Timnya bupati dan timnya wabup baku saing, baku ribut, baku rebut, baku sikut. Bupati dan wabupnya ikut-ikutan terseret. Maka berkela¬hilah mereka hanya karena masalah perut. Manajemen pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik terbengkalai. Masyarakat jadi korban.

Yang seperti ini tidak terjadi pada Credo. Sejak awal, pasangan ini telah membuat pembagian kerja yang jelas dan tegas dalam manajemen pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Tidak hanya itu. Proses manajerialnya pun berlangsung dalam bingkai "4i": tupoksi (tugas pokok dan fungsi), komuni¬kasi, transparansi, dan tahu diri. Inilah bingkai kolegialitas. Bukan bingkai rivalitas.

Nah. Kalau Kamelus Deno maju dalam pemilukada mendatang dan menang merebut kursi bupati, besar kemungkinan manajemen pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik ala Credo berkelanjutan. Bisa menjadi pembelajaran bagi para penggantinya. Bahkan bisa menjadi pembelajaran bagi daerah lain di Indonesia.


Dalam penjelasan singkatnya atas jawaban "tergantung Kraeng mereka", Wabup Deno menukik ke inti. Kalau dikehendaki masyarakat, dia akan maju merebut kursi bupati pada pemilukada 2015. Namun, imbuhnya, sampai sekarang ia belum punya pikiran ke arah itu. Dia masih fokus pada karya dan pengabdian sampai masa jabatannya berakhir.

Yang menjadi soal: bagaimana kalau dia tak dikehendaki lagi? Atau, dikehendaki dan maju, tapi kemudian kalah?

Suami Yeni Veronika ini bilang, tidak apa-apa. Ia tidak kehilangan apa pun. Nothing to lose.

Jika tidak lagi berkarya di bidang politik, ia akan back to basic. Kembali ke habitat aslinya: kampus. Kembali jadi dosen aktif di Universitas Nusa Cendana. Dalam hitung-hitunganya, dengan sejumlah karya ilmiah yang sudah dan akan dia tulis, gelar profesor atau guru besar bukanlah sesuatu yang sulit untuk diraih.

"Saya anjurkan Pak Kamelus menulis buku, share tentang kiat kompaknya Credo memimpin Manggarai dua periode," kata saya. "Ini bisa menjadi pembelajaran bagi generasi mendatang."

Dia tidak menjawab. Tapi sorot matanya menunjukkan ia sangat mempertimbangkan anjuran itu. Mudah-mudahan.

Flores Pos Sabtu 24 Desember 2011

Tidak ada komentar: