Oleh Frans Anggal
Program jarak pagar sudah dikembangkan selama tiga tahun di NTT. Hasilnya tidak ada. Mesin penggiling biji jarak menganggur dan berkarat. Program gagal yang melibatkan Dinas Perkebunan, Dinas Pertanian, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Dinas Perindag ini sekarang hendak digencarkan lagi. Di bawah kepemimpinan baru Frans Lebu Raya dan Esthon Foenay, pengembangan jarak pagar akan diperluas dengan proyek-proyek percontohan. Dananya diambil dari APBD 2009. Pemerintah siap membeli biji jarak yang dihasilkan masyarakat.
Gagalnya pengembangan jarak pagar untuk biofuel pengganti BBM tidak hanya menimpa NTT. Secara nasional, program ini tidak jalan. Padahal, sejak tiga tahun lalu, masyarakat antusias. Dalam berbagai pameran telah diperilihatkan bagaimana mesin berjalan baik tidak dengan BBM, tapi dengan BBJ (bahan bakar jarak).
Kini, apa hasilnya? Tidak ada. Di NTT, mesin ekstraksi minyak jarak pagar sudah karatan. Mesin-mesin pengolah minyak jarak pagar di Pangandaran, Jawa Barat, nyaris menjadi besi tua. Puluhan investor yang sudah mulai tertarik dan siap menanamkan uangnya menjadi kecewa. Ribuan hektare pohon jarak pagar telantar, dan petani mulai membabatnya. Sejumlah pompa bensin di Jakarta yang tadinya gencar menjual solar bercampur biofuel kini tak terdengar lagi beritanya. Era promosi biofuel di negeri ini telah redup.
Ini berlawanan dengan tren dunia. Negara Eropa seperti Jerman dan Belanda sudah mencoba biofuel jarak pagar, dan kini mereka mengembangkannya besar-besaran. Israel sangat antusias demi mengurangi ketergantungan BBM pada negara-negara Teluk. Prof Manurung, pakar minyak jarak dari ITB, diminta menjadi konsultan perusahaan otomotif di Jepang untuk mengembangkan BBJ.
Biofuel dari jarak pagar terbukti layak secara ilmiah, teknologi, ekonomi, dan lingkungan. Berbagai penelitian di laboratorium internasional di Jerman, Inggris, Belanda, dan Prancis sudah membuktikan BBJ layak menggantikan BBM yang mahal dan mencemari lingkungan.
Jika negara-negara berteknologi maju sudah menerima minyak jarak dan tengah mengembangkannya secara besar-besaran, mengapa Indonesia justru surut? Inilah yang disayangkan. SBY-JK sering tidak fokus dalam membuat kebijakan. Dalam program diversifikasi energi, SBY-JK berubah-ubah di tengah jalan. "Penyakit" seperti ini menular juga pada para gubernur, termasuk gubernur di NTT.
Dalam hal fokus pada program, kita perlu belajar dari Soeharto. Andaikan kita fokus pada pengembangan minyak jarak, seperti fokusnya Soeharto pada pembangunan pertanian di awal-awal Orde Baru, niscaya program diversifikasi energi ini sudah kelihatan hasilnya. Tidak seperti sekarang: tiga tahun, tak ada hasil.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 4 Oktober 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar