19 September 2015

Segera Bereskan Akarnya


(Kasus Taman Permenungan Bung Karno)


Oleh Frans Anggal

Taman itu terletak di jantung Kota Ende, jantungnya Pulau Flores. Dulu, semasa pengasingannya di Ende, Bung Karno selalu ke tempat itu. Di bawah pohon sukun ia duduk. Bermenung. Dari permenungannya lahir Pancasila. Waktu terus berlalu. Pohon sukun itu akhirnya mati. Tapi kemudian diganti dengan pohon sukun baru. Bercabang lima pula, sejumlah sila Pancasila. Kini, di sebelah pohon sukun itu, ditempatkan patung Bung Karno. Ia duduk bermenung. Taman itupun diberi nama Taman Permenungan Bung Karno.

Jumat, 11 September 2015, kehebohan muncul.  Taman ini dijadikan tempat pesta nikah anak Wakil Bupati (Wabup) Ende Djafar Achmad. Hadir dalam pesta ini Bupati Ende Marsel W. Petu, kepala-kepala dinas, pemimpin dan anggota DPRD,  BUMN, dan BUMD, serta masyarakat kebanyakan. Pesta ini pesta rakyat.

Kritik datang dari mana-mana. Intinya, yang terjadi ini bukan hanya penyalahgunaan tempat, tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan. Maklum, beberapa pejabat eselon dan PNS dilibatkan dalam persiapan pesta. Fasilitas pemerintah dan BUMN dikerahkan seperti mobil pelat merah dan aset lainnya.

Pemimpin Redaksi Flores Pos Pater Steph Tupeng Witin SVD dalam editorial “Bentara” Flores Pos, Senin, 14 September 2015, menilai kejadian ini sebagai tanda keanehan Pemkab Ende di bawah duet Marsel-Djafar. Ia mencatat dua kasus terakhir:  penggunaan Jalan El Tari sebagai arena  balap motor dan pemanfaatan Taman Permenungan Bung Karno sebagai tempat pesta nikah anak wabup. Apa keanehannya? Ruang publik dibolehkan begitu saja dimanfaatkan untuk urusan privat.

***
Bagi yang sudah lama tinggal di Kota Ende, keanehan seperti yang disoroti “Bentara” itu bukan hal baru. Keanehan seperti itu sudah biasa. Saking biasanya, sebagian besar warga mungkin menganggapnya tidak aneh lagi. Yang malah dianggap aneh adalah pihak yang menyebut kebiasan itu aneh. Jadi, makin aneh saja keanehan yang dianggap tidak aneh di Ende ini.

Di  Ende, mengaduk-campur- kaburkan  yang privat dengan yang publik bukan kisah baru. Balap sepeda motor di Jalan El Tari itu sudah dari dulu. Bupati-bupati sebelumnya juga tidak buat apa-apa. Dibiarkan begitu saja. Hajatan nikah, kematian, sambut baru, dan sunatan  bisa mengambil setengah bahkan seluruh badan jalan. Tinggal minta izin pihak berwenang, habis perkara, dan dipastikan tidak akan timbul perkara. Jalan raya yang adalah fasilitas umum (publik) bisa ditutup berhari-hari untuk urusan pribadi (privat). Para pengendara silakan belok ke jalur lain.  

Di Ende, dari dulu,  apa yang disebut ’kemerdekaan warga’ (civil liberties) belum sepenuhnya ada. Sebelum merdeka, warganya dipersulit penjajah. Setelah merdeka, pada masa Orde Baru, warganya  dipersulit negara. Kini, pada masa Reformasi, warganya dipersulit sesama warga. Jalan raya bisa seenaknya diblokir menjadi jalan saya.

Pelanggaran atas kepentingan publik seperti ini sudah terlalu biasa. Sudah dianggap wajar. Sudah mengendap dalam memori kolektif masyarakat. Juga dalam benak para pejabat. Maka tidaklah mengherankan kalau kisahnya berulang. Pesta nikah anak wabup di Taman Permenungan Bung Karno sesungguhnya hanyalah kisah yang sama dalam peristiwa yang berbeda. Tanggapan Wabup Djafar sendiri meneguhkan hal itu.

***
Tentang Taman Permenungan Bung Karno, sang wabup mengatakan, "Tempat ini merupakan taman bermain, dan di mana-mana taman merupakan tempat rekreasi. Taman ini disiapkan untuk tempat rekreasi bagi masyarakat, maka siapa saja boleh menggunakannya." (Flores Pos, Senin, 14 September 2015).

“Tempat ini merupakan taman bermain.” Wabup Djafar jelas keliru. Dari namanya saja sudah jelas, ini taman permenungan, bukan taman bermain. Dulu, Bung Karno ke sini untuk bermenung,  bukan untuk bermain. Lagi pula dia diasingkan ke Ende tidak sebagai murid taman kanak-kanak. Kalau dia hanya datang bermain di taman ini, ilham Pancasila mungkin tidak bakal didapatnya di sini. Dan taman ini mungkin tidak akan dijadikan situs. Taman ini bukan taman bermain. Ini taman bermenung. Tempat berkontemplasi, bukan beraksi. Tempat bersunyi, bukan berbunyi. Tempat berhening, bukan berbising. Menggelar pesta nikah di tempat ini jelas keliru besar.

“Di mana-mana taman merupakan tempat rekreasi." Ini juga keliru. Tidak semua taman itu tempat rekreasi. Taman makam pahlawan, misalnya, bukan tempat rekreasi. Karena itu, belum ada dan tidak bakal ada berita pejabat DKI menggelar pesta nikah anaknya di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kalaupun sebuah taman itu tempat rekreasi, tidak semua kegiatan dibolehkan dibuat di sana. Di Ende, misalnya, ada Taman Rendo,  taman rekreasi untuk anak-anak. Menggelar pesta nikah di Taman Rendo pasti tidak akan lucu. Sebab, yang menikah itu bukan anak-anak, dan menikah itu bukan rekreasi. Nah, kalau pesta nikah di Taman Rendo yang adalah taman rekreasi sudah dianggap tidak lucu, apalagi pesta nikah di Taman Permenungan Bung Karno yang jelas-jelas bukan taman rekreasi.

Dengan begitu, pernyataan wabup selanjutnya, “Taman ini disiapkan untuk tempat rekreasi bagi masyarakat" jelas keliru juga. Pertanyaannya sekarang, kalau bukan untuk rekreasi, untuk apakah Taman Permenungan Bung Karno dihadirkan di Kota Ende?

***
Sejenak kilas balik. Restorasi dan revitalisasi situs Bung Karno di Ende (salah satunya Taman Permenungan Bung Karno) merupakan hasil pemikiran berbagai tokoh, termasuk tokoh Flores seperti Ignas Kleden, tentang pentingnya pemugaran dan penghidupan kembali situs-situs sejarah untuk diwariskan kepada generasi mendatang. "Tujuannya tak lain adalah kesinambungan makna bernegara dari satu generasi ke generasi lain."

Itu kata-kata  Boediono, yang baik sebagai pribadi maupun sebagai wapres RI kala itu memberikan dukungan penuh. Kata-kata itu diucapkannya pada acara serah terima hasil revitalisasi dan restorasi situs Rumah Pengasingan Bung Karno dan Taman Permenungan Bung Karno di Ende, dari Yayasan Ende Flores kepada Pemkab Ende, di Auditorium Istana Wapres RI,  Jalan Kebon Sirih 14,  Jakarta Pusat, Senin, 17 Februari 2014. (Kompas, Rabu, 19 Februari 2014).

Peruntukannya terlihat. Taman Permenungan Bung Karno disiapkan  untuk “kesinambungan makna bernegara".  Pesta nikah anak wabup jauh sekali dari itu, untuk tidak mengatakan tidak ada hubungannya samasekali dengan  kesinambungan makna bernegara. Tapi … kesulitannya justru terletak di situ, pada penerapannya. Kesinambungan makna bernegara itu sangat abstrak. Maka perlu dikonkretkan: kegiatan macam apakah yang termaktub di dalamnya. Lebih praktis: kegiatan apa saja yang boleh dilakukan dalam Taman Permenungan Bung Karno. Ini yang sampai sekarang belum diatur secara jelas dan  tegas. Akibatnya, orang bebas menafsir. Pernikahan anak wabup di Taman Permenungan Bung Karno merupakan hasil dari penafsiran bebas juga. Kebetulan yang menafsir itu seorang wabup, yang notabene  punya kuasa, maka jadi sudah itu barang.

***
Menyikapi kenyataan ini, dan belajar dari kasus pahit sang wabup, Pemkab dan DPRD Ende perlu segera memikirkan cara terbaik bagi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Taman Permenungan Bung Karno (dan  situs Bung Karno lainnya di Ende). Kita sudah memiliki UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dalam UU ini dicantumkan 16 kewenangan pemerintah daerah. Kalau UU ini dinilai belum cukup operasional bagi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan Taman Permenungan Bung Karno (dan  situs Bung Karno lainnya di Ende), mungkin perlu dibuat perda khusus. Sambil menunggu perda, apakah bisa dibuat perbup? Atau? Pemkab dan DPRD lebih tahu.

Intinya,  peraturan yang jelas dengan sanksi yang tegas perihal pemanfaatan ruang publik sangatlah dibutuhkan. Ini yang selama ini menjadi kekurangan besar di Kota Ende. Ini pulalah akar terjauh dari kasus pemanfaatan Taman Permenungan Bung Karno sebagai tempat pesta nikah anak wabup. Jadi? Segera bereskan akarnya. Jangan hanya kutuk pucuknya.  ***

Dimuat pada kolom "Opini" Harian Umum FLORES POS Edisi Jumat, 18 September 2015.