Oleh Frans Anggal
Istri ketua DPRD Manggarai divonis 1 tahun penjara dalam kasus pembalakan liar (illegal logging). Dalam amar putusannya, hakim menyebutkan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama sengaja mengangkut hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.”
Perkara ini menarik. Sebab, pihak yang didakwa adalah istri seorang petinggi kabupaten. Semua orang menduga kasus ini bakal dihentikan di tengah jalan (di-SP3-kan) atau paling jauh berujung dengan putusan bebas. Maklum, dunia hukum di Indonesia dikenal sebagai bursa hukum. Pasal-pasal bernilai materi, perkara diperjuabelikan, putusan dapat dipesan sesuai dengan nilai kontrak.
Parahnya dunia hukum negeri ditunjukkan juga oleh data Transparancy International (TI). Menurut Indeks Prestasi Korupsi (IPK) 2007, prestasi Indonesia turun dari 2,4 menjadi 2,3. Indonesia masih dikategorikan sebagai negara dengan tingkat korupsi yang tinggi, peringkat 143 bersama Rusia, Gambia, dan Tonggo. Indonesia berada pada urutan tiga paling korup di Asia Tenggara. Korupsi di sini termasuk korupsi di bidang hukum (judicial corruption).
Khusus di bidang peradilan, Komisi Yudisial (KY) melaporkan bahwa sebanyak 2.440 hakim atau sekitar 40 % dari total 6.100 hakim dikategorikan bermasalah. Hal itu membuat judicial corruption sangat jamak dalam praktik hukum.
Praktik judicial corruption menuntut korban. Jika hukum sudah menjadi barang ekonomi dan bisa dibeli, maka persamaan di depan hukum (equality before the law) tidak dapat dijalankan. Padahal asas ini hak dasar setiap warga negara.
Dalam situasi seperti ini, vonis 1 tahun penjara bagi istri ketua DPRD Manggarai boleh jadi mengejutkan: koq bisa ya? Kenapa tidak! Apa bedanya istri ketua dewan dengan istri petani? Di negara hukum, semua orang hamba hukum dan sama di depan hukum.
Asas persamaan di depan hukum jelas tercantum dalam pasal 27 ayat 1 dan pasal 28 D ayat 1 UUD 1945. Asas ini menyerukan penegakan hukum tidak boleh diskriminatif, pandang bulu, dan selektif. Pemihakan hukum hanya kepada kebenaran, di pihak mana pun kebenaran itu berada.
Yang perlu diingat, aparat hukum harus punya itikad baik. Mereka harus menegakkan hukum secara tepat, benar, dan adil. Mereka tidak boleh menjadi pedang bagi keinginan-keinginan tertentu yang belum tentu benar. Setiap perkara harus diperiksa dengan keanggunan hati. Setiap putusan harus mempunyai dasar hukum yang tepat disertai pertimbangan-pertimbangan yang tidak meragukan. Sebab, keadilan bukan hanya hak penuntut, bukan hanya hak korban, tetapi juga hak mereka yang sedang diadili.
"Bentara" FLORES POS, Sabtu 8 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar