OLeh Frans Anggal
DPRD NTT menolak UU Pornografi yang disahkan oleh DPR RI diterapkan di NTT. Upaya yang segera dilakukan adalah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sikap DPRD ini didasari aspirasi masyarakat, termasuk yang disampaikan Forum Masyarakat NTT Tolak UU Pornografi dalam dialog di Kupang.
Ini bukan langkah pertama. Pada 19 April 2006 DPRD NTT meminta pansus DPR RI menyikapi aspirasi ini. Permintaan yang sama datang dari Bali, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, dan Papua. Tapi DPR jalan terus hingga akhirnya RUU itu disahkan menjadi UU pada 30 Oktober 2008. Jalan yang kini masih terbuka adalah judicial review.
Biasanya, judicial review ditempuh melalui dua cara, yakni uji materiil dan uji formil. Uji materiil dilakukan atas nama instansi dan perseorangan yang merasa dirugikan oleh keberadaan UU tersebut. Sedangkan uji formil dilakukan dengan menguji proses pembuatan UU tersebut yang disinyalir menyalahi ketentuan. Misalnya, menguji apakah sidang pengesahannya benar-benar dihadiri anggota dan apakah agenda sidang sesuai dengan bunyi surat undangan.
Secara formil sempit, dalam arti teknis prosedural dan administratif belaka, UU Pornografi mungkin tidak ada masalah. Tapi coba diuji secara lebih luas dari sisi keberterimaannya. Pengesahan UU ini dilakukan di tengah kontroversi yang masih sangat besar di kalangan masyarakat tentang perlu atau tidaknya UU tersebut. Di dalam tubuh DPR sendiri tetap ada kontroversi. Terbukti dari walk-out-nya F-PDIP, F-PDS, dan beberapa anggota F-Partai Golkar, serta ketidaksetujuan F-KB terhadap pengesahan UU itu.
Secara materiil, UU Pornografi memiliki begitu banyak kelemahan. Materinya mengandung multi-tafsir; menyudutkan dan berpotensi mengorbankan perempuan; membuka peluang anarki oleh para ‘polisi susila swasta’; berpotensi membelenggu kebebasan pers; tidak menghargai kebinekaan dalam masyarakat; dan masih banyak lagi.
Materi UU ini juga tumpang tindih dengan UU yang sudah ada. Masalah pornografi sendiri sudah cukup diatur dalam KUHP, UU Penyiaran, UU Pers, dan UU Perlindungan Anak. Tinggal saja bagaimana penegakannya oleh aparat hukum. Profesor Taverne, pakar hukum asal Belanda, sangat tepat dalam ucapannya. “Berikan saya hakim, jaksa, dan polisi yg baik maka saya akan membuat UU hukum acara pidana yang jelek menjadi baik.’’ Ini solusi yang tepat, bukan membuat UU baru yang malah kontroversial.
Kita berharap MK memilik pikiran jernih dan nurani bening saat mempertimbangkan judicial review yang diajukan DPRD NTT dan berbagai kalangan di Tanah Air. Mudah-mudahan para hakimnya tidak terjebak atau tergiur oleh permainan legislatif dan eksekutif yang gemar mempolitisasi moralitas dan agama demi merebut, mempertahankan, dan memperbesar kekuasaan.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 6 November 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar