Oleh Frans Anggal
Hasil autopsi jenazah Romo Faustin Sega Pr yang dilakukan ahli forensik independen dari Universitas Indonesia membuka mata masyarakat Flores dalam memperjuangkan kebenaran dan keadilan.
Romo Faustin meninggal karena tindak kekerasan. Hasil autopsi ini mematahkan “simpulan sementara” Polres Ngada yang menyebutkan korban mati secara wajar. “Simpulan sementara” itu patut dapat diduga akan menjadi “simpulan final” juga bila autopsi dilakukan tim bentukan polres.
Hasil autopsi sangat bergantung dari siapa yang melakukannya. Kalau orangnya ahli atau berpengalaman namun tidak independen, hasil tidak akan mengungkapkan kebenaran. Hasilnya hanya akan mengukuhkan “simpulan sementara” pihak penyidik. Sebab, dasar kegiatannya adalah pesan sponsor, bukan profesionalitas yang mewajibkan sikap tidak berpihak.
Berangkat dari kesadaran seperti inilah, untuk menyingkap sebab sebenarnya kematian Romo Faustin, pihak Keuskupan Agung Ende (KAE) dan keluarga korban meminta autopsi dilakukan ahli forensik dari Universtas Indonesia, Mun’im Idris. Ahli ini terpercaya. Ia selalu mengungkapkan kebenaran. Tumpuannya hanyalah keahlian, ilmu, dan moralitas keilmuan.
Langkah KAE dan keluarga Romo Faustin kini menyadarkan masyarakat untuk lebih cerdas, cermat, dan berani memperjuangkan kebenaran dan keadilan dalam proses hukum. Tidak boleh percaya dan pasrah begitu saja pada kesewenang-wenangan lembaga atau aparat penegak hukum. Mereka perlu dikontrol karena mereka memiliki kekuasaan dan setiap kekuasaan cenderung merusak. Mereka perlu dikritisi karena kritik akan menguji kebenaran laksana emas dalam tanur api. Dan apabila mereka tetap bersikukuh dalam kesalahan, mereka harus dilawan atas cara yang dapat dibenarkan secara hukum dan moral.
Langkah KAE dan keluarga Romo Faustin juga menginspirasi para pencari keadilan. Di Kabupaten Sikka, jenazah Andri Haryanto direncanakan diautopsi ulang. Pihak keluarga dan TPDI menginginkan ahli forensik yang sama, Mun’im Idries, yang melakukannya. Mereka meragukan hasil autopsi yang dilakukan tim forensik Polda Bali. Hasil autopsi tim ini menyebutkan korban mati gantung diri, sama persis seperti simpulan Polres Sikka. Padahal, tak ada ciri-ciri sebagaimana biasanya pada orang mati gantung diri. Lidahnya tidak menjulur, matanya tidak membelalak. Sebaliknya, tanda-tanda tindak kekerasan terlihat jelas. Luka lebam di sekujur tubuh, satu gigi patah. Dua hari sebelumnya, korban dianiaya oleh seorang oknum Polres Sikka.
Patut dapat diduga, seperti pada kasus Romo Faustin, Andri Haryanto mati karena tindak kekerasan. Perlu, autopsi ulang.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 18 Februari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar