Oleh Frans Anggal
Keluarga Romo Faustin Sega Pr dan Tim Pencari Fakta (TPF) menuntut pertanggungjawaban Kapolres Ngada Erdy Swahariyadi dan dokter RSUD Bajawa atas pembohongan publik yang menyatakan Romo Faustin mati secara wajar karena penyakit. Kebenaran pernyataan kapolres dan visum et repertum dokter tidak terbukti. Hasil autopsi ahli forensik menyimpulkan korban meninggal akibat tindak kekerasan. Keluarga dan TPF mendesak Erdy Swahariyadi dicopot. Demikian pula dokter yang menerbitkan visum et repertum harus dicabut izin praktiknya.
Tanpa mengurangi bobot kesalahannya, kapolres mendasarkan penyataannya antara lain pada visum et repertum dari dokter RSUD Bajawa. Mengutip kapolres, visum et repertum menyebutkan korban meninggal karena serangan jantung dan darah tinggi (hipertensi). Keterangan ini berlainan sekali dengan hasil autopsi yang memastikan korban meninggal karena kepalanya dihantam benda tumpul tiga kali dan lehernya dicekik.
Bagaimana mungkin dokter pembuat visum et repertum tidak melihat tanda-tanda fisis itu? Pada kasus kematian karena rudapaksa (violent death) seperti ini, jenisnya, cara kejadian, dan sifat jejas (kerusakan tubuh) sangat mudah diidentifikasi. Anehnya, tanda-tanda kasatmata disingkirkan. Yang diterangkan malah serangan jantung dan hipertensi yang justru jauh dari ciri aktual jenazah.
Mengapa sampai muncul visum et repertum seperti ini? Apakah karena dokternya tidak cermat? Kalau ini penyebabnya, dokter tetap bersalah. Kode Etik Kedokteran Indonesia mengharuskan setiap dokter senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Artinya, harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, sarana yang tersedia, etika umum, hukum, dan agama.
Kalau atas ketetidakcermatannya dokter bersalah, apalagi atas pembohongan dalam memberi surat keterangan. Dalam memberikan visum et repertum, terdapat dua kewajiban etik dokter. Visum harus dibuat dengan teliti dan mudah dipahami berdasarkan apa yang dilihat. Visum et repertum haruslah objektif tanpa pengaruh dari yang berkepentingan dalam perkara.
Kode etik juga mewajibkan setiap dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa sendiri kebenarannya. Sebab, ia harus dapat membuktikan kebenaran keterangannya itu apabila diminta.
Kita sepakat, dokter harus dimintai pertanggungjawabannya. Kalau terbukti bersalah karena tidak cermat atau berbohong, izin praktiknya harus dicabut. Untuk membuktikannya, ia harus diproses hukum. KUHP pasal 267 mengancam dengan pidana 4- 8,5 tahun penjara.
"Bentara" FLORES POS, Jumat 20 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar