(Kasus
Taman Permenungan Bung Karno)
Oleh Frans Anggal
Taman
itu terletak di jantung Kota Ende, jantungnya Pulau Flores. Dulu, semasa pengasingannya
di Ende, Bung Karno selalu ke tempat itu. Di bawah pohon sukun ia duduk. Bermenung.
Dari permenungannya lahir Pancasila. Waktu terus berlalu. Pohon sukun itu akhirnya
mati. Tapi kemudian diganti dengan pohon sukun baru. Bercabang lima pula,
sejumlah sila Pancasila. Kini, di sebelah pohon sukun itu, ditempatkan patung
Bung Karno. Ia duduk bermenung. Taman itupun diberi nama Taman Permenungan Bung
Karno.
Jumat,
11 September 2015, kehebohan muncul. Taman
ini dijadikan tempat pesta nikah anak Wakil Bupati (Wabup) Ende Djafar Achmad. Hadir
dalam pesta ini Bupati Ende Marsel W. Petu, kepala-kepala dinas, pemimpin dan
anggota DPRD, BUMN, dan BUMD, serta
masyarakat kebanyakan. Pesta ini pesta rakyat.
Kritik
datang dari mana-mana. Intinya, yang terjadi ini bukan hanya penyalahgunaan
tempat, tetapi juga penyalahgunaan kekuasaan. Maklum, beberapa pejabat eselon
dan PNS dilibatkan dalam persiapan pesta. Fasilitas pemerintah dan BUMN
dikerahkan seperti mobil pelat merah dan aset lainnya.
Pemimpin
Redaksi Flores Pos Pater Steph Tupeng
Witin SVD dalam editorial “Bentara” Flores
Pos, Senin, 14 September 2015, menilai kejadian ini sebagai tanda keanehan
Pemkab Ende di bawah duet Marsel-Djafar. Ia mencatat dua kasus terakhir: penggunaan Jalan El Tari sebagai arena balap motor dan pemanfaatan Taman Permenungan
Bung Karno sebagai tempat pesta nikah anak wabup. Apa keanehannya? Ruang publik
dibolehkan begitu saja dimanfaatkan untuk urusan privat.
***
Bagi
yang sudah lama tinggal di Kota Ende, keanehan seperti yang disoroti “Bentara”
itu bukan hal baru. Keanehan seperti itu sudah biasa. Saking biasanya, sebagian
besar warga mungkin menganggapnya tidak aneh lagi. Yang malah dianggap aneh
adalah pihak yang menyebut kebiasan itu aneh. Jadi, makin aneh saja keanehan
yang dianggap tidak aneh di Ende ini.
Di Ende, mengaduk-campur- kaburkan yang privat dengan yang publik bukan kisah
baru. Balap sepeda motor di Jalan El Tari itu sudah dari dulu. Bupati-bupati
sebelumnya juga tidak buat apa-apa. Dibiarkan begitu saja. Hajatan nikah,
kematian, sambut baru, dan sunatan bisa
mengambil setengah bahkan seluruh badan jalan. Tinggal minta izin pihak
berwenang, habis perkara, dan dipastikan tidak akan timbul perkara. Jalan raya
yang adalah fasilitas umum (publik) bisa ditutup berhari-hari untuk urusan
pribadi (privat). Para pengendara silakan belok ke jalur lain.
Di
Ende, dari dulu, apa yang disebut
’kemerdekaan warga’ (civil liberties)
belum sepenuhnya ada. Sebelum merdeka, warganya dipersulit penjajah. Setelah
merdeka, pada masa Orde Baru, warganya
dipersulit negara. Kini, pada masa Reformasi, warganya dipersulit sesama
warga. Jalan raya bisa seenaknya diblokir menjadi jalan saya.
Pelanggaran
atas kepentingan publik seperti ini sudah terlalu biasa. Sudah dianggap wajar.
Sudah mengendap dalam memori kolektif masyarakat. Juga dalam benak para
pejabat. Maka tidaklah mengherankan kalau kisahnya berulang. Pesta nikah anak
wabup di Taman Permenungan Bung Karno sesungguhnya hanyalah kisah yang sama
dalam peristiwa yang berbeda. Tanggapan Wabup Djafar sendiri meneguhkan hal
itu.
***
Tentang
Taman Permenungan Bung Karno, sang wabup mengatakan, "Tempat ini merupakan
taman bermain, dan di mana-mana taman merupakan tempat rekreasi. Taman ini
disiapkan untuk tempat rekreasi bagi masyarakat, maka siapa saja boleh
menggunakannya." (Flores Pos,
Senin, 14 September 2015).
“Tempat
ini merupakan taman bermain.” Wabup Djafar jelas keliru. Dari namanya saja sudah
jelas, ini taman permenungan, bukan taman bermain. Dulu, Bung Karno ke sini
untuk bermenung, bukan untuk bermain. Lagi
pula dia diasingkan ke Ende tidak sebagai murid taman kanak-kanak. Kalau dia
hanya datang bermain di taman ini, ilham Pancasila mungkin tidak bakal didapatnya
di sini. Dan taman ini mungkin tidak akan dijadikan situs. Taman ini bukan
taman bermain. Ini taman bermenung. Tempat berkontemplasi, bukan beraksi. Tempat
bersunyi, bukan berbunyi. Tempat berhening, bukan berbising. Menggelar pesta
nikah di tempat ini jelas keliru besar.
“Di
mana-mana taman merupakan tempat rekreasi." Ini juga keliru. Tidak semua
taman itu tempat rekreasi. Taman makam pahlawan, misalnya, bukan tempat
rekreasi. Karena itu, belum ada dan tidak bakal ada berita pejabat DKI
menggelar pesta nikah anaknya di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kalaupun sebuah
taman itu tempat rekreasi, tidak semua kegiatan dibolehkan dibuat di sana. Di
Ende, misalnya, ada Taman Rendo, taman rekreasi
untuk anak-anak. Menggelar pesta nikah di Taman Rendo pasti tidak akan lucu. Sebab,
yang menikah itu bukan anak-anak, dan menikah itu bukan rekreasi. Nah, kalau pesta
nikah di Taman Rendo yang adalah taman rekreasi sudah dianggap tidak lucu,
apalagi pesta nikah di Taman Permenungan Bung Karno yang jelas-jelas bukan
taman rekreasi.
Dengan
begitu, pernyataan wabup selanjutnya, “Taman ini disiapkan untuk tempat
rekreasi bagi masyarakat" jelas keliru juga. Pertanyaannya sekarang, kalau
bukan untuk rekreasi, untuk apakah Taman Permenungan Bung Karno dihadirkan di
Kota Ende?
***
Sejenak
kilas balik. Restorasi dan revitalisasi situs Bung Karno di Ende (salah satunya
Taman Permenungan Bung Karno) merupakan hasil pemikiran berbagai tokoh,
termasuk tokoh Flores seperti Ignas Kleden, tentang pentingnya pemugaran dan
penghidupan kembali situs-situs sejarah untuk diwariskan kepada generasi
mendatang. "Tujuannya tak lain adalah kesinambungan makna bernegara dari
satu generasi ke generasi lain."
Itu
kata-kata Boediono, yang baik sebagai
pribadi maupun sebagai wapres RI kala itu memberikan dukungan penuh. Kata-kata
itu diucapkannya pada acara serah terima hasil revitalisasi dan restorasi situs
Rumah Pengasingan Bung Karno dan Taman Permenungan Bung Karno di Ende, dari
Yayasan Ende Flores kepada Pemkab Ende, di Auditorium Istana Wapres RI, Jalan Kebon Sirih 14, Jakarta Pusat, Senin, 17 Februari 2014. (Kompas, Rabu, 19 Februari 2014).
Peruntukannya
terlihat. Taman Permenungan Bung Karno disiapkan untuk “kesinambungan makna bernegara". Pesta nikah anak wabup jauh sekali dari itu,
untuk tidak mengatakan tidak ada hubungannya samasekali dengan kesinambungan makna bernegara. Tapi … kesulitannya
justru terletak di situ, pada penerapannya. Kesinambungan makna bernegara itu sangat
abstrak. Maka perlu dikonkretkan: kegiatan macam apakah yang termaktub di dalamnya.
Lebih praktis: kegiatan apa saja yang boleh dilakukan dalam Taman Permenungan
Bung Karno. Ini yang sampai sekarang belum diatur secara jelas dan tegas. Akibatnya, orang bebas menafsir. Pernikahan
anak wabup di Taman Permenungan Bung Karno merupakan hasil dari penafsiran bebas
juga. Kebetulan yang menafsir itu seorang wabup, yang notabene punya kuasa, maka jadi sudah itu barang.
***
Menyikapi
kenyataan ini, dan belajar dari kasus pahit sang wabup, Pemkab dan DPRD Ende
perlu segera memikirkan cara terbaik bagi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan
Taman Permenungan Bung Karno (dan situs
Bung Karno lainnya di Ende). Kita sudah memiliki UU No. 11 Tahun 2010 tentang
Cagar Budaya. Dalam UU ini dicantumkan 16 kewenangan pemerintah daerah. Kalau
UU ini dinilai belum cukup operasional bagi perlindungan, pengembangan, dan
pemanfaatan Taman Permenungan Bung Karno (dan
situs Bung Karno lainnya di Ende), mungkin perlu dibuat perda khusus. Sambil
menunggu perda, apakah bisa dibuat perbup? Atau? Pemkab dan DPRD lebih tahu.
Intinya,
peraturan yang jelas dengan sanksi yang tegas
perihal pemanfaatan ruang publik sangatlah dibutuhkan. Ini yang selama ini
menjadi kekurangan besar di Kota Ende. Ini pulalah akar terjauh dari kasus pemanfaatan
Taman Permenungan Bung Karno sebagai tempat pesta nikah anak wabup. Jadi? Segera
bereskan akarnya. Jangan hanya kutuk pucuknya. ***
Dimuat pada kolom "Opini" Harian Umum FLORES POS Edisi Jumat, 18 September 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar