Polisi Ngada Terlibat Kasus Cendana
Oleh Frans Anggal
Dua anggota polisi ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik Polres Ngada. Keduanya tertangkap tangan oleh aparat TNI dan staf Kecamatan Wolomeze saat sedang mengangkut dua ton lebih kayu cendana tanpa surat izin di Desa Nginamanu. Saat ditangkap, keduanya menyatakan mereka hanya menjalankan perintah Kapolres Erdy Swaharyadi.
Sejak kasus ini mencuat Februari 2009, masyarakat mempertanyakan nasib kasus ini di tangan Polres Ngada. Ada semacam ketidakpercayaan publik. Kalau benar dua polisi itu hanya menjalankan perintah kapolres, patut dapat diduga si pemberi perintah akan luput karena diluputkan oleh penyidik polisi yang notabene bawahannya sendiri. Sebagai penyidik, dapatkah kasat reskrim memeriksa kapolresnya? Beranikah ia menetapkan atasannya menjadi tersangka?
Publik tahu jawabannya. Karena itu, muncul desakan kuat agar kasus ini ditangani Polda NTT. Harapan publik tidak terpenuhi. Polda tidak mengambil alih penanganan kasus ini. Dapat dikatakan, polda ‘membiarkan’ penanganannya di tangan Polres Ngada. Sama artinya dengan membiarkan kasus ini tidak dibongkar sampai ke akar-akarnya. Ujungnya hanya pada dua polisi itu sebagai pelaksana perintah. Sedangkan si pemberi perintah luput karena diluputkan.
Model penanganan seperti ini mencederai program yang sedang hangat-hangatnya di tubuh Polri: Program Reformasi Birokrasi Polri. Menanggapi program ini, dalam sambutannya di Mabes Polri, 30 Januari 2009, Presiden SBY menyampaikan pesan dalam bentuk sebuah matafora.
Kata presiden, lebih baik kita bersihkan sendiri rumah kita daripada dibersihkan orang lain. Gunakan sapu yang bersih. Kalau sapunya kotor maka lantai yang sudah bersih malah ikut kotor. Penyapunya juga harus bersih. Menyapunya pun tidak cukup hanya sekali, harus berkali-kali, terus-menerus.
Kalau diibaratkan dengan rumah, Polres Ngada dalam kasus cendana ilegal perlu segera dibersihkan. Supaya bersih, sapu dan tukang sapunya mesti bersih. Untuk sementara, khususnya dalam kasus ini, Polres Ngada tidak punya itu. Dalam kepercayaan publik, sapunya mesti sapunya polda. Tukang sapunya juga mesti tukang sapunya polda.
Disayangkan, polda tidak tanggap. Padahal, kasus ini mempertaruhkan citra Polri di mata masyarakat. Disayangkan, bila citra Polri dibiarkan terconteng hanya demi meluputkan seseorang yang semestinya paling bertanggung jawab dalam sebuah perbuatan melawan hukum. Keseriusan Polda NTT patut kita pertanyakan. Quo vadis? Anda sedang berlangkah ke mana?
"Bentara" FLORES POS, Rabu 4 Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar