Oleh Frans Anggal
Servas Mario Patty “bernyanyi” tentang praktik jual beli suara setelah namanya dicopot oleh DPW Partai Patriot NTT. Semula, dalam daftar calon sementara, berdasarkan usulan partai, ia menempati nomor urut 1 dari daerah pemilhan enam. Namun karena tidak menyetor tambahan dana, nama dan nomor urutnya diganti oleh Simson Alorensus yang menyetor Rp30 juta. Mario Patty hanya menyetor Rp20 juta sesuai dengan kesepakatan awal. Ia menolak penambahan, dan karena itu ia dicoret dari daftar calon tetap.
Jual beli nomor urut bukan praktik baru. Ini lazim pada banyak partai, partai besar atau kecil, partai lama atau baru, sama saja. Sekadar contoh, September lalu di Jakarta terkuak kasus percaloan nomor urut caleg PPP. Kasusnya mulai terbuka ketika Bahrudin Dahlan, kader partai berlambang Kabah itu mengungkapkan, Faiqoh Al Haj, salah satu caleg PPP di Dapil I Jawa Timur harus setor Rp 250 juta supaya bisa duduk di nomor urut 1.
Pada partai baru, praktik memperdagangkan nomor urut berpeluang sangat besar. Sedangkan pada partai lama, peluangnya dibuka oleh kebijakan merekrut caleg dari luar partai sebanyak sekian persen. Caleg dari luar ini umumnya terdiri dari para tokoh terkemuka dan selebritis. Mereka mendapat keistimewaan menempati nomor-nomor jadi asalkan menyerahkan sejumlah uang.
Uang bisa diminta secara terang-terangan sebagai harga nomor urut. Bisa juga secara terselubung. Untuk yang terselubung, aneka istilah digunakan, seperti uang administrasi, biaya kampanye, uang pencitraan diri, diklat kecalegan, dll.
Banyak yang mengatakan, praktik ini disuburan oleh sistem nomor urut. Mereka mendesak UU pemilu direvisi, sistem nomor urut diganti dengan sistem suara terbanyak. Anggapan ini keliru. Dengan sistem apa pun, praktik jual beli tetap terjadi selagi partai tidak memiliki kaderisasi yang baik dan tidak transparan kepada publik.
Pada sistem nomor urut seperti sekarang, praktiknya: orang ditawari mau jadi caleg atau tidak. Kalau mau, ditawari nomor urut kecil atau juru kunci. Kalau nomor urut kecil, harus setor sekian. Sedangkan pada sistem suara terbanyak (nanti), caranya lain lagi. Kalau mau maju, ditawari: mau daerah pemilihan ‘basah’ atau ‘kering’. Kalau yang ‘basah’, harganya sekian.
Baik pada sistem nomor urut maupun pada sisitem suara terbanyak, tetap saja banyak orang bersedia membayar asalkan bisa menjadi anggota legislatif. Kasihan masyarakat. Mereka tetap sulit mencari figur yang tepat untuk mewakili aspirasi mereka.
Sudah saatnya UU perlu membatasi parpol menerima sumbangan dari caleg. Partai diharuskan transparan tentang keuangan dan kontribusi kader. Selain itu, kaderisasi partai harus ditegakkan, sehingga 'orang luar' tak mudah masuk hanya karena membayar.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 5 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar