Oleh Frans Anggal
Berbagai elemen yang tergabung dalam Aliansi Peduli Masyarakat Ende di Kupang berunjuk rasa ke DPRD NTT, menolak rencana militer membangun korem di Ende. Mereka mendesak DPRD NTT segera mengeluarkan sikap politik menolak korem karena korem belum dibutuhakn oleh masyarakat. DPRD berjanji akan mengagendakan pertemuan dengan petinggi TNI di Kupang.
Selain belum dibutuhkan, korem yang notabene menghadirkan tentara dalam jumlah besar hanya akan mengganggu rasa aman masyarakat. Kekhawatiran ini diutarakan Sekretaris JPIC Keuskupan Agung Ende Rm Sil Betu Pr dan Koordinator Yayasan Mitra Tani Mandiri Yos Mann di Bajawa.
Bukan tanpa alasan. Pengalaman beberapa daerah menunjukkan, kehadiran tentara dalam jumlah besar selalu membawa ketidaknyamanan. Bahkan penelitian lapangan yang dilakukan George Junus Aditjondro di daerah-daerah konflik dan kerusuhan di Indonesia seperti di daerah “tapal kuda” di Jawa Timur, Aceh, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua Barat mengungkapkan bahwa konflik di daerah-daerah tersebut diawetkan oleh kepentingan perusahaan-perusahaan besar dan kepentingan aparat keamanan---militer maupun polisi. Kepentingan tersebut sudah tampak sebelum atau sementara kerusuhan berlangsung, bahkan juga baru tampak setelah kerusuhan atau konflik mulai mereda.
Dengan kenyataan di atas, George merekomendasikan hal yang antara lain bersentuhan dengan peran militer. Menurutnya, karena berbagai kerusuhan yang berkepanjangan adalah bagian dari skenario politik faksi-faksi militer yang ingin menghambat Polri lebih berperan di bidang kamtibmas, maka usaha-usaha perdamaian tidak dapat dilepaskan dari kampanye nasional menegakkan supremasi sipil, membubarkan komando teritorial militer, dan mendemiliterisasi polisi dengan mengalihkan peranan Brimob ke kesatuan-kesatuan polisi yang langgam kerjanya lebih “sipil”.
George benar. Dalam perspektif demokrasi yang berkedaulatan rakyat berlaku paradigma “kedaulatan sipil atas militer”, bukan sebaliknya. Demikian juga amanat reformasi. Karena itu, pembentukan korem merupakan langkah mundur dan hanya akan melahirkan akibat buruk bagi tananan kehidupan nasional. Di antaranya, akan terjadi tumpah tindih peran dengan polisi sebagai penanggung jawab keamanan dalam negeri. Karena merupakan tanggung jawab polisi maka masalah keamanan tidak pantas dijadikan alasan untuk memperluas wilayah peran militer.
Flores sendiri tetap setia pada NKRI. Flores pun bukan wilayah perbatasan dengan negara lain. Lalu, untuk apa korem di sini? Kalau Flores dinilai atau dikhawatirkan akan tidak aman, kenapa pakai korem? Bukankah kemanan dalam negeri tanggung jawab polisi?
"Bentara" FLORES POS, Rabu 6 Februari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar