30 Maret 2009

Kampanye Terbuka Masih Efektif

Oleh Frans Anggal

Tinggal beberapa hari lagi kampanye terbuka Pemilu 2009 yang dimulai 16 Maret akan segera berakhir. Hingga menjelang selesai, tampaknya kampanye terbuka tidak amat diandalkan oleh banyak kontestan pemilu. Di Ende, misalnya, partai sebesar PDI Perjuangan hanya memilih kampanye dialogis. Tidak demikian dengan partai besar lainnya, Partai Golkar, dan beberapa kontestan baru seperti Gerindra dan PKD Indonesia yang memecahkan rekor dalam pengumpulan massa.

Menggunakan dan tidak menggunakan kampanye terbuka pasti da alasannya. Bisa macam-macam. Bisa karena dana yang terbatas. Bisa pula karena adanya anggapan tertentu. Anggapan tentang efektif atau tidaknya kampenye itu.

Menurut anggapan yang satu, pengaruh kampanye terbuka relatif kecil. Anggapan ini didasari keyakinan bahwa jauh sebelum kampanye terbuka, para pemilih sudah mempunyai pilihan. Kampnye terbuka hanya meneguhkan apa yang sudah menjadi pilihan. Apalagi, sebelum jadwal kampanye terbuka dimulai, parpol dan caleg sudah berinteraksi dengan konstituennya selama delapan bulan. Sikap pemilih yang terbangun selama rentang waktu itu sulit berubah hanya oleh sebuah kampanye terbuka.

Anggapan yang lain memiliki dasar yang lain pula. Bahwa, kampanye terbuka punya potensi pengaruh, bahkan cukup besar. Potensi itu terletak pada diri para “pemilih mengambang” (floating voters atau swing voters). Di Indonesia, jumlah pemilih yang ‘belum punya sikap politik’ ini mencapai 30 persen. Kampanye terbuka dengan kemasan menarik, persuasif, dan meyakinkan berpeluang besar merebut suara kelompok ini, yang lazimnya ‘sana sini oke’.

Efeketivitas pengaruh kampanye terbuka menjadi semakin besar bila parpol dan caleg yang tampil dirasakan cocok dengan pola perilaku pemilih. Menurut Profesor Kacung Marijan dari FISIP Universitas Airlangga, di Indonesia, ada dua faktor penting yang mempengaruhi pilihan pemilih: faktor kepemimpinan dan faktor aliran atau ideologis.

Di dalam menentukan pilihan, para pemilih melihat siapa yang memimpin parpol. Pemilih PDIP, misalnya, lebih karena faktor Mega (Soekarno). Demikian pula pemilih PKDI di Flores, lebih karena faktor Johnny G Plate dan Ana Maria Soe yang notabene putra-putri Flores. PKDI digagas, didirikan, dan dikembangkan oleh putra-putri Flores di Jakarta, sebuah tonggak penting, pertama kali dalam sejarah NKRI.

Yang juga dilihat oleh pemilih Indonesia adalah aliran atau ideologi partai. Pemilih PAN banyak orang Muhammadiyah. Pemilih PKDI banyak orang Katolik dan Kristen. Kelompok minoritas ini mau menunjukkan hal penting kepada sesama saudaranya di negeri ini: “Kami juga ada. Kami pun berhak untuk tetap ada dan dihargai. Kami juga anak sah republik ini. Indonesia, rumah milik kita bersama.”

“Bentara” FLORES POS, Senin 30 Maret 2009

Tidak ada komentar: