Oleh Frans Anggal
Warga dua kampung bertetangga di Kecamatan Satarmese, Kabupaten Manggarai, baku bunuh rebut tanah. Tiga tewas, dua luka-luka. Mereka warga kampung Torok dan Kokong, Desa Papang. Tanah yang mereka sengketakan adalah persawahan Wejang Kalo di Desa Taal. Sebelumnya, kepastian hukum atas kepemilikan tanah ini sudah diputuskan Mahkamah Agung (MA). Namun pihak yang kalah perkara tidak menerimanya. Sengketa pun berlanjut dan berujung dengan main hakim sendiri.
Kita tidak hendak ‘mengadili’ siapa salah siapa benar dalam perkara ini. Wewenang itu ada di pengadilan. Keprihatinan kita hanyalah bahwa sengketa ini akhirnya berujung dengan penghilangan nyawa. Padahal, masih ada peluang penyelesaian yang sedang berjalan berupa mediasi oleh pengadilan negeri setempat.
Sekadar menoleh ke belakang, kita berani mengatakan, sengketa bertele-tele dan berujung tragis seperti ini tidak perlu terjadi kalau pihak bersengketa menghargai nilai adilihung warisan leluhur. Budaya Manggarai sangat menjunjung tinggi kekeluargaan, persatuan, dan kesatuan dalam berpikir, bertutur, dan bertindak (teu ca ambo neka woleng jaong, muku ca pu’u neka woleng curup). Dengan semangat ini, sengketa diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. Kedua belah pihak menerima dan menghargai kesepakatan (acer nao wase wunut). Tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang. Keduanya sama-sama menang (win-win solution).
Dalam kacamata budaya Manggarai, konflik pertanahan secara terbuka biasanya dikarenakan oleh pengkhianatan terhadap prinsip moral. Adat mewajibkan setiap orang menghargai milik orang lain (eme data data muing, neka daku demeng data). Dalam pandangan ini, sengketa pertanahan lahir dari ketamakanambil sana ambil sini (anggom le anggom lau). Ini merusak tatanan kehidupan bersama. Adat mengajarkan, kehidupan bersama mesti dibangun atas prinisp saling menghargai, bukan hanya pribadi manusianya, tetapi juga semua yang melekat padanya, termasuk semua hak dan miliknya.
Kasus baku bunuh di Kecamatan Satarmese menjadi satu dari banyak contoh tentang dampak buruk tidak dilaluinya atau tidak dihargainya penyelesaian sengketa secara adat. Dan ketika kasusnya dibawa masuk ke pengadilan, keputusan pengadilan pun tidak dihargai. Kasus ini juga merupakan satu dari banyak contoh bagaimana sengketa pertanahan di Manggarai menjadi semakin rumit di pengadilan dan akhirnya tidak membuahkan penyelesaian yang jelas dan tuntas. Banyak perkara bertele-tele sehingga menjadi bom waktu bagi masyarakat Manggarai sendiri.
Baku bunuh di Satarmese kiranya membangkitkan kesadaran bahwa dalam kasus tertentu, penyelesaian secara adat akan jauh lebih baik. Kalau bisa pakai adat, kenapa pakai pengadilan. Kembalilah ke adat.
"Bentara" FLORES POS, Selasa 27 Januari 2009
1 komentar:
maaf Bp., tempat yang mereka sengketakan itu adalah bukan di persawahan wejang kalo tapi RAPU DO,...,,
Posting Komentar