Oleh Frans Anggal
Jelang pemilu legislatif April 2009, caleg dan parpol di Lembata bagi-bagi beras kepada masyarakat. Ada yang beri semen. Ada juga yang datangkan genzet. Panwaslu berjanji akan melakukan penyelidikan. Kalau terbukti pemberian bantuan ini bertujuan mempengaruhi calon pemilih maka panwaslu akan memprosesnya secara hukum.
Membuktikan pemberian bantuan sebagai bentuk pelanggaran tidaklah mudah. Apalagi kalau aksinya berjudul kegiatan sosial. Ambillah contoh. Caleg menyelenggarakan pengobatan gratis, berkerja sama dengan lembaga sosial. Secara verbal, ia dan timnya hanya mengatakan mau membantu masyarakat. Tak ada ucapan yang mengarahkan masyarakat agar memilihnya pada pemilu. Namun masyarakat mengerti apa maunya. Yang terbangun di sini adalah interaksi politik tahu sama tahu. Nah, bagaimana panwaslu bisa membuktikannya sebagai pelanggaran?
Dari sisi interaksi politik tahu sama tahu, pengobatan gratis tak ada bedanya dengan bagi-bagi beras seperti yang marak di Lembata. Tak ada bedanya juga dengan bagi-bagi semen dan kado genzet untuk sebuah kampung. Masyarakat tahu, aksi sosial seperti ini pasti ada maunya. Ada udang di balik batu. Merasakannya mudah, namun membuktikannya sulit. Ini jugalah yang dialami panwaslu. Kalau membuktikannya sulit, bagaimana panwaslu bisa bertindak? Melapor ke polisi tanpa data akurat hanya akan menjatuhkan diri ke dalam gugatan pencemaran nama baik.
Atas dasar itu, kita yakin aksi sosial para caleg jelang pemilu tidak akan pernah bisa dihilangkan. Kalau begitu, kita perlu sedikit berpikir realistis dan positif. Aneka aksi sosial mereka akan membantu meringankan beban hidup masyarakat. Semakin banyak dan semakin sering pemberian dilakukan maka semakin besar pula manfaatnya bagi masyarakat. Namun, bermanfaat secara ekonomis belum tentu bertuah secara politis. Di sini, sikap kritis masyarakat akan sangat menentukan. Sikap kritis inilah yang perlu dibangun.
Pengandaian kita, kalau sudah kritis, masyarakat tidak akan mudah dipengaruhi oleh aneka permainan suap yang berkedok aksi sosial. Malah sebaliknya, masyarakat akan cerdas mempermainkan permainan politikus dan mengecoh si pemain. Caranya: terima pemberiannya, tolak orangnya.
Untuk masyarakat, prinsip paling hakiki adalah mengikuti suara hati. Suara hati tidak boleh bisa dibeli dengan apa pun. Masyarakat harus menjadi insan berdaulat yang memilih wakilnya karena mutunya, bukan karena suapannya. Caleg tukang suap, bila terpilih, akan tetap jadi tukang suap dan mudah disuap. Kita tak menginginkan wakil rakyat seperti ini. Bagaimana ia bisa menjalankan fungsi legislasi, budget, dan kontrol kalau mudah terjengkang hanya karena ditendang pakai uang.
"Bentara" FLORES POS, Kamis 29 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar