26 Maret 2009

Indonesia Tanpa Visi?

Oleh Frans Anggal

Tahun ini istimewa. Genap 100 tahun Kebangkitan Nasional (20 Mei) dan 80 tahun Sumpah Pemuda (28 Oktober). Ketika hari istimewa itu diperingati, kita ramai membicarakan nasionalisme kita. Konon, kian luntur.

Delapan dekade lalu, semangat nasionalisme Indonesia berkobar karena harus berhadapan dengan penjajahan. Pada era Soekarno, Indonesia memasuki ‘masyarakat pasca-penjajahan’ (post colonial society). Sumpah Pemuda diperingati di tengah demokrasi yang lemah dan ekonomi pasar yang tidak berkembang. Namun, masyarakat masih dapat dengan jernih menghayati komitmen moral dan tekad politik untuk maju bersama sebagai bangsa merdeka.

Pada era Soeharto, Sumpah Pemuda diperingati sebagai ritus di tengah sumpah serapah daerah yang terpinggirkan secara ekonomi, sosial, dan politik. Masyarakat tidak menangkap khidmat peringatan ini karena luka pelanggaran HAM, keadilan sosial ekonomi yang dikesampingkan, dan politik bias kepentingan penguasa.

Kini, di abad ke-21, di era Reformasi, kita memasuki ‘masyarakat ujung pasca-penjajahan’ (the end of post colonial society). Kita memperingati Sumpah Pemuda di tengah kesibukan meletakkan fondasi orientasi berbangsa dan berbegara yang katanya "baru", namun kabur, sehingga kita sendiri merasa tidak puas.

Ada kesan, setelah Reformasi, visi berbangsa dan bernegara kita tidak terumuskan dengan jelas. Jelek-jelek, zaman Orde Baru mempunyai tahapan Repelita, yang walaupun di dalam pelaksanaannya banyak digerogoti kepentingan pribadi dan golongan tertentu, namun minimal memiliki kejelasan tentang sesuatu yang dicita-citakan dengan tahapan-tahapan yang harus dilakukan.

Visi dapat menjadi arah bagi setiap warga negara, terutama lembaga-lembaga pemerintahan di dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari. Tanpa visi yang jelas dan target waktu pencapaiannya, maka apa yang dilakukan bisa hanya berjalan di tempat.

Dalam konteks otonomi dan desentralisasi, beberapa daerah malah memiliki visi sendiri-sendiri. Ini mengerikan. Perda syariat, sekadar contoh, menafikan kebinekaan Indonesia. Ujung-ujungnya dapat mengarah pada terguncangnya keutuhan NKRI. Masih banyak contoh lain yang memperlihatkan kecenderungan terjadinya polarisasi sosial politik. Ini menghambat proses sinergi, solidaritas, dan kekompakan dalam menghadapi tantangan bangsa dan negara yang begitu besar dan rumit. Padahal, sinergi yang melibatkan seluruh komponen bangsa sangat dibutuhkan Indonesia dalam kompetisi global.

Karena itu, visi keindonesiaan sebagai bangsa dan bernegara perlu dirumuskan dengan jelas. Program kerja pun harus nyata. Tanpa itu, nasionalisme kita akan tetap tinggal sebagai mimpi belaka.

"Bentara" FLORES POS, Rabu 29 Oktober 2008

Tidak ada komentar: