26 Maret 2009

Kedaulatan Pangan

Oleh Frans Anggal

Untuk peringatan Hari Pangan Sedunia tahun 2008, NTT memilih tema ‘kemandirian pangan’. "Dengan Semangat Gotong Royong, Kita Tingkatkan Kemandirian Pangan Melalui Pemberdayaan Masyarakat Menuju NTT Baru". Ini menarik. Mudah-mudahan pemilihan tema ‘kemandirian pangan’ ini menunjukkan adanya perubahan paradigma: dari ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan.

Memandirikan pangan memang memerlukan perubahan paradigma. UU No 7/1996 tentang Pangan masih berparadigma lama dengan konsep ketahanan pangannya. Konsep ini didefinisikan sebagai kemampuan negara memenuhi kebutuhan pangan meliputi aspek ketersediaan, stabilitas ketersediaan, keterjangkauan, dan konsumsi.

Konsep ini tidak menyoal siapa yang memproduksi, dari mana diproduksi, dan bagaimana pangan tersedia. Yang penting, pangan dalam jumlah cukup, tidak peduli hasil impor atau panen sendiri. Ini menjadi masalah besar ketika globalisasi pertanian semakin ditandai dengan meningkatnya industrialisasi pertanian.

Kini, kekuatan industri saprodi (sarana produksi pertanian) dan distribusi pangan tertumpuk pada beberapa perusahaan multinasional. Dengan teknologi transgenik serta kekuatan modal tak terbatas, mereka berhasil memonopoli perdagangan input dan produk pertanian dan menggantikan semua inisiatif petani untuk membenihkan sendiri kebutuhan pertaniannya. Jutaan petani dunia pun tetap tergantung pada mereka. Mereka untung, petani buntung.

Sementara itu, janji teknologi mereka tidak terbukti memberikan solusi pada persoalan kelaparan dan produktivitas yang berkelanjutan. Apalagi bagi kesejahteraan petani. Nol besar. Petani tetap saja miskin, tergantung, bahkan semakin kehilangan kontrol atas keberlanjutan pertaniannya. Ribuan sumber daya genetik lenyap seiring dengan monokulturisasi benih. Jutaan pengetahuan asli hilang digantikan oleh budaya revolusi hijau. Sementara, benih transgenik yang dipaksakan juga tidak meningkatkan produksi.

Ketergantungan dan ketidakadilan pangan ini semakin menganga. Sudah saatnya dilakukan perlawanan dengan gerakan kedaulatan pangan. Bahwa pangan bukan semata persoalan produksi, distribusi, dan akses. Pangan adalah persoalan hak. Hak untuk hidup.

Untuk menciptakan kedaulatan pangan, pemerintah harus menjamin akses setiap petani atas tanah (reforma agraria), air, bibit lokal unggul, pasar yang adil, dan kredit bersubsidi. Prioritas utama dan pertama adalah pasar domestik dan kepentingan petani, bukan pasar ekspor dan kuasa korporasi. Semua prakarsa petani yang menggantikan input luar yang mahal (bibit, pupuk, pestisida) dengan produk ramah ekologi harus didorong. Dengan demikian, petani akan tegak sebagai petani mandiri, yang berdaulat atas pangannya sendiri.

"Bentara" FLORES POS, Sabtu 1 November 2008

Tidak ada komentar: