Kasus HIV/AIDS di Manggarai
Oleh Frans Anggal
Satu lagi penderita HIV/AIDS di Manggarai meninggal, Kamis 4 April 2009. Ia ayah empat anak, petani berusai 45 tahun yang pernah bekerja di Labuan Bajo, Manggarai Barat. Dalam tiga bulan terakhir setelah jatuh sakit, ia dirawat intensif di RSUD Ruteng. Jiwanya tak tertolong. Dengan demikian, di Manggarai, sudah 14 yang meninggal karena HIV/AIDS dari total penderita 50 orang.
Di rumah duka, Bupati Christian Rotok menyampaikan pesan bagi semua yang hadir. Pertama, hidup dan mati ada di tangan Tuhan. Hanya saja, setiap manusia diharapkan menjaga keselamatan hidup dengan perilaku baik dan sehat. Kedua, jangan menganggap setiap penderita HIV/AIDS sebagai orang buangan. “Mereka juga manusia, sehingga perlu mendapat hak dan perhatian yang sama.”
Pesan yang tepat. Pertama, menjadi ODHA (orang dengan HIV/AIDS) bukanlah pilihan seseorang. Setiap orang berusaha agar kehidupannya tidak terganggu. Setiap orang dambakan karunia berumur panjang. Namun, perjalanan hidup seringkali lain dari yang diharapkan. Hidup dan mati datang silih berganti dan tak kuasa dilawan oleh manusia meski dengan kemajuan teknologi kedokteran sekalipun. Agama mengatakan, hidup dan mati ada di tangan Tuhan.
Kedua, penyebab meninggalnya seseorang bisa bermacam-macam. Bisa karena serangan virus (TBC, SARS, hepatitis, dsb). Pada 1990-an, masyarakat dikejutkan dengan fenomena HIV/AIDS. Masyarakat disadarkan akan datangnya ancaman baru dari virus (HIV) yang mampu menggerogoti sistem kekebalan tubuh seseorang sampai berujung pada kematian. HIV/AIDS adalah fenomena klinis atau medis seperti kasus seseorang yang meninggal karena mengidap penyakit TBC, gagal jantung, tertular virus flu burung, dsb. Karena itu, tidak pantas memandang ODHA sebagai orang terkutuk, pendosa, najis, yang harus dikucilkan. ODHA adalah manusia dan tetap sebagai manusia bagaimanapun sakit dan penyakitnya.
Pesan Bupati Rotok mengena untuk masyarakat kita yang masih cenderung mengadili ketimbang memahami ODHA. Pesan ini mau membangkitkan empati masyarakat.
Empati berasal dari kata einfuhlung, yang secara harfiah berarti ‘merasa terlibat’ (feeling into). Masyarakat yang berempati terhadap ODHA adalah masyarakat yang rela menempatkan diri dalam posisi dan situasi ODHA. Melihat dari sudut pandangnya. Ikut tergetar oleh sedu-sedannya. Ikut tersayat oleh kepedihannya. Mendengar rintihannya yang tak terucapkan.
Dengan empati, kita akan sadar bahwa ODHA itu manusia biasa seperti kita juga. Bahkan, ODHA itu sebetulnya adalah kita dan kita adalah ODHA. Karena itu, ODHA tidak perlu dikhususkan, juga tidak perlu didiskriminasikan. Sudah saatnya kita belajar untuk bisa hidup bersama ODHA.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 7 Maret 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar