Oleh Frans Anggal
Kejaksaan Negeri Ruteng menetapkan dua tersangka dalam kasus ubi kayu aldira di Manggarai Barat. Mereka adalah Kepala Dinas Tanaman Pangan, Peternakan dan Perkebunan serta Direktris UD SGS Rimba Jati. Keduanya dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Kejaksaan menemukan adanya kesalahan dalam proses pengadaan setek. Kesalahan ini melanggar Keppres 80/ 2004 yang menyebabkan kerugian negara Rp400 juta.
Lihatlah, dakwaan jaksa hanya menyangkut pelanggaran proses pengadaan setek. Dakwaan ini tentu berdasarkan resume polisi. Dalam pernyataan persnya, kapolres menyebutkan penyimpangan prosedur dimaksud, antara lain, proyek itu tidak disosialisasikan kepada petani sebelum diturunkan; pendropingan setek tidak sesuai dengan musim tanam; setek juga tidak disortir saat pendropingan ke tangan petani. Karena itu, sejumlah petani enggan menanam sehingga banyak setek yang kering dan mati.
Hanya itukah yang dianggap sebagai penyimpangan dalam proyek senilai Rp2,8 miliar dari APBD 2007 ini? Bagaimana dengan penyimpangan lain yang disebutkan DPRD dalam laporannya ke KPK? Sekadar contoh, DPRD menyebutkan, yang direncanakan ditanam adalah setek ubi kayu varietas Aldira Plus, tetapi nyatanya yang ditanam adalah varietas Caspro Landras Lumajang. Apakah ini bukan penyimpangan?
Mengganti varietas dari Aldira ke Landras Lumajang semestinya dilihat sebagai masalah. Patut dapat diduga telah terjadi penggelembungan anggaran dari selisih harga, yang merugikan keuangan negara tapi menguntungkan kantong sendiri. Dari sini kemudian lahir penyimpangan lain. Total setek yang direncanakan ditanam 12 juta batang di atas lahan 1.000 hektare, tetapi dalam laporan yang diberikan bupati pada 5 Oktober 2007 jumlah setek yang ditanam kurang lebih 9,7 juta batang di atas lahan 733,5 hektare. Yang juga bermasalah adalah proyeksi hasil keuntungan proyek tersebut, disebutkan Rp8,9 miliar, tetapi kenyataannya nihil.
Patut dipertanyakan, mengapa penggantian varietas tidak didakwakan sebagai pelanggaran. Pertanyaan yang sama: mengapa jaksa mengatakan kepada wartawan bahwa selama penyelidikan tidak ditemukan istilah “aldira”, yang ada cuma “setek ubi kayu”.
Penghilangan istilah “aldira” patut dapat diduga sebagai upaya menyembunyikan sesuatu untuk meluputkan seseorang. Sesuatu yang mau disembunyikan adalah kebijakan mengganti varietas. Dan seseorang yang mau diselamatkan adalah si pembuat kebijakan. Dia diluputan. Yang harus menanggung semuanya adalah pelaksana teknis. Maka, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Peternakan dan Perkebunan serta Direktris UD SGS Rimba Jati pun menjadi tersangka. Begitulah nasib pelaksana teknis.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 11 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar