27 Maret 2009

Belajar dari Amerika

Oleh Frans Anggal

Pertarungan dua partai besar di Amerika Serikat, Partai Republik dan Demokrat, telah berakhir. Tanggal 5 November 2008, Barack Obama dari Partai Demokrat terpilih menjadi presiden ke-44 setelah mengalahkan pesaingnya John McCain dengan angka mutlak.

Ini kemenangan menakjubkan. Untuk pertama kali dalam sejarahnya Amerika memilih seorang presiden berkulit hitam. Setengah abad lalu di beberapa negara bagian, warga kulit hitam masih harus bangun dan mempersilakan warga kulit putih duduk bila menumpang bus.

Kurang lebih empat puluh tahun lalu, pergerakan persamaan hak bagi warga kulit hitam di negeri Paman Sam dimulai oleh Martin Luther King Jr. Dalam piidatonya yang terkenal, “I Have a Dream“, ia menyebutkan alasannya: “all men are created equal”, semua orang diciptakan sama. Kini dunia menyaksikan American dream (impian Amerika) itu terjelma. Kulit hitam, keturunan Afrika, bisa menikmati hak seperti kulit putih: dipilih menjadi orang nomor satu.

Jalan kemenangan ini tidak mulus. Isu rasialis dan agama tetap dijadikan kemasan kampanye hitam para rivalnya. Ada yang memelesetkan nama Obama menjadi Obama bin Laden, merujuk pada nama teroris paling dicari AS, Osama bin Laden. Ada yang mengatakannya beragama Islam. Ada yang menuduhnya teroris. Dengan pasangan wapres Joe Biden, ia diejek dengan sebutan Obama bin Biden.Itulah politik. Di negara kampiun demokrasi sekalipun, tetap saja muncul kampanye kotor demi kepentingan sesaat para politikus. Tapi publik Amerika tidak mudah disogok dan disesatkan. Mereka kritis menilai isu kampanye dan cerdas menjatuhkan pilihan.

Terpilihnya Obama pantas menjadi pelajaran berharga bagi kita tentang makna integrasi. Rakyat Amerika telah berhasil secara gemilang mengatasi “musuh” demokrasi, yaitu diskriminasi dan bias rasial. Dalam pidato kemenangannya, Obama mengatakan, “Ini adalah jawaban atas permintaan kaum muda dan tua, kaya dan miskin, Demokrat dan Republik, hitam, putih, Latin, Asia, orang Amerika Asli, gay, mampu dan tidak mampu. Kita tak pernah menjadi negara untuk sekumpulan Merah (Republik) dan Biru (Demokrat). Kita tetap dan akan selalu menjadi Amerika Serikat.”

Panggung tempat Obama menyampaikan pidato kemenangannya itu sederhana. Atribut-atribut Obama tidak dijadikan latar panggung. Yang ada hanyalah puluhan bendera Amerika. Mereka mau menunjukkan bahwa kemenangan ini kemenangan bangsa Amerika, bukan kemenangan Obama, partai pengusung, dan tim sukses.

Sebagai sahabat, kita memberikan selamat. Lebih daripada itu, kita perlu belajar. Belajar mewujudkan Indonesian dream (impian Indonesia). Belajar memilih pemimpin tanpa bias suku dan agama.

"Bentara" FLORES POS, Jumat 7 November 2008

Tidak ada komentar: