28 Maret 2009

Pemimpin yang Baik (Kasus Sekda Ende Iskandar Mberu)

Oleh Frans Anggal

Sekda Ende Iskandar Mberu dilaporkan ke polisi oleh anggota DPRD Heri Gani atas perbuatan tidak menyenangkan. Mberu melontarkan ancaman kepada Gani di depan banyak orang di Kantor Bupati. Kata-kata tak menyenangkan kembali diucapkannya ketika Gani melaporkan hal ini kepada pimpinan DPRD pada hari yang sama.

Kemarahan Mberu terpicu oleh pernyataan Gani di radio, menanggapi tindakan Mberu menyegel Kantor Satpol PP karena aparat satuan ini tidak menjalankan tugas piket pada beberapa pos. Gani menilai menyegel kantor merupakan tindakan dari orang yang tidak bertanggung jawab. Menyegel kantor sama dengan menghalangi akses bagi pelayanan publik.

Marah itu manusiawi. Emosi tak terkontrol bisa terjadi pada siapa saja. Karena itu, meminjam lirik sebuah lagu, kita boleh mengatakan “Sekda Mberu juga manusia”. Ungkapan ini sederhana, tetapi mewakili pandangan yang hakiki tentang pemimpin.

Dalam sistem aristokrasi, pemimpin dianggap sebagai panutan. Ia harus memiliki kebajikan yang patut dicontoh. Itu berarti pula, ia mesti mempunyai bobot moral di atas rata-rata moral orang kebanyakan. Ungkapan Prancis, noblesse oblige. Kebangsawanan itu mewajibkan. Status sosial yang lebih tinggi menyertakan kewajiban lebih banyak, termasuk kewajiban memberikan teladan.

Dari kacamata demokrasi, cara pandang ini mengandung ketidakadilan bagi pemimpin. Kalau berbuat baik dan benar, ia dianggap biasa saja karena begitulah seharusnya seorang panutan. Seakan-akan keteladanannya bukan hasil perjuangan pribadinya. Sebaliknya, kalau berbuat salah, ia dikecam. Ia diperlakukan tidak sebagai manusia biasa. Padahal, “pemimpin juga manusia”.

Sebagai pemimpin, Sekda Mberu juga manusia. Sebagai manusia, ia sama dengan orang yang dipimpinnya. Bahkan, ia jauh lebih rentan terhadap kesalahan, karena ia memiliki kekuasaan, yang dalam dirinya selalu mengandung kecenderungan untuk disalahgunakan . Asas noblesse oblige diganti asas power tends to corrupt.

Karena itulah, menurut sosiolog Ignas Kelden, pemimpin yang baik dalam sistem demokrasi bukanlah pemimpin panutan. Dia tidak usah berpretensi menjadi pemimpin tanpa cela. Secara demokratis, pemimpin yang baik hanya perlu tunduk pada pengawasan publik. Kritik Heri Gani terhadap tindakan Sekda Mberu merupakan satu bentuk pengawasan itu.

Pemimpin yang baik, kata Ignas Kleden, harus diandaikan bisa melakukan kesalahan, tetapi dia harus siap dikoreksi. Legitimasinya lebih terjamin kalau dia berani mengakui kesalahannya, memperbaikinya, dan bersedia menerima sanksi. Ini lebih menguntungkannya secara politik daripada kalau dia berdalih membenarkan diri. Apakah Sekda Mberu telah menempuh jalan ini?

"Bentara" FLORES POS, Senin 2 Februari 2009

Tidak ada komentar: