Oleh Frans Anggal
Pemerintah kembali menurunkan harga premium dan solar masing-masing menjadi Rp4.500 per liter. Pemberlakukan harga baru ini dimulai 15 Januari. Bersamaan dengan itu pemerintah menurunkan juga tarif dasar listrik (TDL) sekitar 8 persen dan tarif angkutan umum sekitar 10 persen.
Menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) sudah seharusnya dilakukan pemerintah mengingat menurunnya harga minyak dunia. Dari segi waktu, kebijakan ini terlambat. Kalau yang dijadikan acuan adalah harga minyak dan CPO dunia, penurunan hingga Rp4.500 per liter semestinya sudah dilakukan sejak akhir November 2008. Mengapa baru dilakukan sekarang?
Sulit menepis kesan adanya perhitungan politis. Ditengarai, pemerintahan SBY-JK memilih waktu yang ‘tepat’ demi kepentingan popularitas politik menjelang pemilu dan pilpres. Yang dikorbankan adalah masyarakat. Penurunan harga BBM dengan cara ‘dicicil’ sambil mempertimbangkan timing politik hanya membuat kebijakan ini kurang efektif menjadi stimulus ekonomi.
Lihat saja kenyataannya. Harga BBM telah diturunkan pemerintah secara bertahap hingga tiga kali. Namun harga sejumlah bahan kebutuhan pokok di pasaran tidak ikut turun secara signifikan. Harga yang telah terlanjur naik sejak harga BBM dinaikkan belum juga turun, bahkan naik.
Demikian juga halnya dengan tarif angkutan umum. Pengusaha angkutan punya alasan tersendiri. Komponen tarif angkutan tidak hanya ditentukan oleh harga BBM, tetapi juga oleh harga suku cadang mobil, harga mobil, hingga retribusi, termasuk pungutan liar. BBM itu berkontribusi sekitar 30-40 persen pada tarif angkutan. Sedangkan pungli dan retribusi mencapai 15 persen dan suku cadang 20-25 persen. Belum suku cadang lainnya seperti ban. Itu yang belum bisa diturunkan harganya oleh pemerintah.
Dengan alasan seperti ini, di Flores misalnya, pengusaha angkutan sering tidak mengikuti tarif yang ditetapkan gubernur atau bupati. Kalau penumpang protes, sopir berujar enteng: “Kalau naik kami punya oto, ikut kami punya tarif. Kalau mau yang murah, tunggu otonya bupati atau gubernur.” Konsumen akhirnya mengalah. Kesewenang-wenangan pasar merajalela. SK tarif yang dikeluarkan pemerintah mandul karena tak ada pengawasan ketat dan penindakan tegas.
Kondisi seperti ini akan terus berulang, berapa kali dan berapa besar pun harga BBM, TDL, dan tarif angkutan umum diturunkan. Tanpa kepedulian dan ketegasan pemerintah menegakkan keputusan yang ditetapkannya sendiri, penurunan harga itu tidak akan efektif mendinamisasi kegiatan ekonomi rakyat dan memperkuat daya beli masyarakat. Sudah saatnya pemerintah lebih tegas.
"Bentara" FLORES POS, Rabu 14 Januari 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar