07 Maret 2009

Jangan Keliru

Oleh Frans Anggal

Rencana pendirian markas korem ataupun batalyon TNI Angkatan Darat di Ende selalu menuai masalah. Terakhir, penyerahan tanah di Desa Kuru dinilai ilegal oleh ahli waris. Sebelumnya, tahun 2006, petani desa itu menolak pembangunan markas di atas lahan garapan mereka. Januari 2008, masalah beralih ke Desa Ndeturea dan Sangaroro. Warga suku penghuni dua desa itu menolak rencana pembangunan markas. Mereka menolak menyerahkan tanah.

Cerita pun selalu berulang. TNI ingin mendapat tanah hibah. Sebagian orang yang mengklaim diri pemilik menyerahkan tanah. Tapi kemudian muncul penolakan dari yang merasa lebih berhak.

Terkesan, TNI selalu salah masuk dan menimbulkan konflik di tengah masyarakat. Kesan ini seolah-olah memprasyaratkan, kalau masuknya benar maka korem atau batalyon pasti diterima.

Namanya kesan, bisa saja mengelirukan. Dan itu sesungguhnya yang terjadi. Seakan-akan kalau prosedur perolehan tanah tidak bermasalah maka masuknya batalyon ataupun korem tidak ada soal bagi masyarakat Flores. Jangan keliru!

Sejak gejolak penolakan korem 1999, sangat kuat sikap masyarakat bahwa tidak ada alasan yang kuat perlunya korem/batalyon masuk Flores. Secara nasional, dari kacamata reformasi, komando teritorial itu merupakan langkah mundur. Semestinya dibubarkan.

Dari pengalaman 32 tahun Orde Baru yang militeristik, hadirnya komando teritorial membuat masyarakat warga tidak mandiri di hadapan negara. Atas nama keamanan dan stabilitas, setiap aktivitas warga selalu dilihat dan diawasi. Negara lewat aparat koramil dan babinsa di tingkat desa selalu hadir di acara pengajian, pernikahan, khitanan. Bahkan, secara berolok-olok sebagian kalangan menduga, di kamar tidur pun negara masih mengawasi warganya.

Di zaman revolusi kemerdekaan, komado teritorial dan doktrin perang teritorial barangkali ampuh. Doktrin yang diandalkan Angkatan Darat itu memudahkan angkatan perang zaman itu memungut logistik terutama dari orang desa yang ikut mendukung perjuangannya demi kedaulatan negara dan bangsa.

Itu dulu. Zaman sudah berubah. Kini dan ke depan, ancaman terhadap Indonesia lebih berbasis maritim. Oleh karena itu, yang seharusnya diperkuat adalah Angkatan Laut atau Angkatan Udara. Tapi justru TNI datang dengan tawaran memantapkan komando teritorial. Dalam basis studi perang, komando teritorial itu lebih bersifat perang darat. Sementara yang akan kita hadapi 5-15 tahun ke depan berbasis laut. Jadi, ancaman konkret yang kita hadapi ke depan bukan seperti yang dibayangkan oleh TNI selama ini.

Dengan ini, kita mau katakan bahwa korem ke Flores bukan sekadar soal prosedur bisa atau tidak dapat tanah. Persoalannya lebih substansial: korem belum dibutuhkan masyarakat. Jadi, jangan keliru!

"Bentara" FLORES POS, Selasa 5 Februari 2008

Tidak ada komentar: