30 Maret 2011

Tepat Orang, Salah Waktu

Perpanjangan Masa Jabatan Sekda Ende

Oleh Frans Anggal

Masa jabatan Sekda Ende Yoseph Ansar Rera yang sedianya berakhir 1 April 2011 diperpanjang oleh Bupati Don Bosco M Wangge. Merujuk aturan yang berlaku, perpanjangan masa jabatannya dua tahun. Meski demikian, Ansar Rera meminta perpanjangan cukup satu tahun. Selanjutnya ia ingin nikmati masa pensiun (Flores Pos Senin 28 Maret 2011).

Perpanjangan masa jabatan Sekda Ansar Rera mendapat sambutan positif dari DPRD. Anggota dewan Haji Mohamad Taher menilai langkah bupati tepat. "Sekda Ansar Rera punya komitmen yang baik untuk membangun daerah ini." Ansar Rera memperlancar komunikasi internal eksekutif, serta mengharmoniskan komunikasi antara ekekutif dan legislatif (Flores Pos Selasa 29 Maret 2011).

Ansar Rera itu sebuah fenomena. Awalnya dipertanyakan, akhirnya diakui. Awalnya 'ditolak', akhirnya diterima, bahkan dipertahankan. Pada saat awal Ansar Rera bertugas sebagai sekda Ende, Forum Ende Rembuk (FER) mendatangi DPRD. Mereka menilai, Bupati Don Wangge tidak adil. Karena, jabatan sekda diisi oleh orang dari luar Ende. Padahal, masih banyak putra Ende yang pantas untuk jabatan itu (Flores Pos Rabu 1 Juni 2010).

Orang luar yang dimaksud adalah Yoseph Ansar Rera. Ia putra daerah Sikka. Dilantik jadi sekda Ende pada Sabtu 29 Mei 2010. Setali tiga uang dengan FER, sebagian kalangan DPRD juga berpola pikir yang sama. Berpola pikir dikotomis antara ata mera (warga asli) dan ata mai (pendatang). Contoh, ucapan Ketua Komisi A DPRD H. Yusuf Oang. "Karena beliau ini (Ansar Rera) dari luar dan baru masuk ke wilayah kita, beliau harus menguasai betul wilayah kita ...." (Flores Pos Sabtu 29 Mei 2010).

"Bentara" Flores Pos Selasa 1 Juni 2010 mengingatkan, tak ada presedennya sekda ata mera lebih baik daripada sekda ata mai. Malah, bisa sebaliknya. Sekda ata mera yang "menguasai betul wilayah" akan berdaya rusak dahsyat kalau dia jahat. Bahayanya: personalisasi birokrasi. Ia mudah membawa masuk pola-pola emosionalitas dan hubungan pribadi ke dalam struktur anonim birokrasi. KKN jadi subur. Karena itulah, pada masa Gubernur Ben Mboi, sekda selalu bukan putra daerah setempat.

Kehadiran Sekda Ansar Rera di Ende semakin menguatkan kebenaran itu. "Sekda Ansar Rera punya komitmen yang baik untuk membangun daerah ini," kata anggota DPRD Haji Mohamad Taher. Padahal, Ansar Rera itu ata mai. Padahal Ansar Rera itu tidak "menguasai betul wilayah".

Betapa tepatnya memilih orang ini. Keberterimaan dan pujian terhadapnya merupakan poin kredit bagi Bupati Don Wangge. Terbukti dan teruji, bupati tidak salah pilih. Keberterimaan dan pujian itu pula yang mendorong kalangan DPRD mengusulkan agar masa jabatannya diperpanjang.

Bagai ketemu ruas dengan buku, usulan dewan cocok dengan keinginan bupati. Setelah mengacu pada peraturan perundang-undangan, berkonsultasi dengan gubernur, dan berembuk dengan baperjakat, keluarlah keputusan itu. Masa jabatan Sekda Ansar Rera diperpanjang dua tahun.

Keputusan yang tepat. Namun, hanya tepat orangnya dan tepat tempatnya. Tidak tepat waktunya. Ansar Rera itu sudah harus pensiun! Ini namanya, “The right man on the right place on the wrong time". Orang yang tepat pada tempat yang tepat pada waktu yang salah. Ini bukti (masih) lemahnya kaderisasi jenjang kepegawaian di tubuh pemkab Ende. Quo vadis reformasi birokrasi?

“Bentara” FLORES POS, Rabu 30 Maret 2011

29 Maret 2011

Kandas, Mimpi Teladan

Mundurnya Ketua KPUD Lembata

Oleh Frans Anggal

Ketua DPRD Kabupaten Lembata, Wilhelmus Panda Mana Apa (Mus Panda), mengundurkan diri. Surat pengunduran telah disampaikan ke KPUD Provinsi NTT di Kupang, Sabtu 26 Maret 2011. “Keputusan terakhir nanti ada di tangan KPUD provinsi, apakah mereka setuju atau tidak,” kata anggota KPUD Yusuf Dolu (Flores Pos Senin 28 Maret 2011)

Mengapa mundur? Dalam pemberitaan, ini belum terjawab. Sebab, Mus Panda memilih diam. Ia belum bersedia dihubungi wartawan, baik untuk sekadar memberikan konfirmasi maupun untuk membeberkan alasan pengunduran dirinya. Meski demikian, orang bisa meraba-raba, berdasarakan kejadian pada tahapan pemilukada Lembata.

KPUD Lembata itu sasaran demo. Aksi demo bertubi-tubi dan silih berganti. Dilakukan pasangan bakal calon bupati dan wakil bupati yang gugur sebagai peserta pemilukada 2011. Mereka didukung tim sukses dan massa simpatisan.

Hampir pada semua aksi ke KPUD, kritik, kecaman,makian, dan ancaman tidak hanya ditujukan kepada institusi itu, tapi juga dialamatkan pada perseorangan yang duduk di dalamnya. Yang paling banyak dikritik, dikecam, dicaci maki, dan diancam adalah ketuanya, Mus Panda.

Bagaimana besarnya kebencian, demo Generasi Peduli Kasih (GPK), Kamis 17 Maret 2011, memberikan gambaran. Para pendemo menggugat hasil pemeriksaan kesehatan bakal calon bupati Lukas Witak Lipataman oleh tim dokter RSUD Prof. Dr. W. Z. Johan¬nis Kupang. Lukas divonis tidak mampu jalankan tugas sebagai kepala daerah. Pendemo menilai vonis ini hasil konspirasi KPUD dengan RSUD.

Siapakah orang KPUD yang dituduhkan melakukan konspirasi? Dalam benak para pendemo, tidak lain tidak bukan, itu adalah Mus Panda, sang ketua. Maka, selain menuntut KPUD Lembata hentikan semua tahap dan proses pemilukada, mereka mencaci maki Mus Panda habis-haisan. Sampai memukul meja segala. Bahkan ada yang nyatakan rela masuk penjara asalkan nyawa ketua KPUD ini hilang.

Itu yang sempat dilansir media. Belum lagi kejadian lain yang tak sempat terliput. Di kantor KPUD, saat demo yang begitu terbuka di ruang publik, nyawa Mus Panda terang-terangan dincam untuk dihilangkan. Bagaimana pula di rumah, di ruang privat, yang cenderung luput dari pantauan umum? Teror bisa datang kapan saja, di mana saja, dan dalam bentuk apa saja.

Bagi Musa Panda, gejolak pemilukada Lembata saat ini menghadirkan dua fakta. Pertama, fakta objektif: ia dikecam, dicaci maki, diancam dibunuh. Kedua, fakta subjekif: ia merasa tidak aman dan tidak nyaman. Dalam rapat pleno terbuka penarikan undian nomor urut pasangan calon bupati dan wakil bupati, ia mengatakan “mengalami degradasi” karena tekanan politik. Namun ia berusaha untuk bangkit.

Sekarang situasinya tentu semakin buruk. Tekanan politik semakin besar. Yang akhirnya membuat daya tahan seorang Mus Panda jebol. Tekadnya untuk bangkit, setelah “mengalami degradasi”, tidak terlaksana. Ia akhirnya memilih mengundurkan diri. Mungkin dengan itu, ia merasa lebih aman dan nyaman.

Dalam catatan Flores Pos, pengunduran diri Ketua KPUD Mus Panda merupakan peristiwa kedua, setelah demo anarkis GPK, yang “menyempurnakan” kandasnya pemilukada Lembata sebagai pemilukada teladan. Tekad pemilukada teladan hanya mimpi. Lupakanlah. Pemilkada sukses, itu sudah cukup.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 29 Maret 2011

28 Maret 2011

Mendukung Siflan Angi

Kasus Dugaan Pencemaran Nama Baik

Oleh Frans Anggal

Siflan Angi, anggota DPRD Kabupaten Sikka, menemui Kapolres Ghiri Prawijaya, Jumat 25 Maret 2011. Ia ke mapolres untuk beberkan masalah antara dirinya dan Ketua DPRD Rafel Raga dkk, yang berbuntut dilaporkannya ia ke polisi, dengan dugaan pecemaran nama baik dan perbuatan tak menyenangkan (Flores Pos Sabtu 26 Maret 2011).

Siflan Angi dilaporkan setelah somasi dari Rafel Raga dkk ia tolak. Ia disomasi agar meminta maaf lewat media massa atas pernyataan persnya yang menyebutkan perjalanan dinas Rafel Raga dkk ke MA di Jakarta sebagai bentuk korupsi, karena peruntukan dananya tidak jelas, tidak efektif, dan tidak efisien.

Rafel Raga dkk ke MA untuk konsultasikan status hukum Wakil Ketua DPRD Alexander Longginus. Konsultasi itu dilakukan dalam rangka pemberhentian sementara Alex Langginus dari keanggotaan dewan. Mereka habiskan Rp70 juta.

Perlukah Rafel Raga dkk ke MA? Tidak perlu, kalau tujuannya hanya untuk itu. Hanya untuk mencari tahu apa putusan MA. Mencari tahu tidak harus dengan mendatangi. Banyak cara lain yang jauh lebih mudah, lebih murah, dan lebih cepat. Bisa lewat surat, email, atau situs web. Bisa pula lewat kejari dan pengadilan negeri setempat. Pada titik ini, penilaian Siflan Angi tepat. Ke MA tidak efektif dan tidak efisien. Maka, pemanfaatan dananya pun tidak efektif dan tidak efisien.

Banmus DPRD sendiri merekomendasikan konsultasi ke kejari dan pengadilan negeri setempat, bukan ke MA. Dan itu sudah dilakukan. Maka, ke MA tidak perlu lagi. Pada titik ini pula, penilaian Siflan Angi tepat. Ke MA tidak jelas. Maka, peruntukan dananya pun tidak jelas.

Peruntukan dana yang tidak jelas, tidak efektif, dan tidak efisien, tentu patut dapat diduga sebagai bentuk tindakan korupsi. Dalam kasus keberangkatan Rafael Raga dkk ke MA, dana publik dihabiskan untuk sesuatu yang tidak perlu dan tidak direkomendasikan. Akal sehat publik tidak bakal membenarkan modus penghabisan dana seperti ini.

Karena itu, di mata publik, pernyataan pers Siflan Angi sangat tepat. Setelah di forum DPRD kritik dan sarannya membatalkan rencana ke MA tidak dihirukan, apakah dia harus bungkam? Yang berarti, mendiamkan pemanfaatan dana publik yang tidak rasional? Dengan bahasa halusnya, diselesaikan saja secara internal kedewanan? Yang berarti, ramai-ramai tutup mulut setelah ramai-ramai kenyang?

Boleh jadi ada tendensi seperti itu pada kebanyakan anggota DPRD Sikka. Tendensi yang umumnya melanda banyak anggota dewan di tempat lain. Ini tidak tampak pada diri seorang Siflan Angi. "Jangankan uang puluhan juta, satu sen pun saya harus omong," katanya di hadapan kapolres.

Sikap itu kita benarkan. Pernyataan persnya kita dukung. Ini menyangkut kepentingan umum (public concern). Uang yang digunakan ke Jakarta bukanlah uang nenek moyangnya DPRD. Itu uang rakyat. Rakyat berhak untuk tahu. Penggunaannya benar atau tidak. Efekif dan efisien atau tidak.

Dalam konteks itu, pernyataan pers Siflan Angi merupakan pemenuhan hak publik untuk tahu (right to know). Ini salah satu perwujudan tanggung jawab (responsibility) dan tanggung gugat (accountability) seorang wakil rakyat.

Maka, menjadi pertanyaan: yang mencemarkan nama baik (DPRD) itu siapa? Yang melakukan perbuatan tak menyenangkan (rakyat) itu siapa?

“Bentara” FLORES POS, Senin 28 Maret 2011

26 Maret 2011

Di Mana Semua Mereka?

Kasus "Perdagangan Manusia Flores"

Oleh Frans Anggal

Tiga anak perempuan di bawah umur (15-16 tahun) asal Riung, Kabupaten Ngada, diamankan aparat Polsek Nita, Kabupaten Sikka, ketika masih berada di penampungan di Takaplager, Kecamatan Nita, Rabu 23 Maret 2011. Mereka direkrut Anton Paru dan hendak diberangkatkan ke Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga. Anton Paru sudah ditangkap (Flores Pos Kamis 24 Maret 2011).

Kata Anton Paru, ia merekrut atas permintaan Jelius, karyawan PT Mutiara Jakarta, sebuah PJTKI. “Ini kedua kalinya saya kirim tenaga kerja. Sebelumnya, saya kirim tiga orang …. Saya mau tobat dan tidak mau melakukan hal yang sama lagi.”

Ini kasus ketiga sejak Januari 2011. Kasus “perdagangan manusia Flores”. Sebelumnya, Senin 10 Januari 2011, sebanyak 72 tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal asal Kabupaten Sikka yang diberangkatkan sebuah PJTKI tujuan Kalimantan diamankan Polsek Pakal, Kota Surabaya. Sebanyak 22 dari antaranya perempuan dan anak-anak. Mereka tidak miliki dokumen lengkap. Diduga, mereka korban human trafficking ‘perdagangan manusia’ (Flores Pos Senin 24 Januari 2011).

Kamis 20 Januari 2011, pengiriman 3 tenaga kerja wanita (TKW) asal Kabupaten Ende menuju Malaysia digagalkan aparat Polres Ende. Ketiga TKW hendak diberangkatkan oleh Muhammad Heider (35) dengan KM Awu tujuan Surabaya. TKW ini tidak dilengkapi dokumen sah. PJTKI tidak memenuhi persyaratan perekrutan (Flores Pos Sabtu 22 Januari 2011).

Terdapat beberapa poin penting dari ketiga kasus tersebut. Pertama, dokumen tidak lengkap. Kalaupun ‘lengkap’, bisa saja palsu. Ini salah satu indikasi tindak kejahatan. Kalau tujuannya baik, caranya juga harus baik. Kalau caranya buruk, apakah kita harus dipaksa percaya bahwa cara buruk itu punya tujuan baik?

Kedua, perekrutan melibatkan kelompok rentan perempuan dan anak-anak sebai korban. Lelaki Flores merantau, itu biasa. Tapi mulai banyak perempuan dan anak di bawah umur ikut “merantau”, itu fenomen baru. Mereka “dirayu” sesama orang Flores, kaki tangan sindikat. Mereka mudah diperdaya, untuk kemudian tak berdaya saat sudah terperangkap.

Ketiga, orang Flores penjual sesama Flores umumnya menyebut diri petugas atau suruhan PJTKI di Jawa, yang jauh dari Flores. Apakah benar PJTKI itu ada, apakah benar mereka perpanjangan tangan PJTKI, apakah benar tujuan perekrutannya seperti yang disampaikan, apakah benar gaji yang bakal diterima seperti yang digombalkan, semuanya sulit dibuktikan. Semuanya serba “katanya”. Pada banyak kasus di daerah lain, wanita dan anak-anak menjadi korban. Katanya bekerja di Jakarta, ternyata dijual ke luar negeri. Gagal dijual ke luar negeri, mereka dijual ke tempat prostitusi.

Keempat, pencengahan perdagangan manusia Flores hanya terjadi pada momen sebelum atau pada saat pemberangatan. Sebelum pemberangkatan, pencegahan dilakukan di tempat penampungan (kasus di Maumere). Saat pemberangkatan, pencegahan dilakukan di pelabuhan (kasus di Ende). Di luar kedua momen dan tempat itu, tidak ada tindak pencegahan.

Inilah yang membuat para kaki tangan sindikat bebas keluar masuk kampung. Bebas menipu sana sini. Karena yang datang merayu itu sesama Flores, masyarakat di kampung mudah percaya. Mereka tidak punya informasi yang cukup untuk bisa bersikap kritis.

Dengan demikian, de facto, pencegahan hanya menjadi tanggung jawab dan kesibukan polisi. Menyedihkan! Di mana kadis nakertrans? Di mana camat? Di mana kades dan lurah? Di mana ketua RT? Di mana pastor paroki? Di manakah semua mereka?

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 26 Maret 2011

25 Maret 2011

“Dealership” di DPRD Sikka

Dana Publik untuk Saling Menjegal

Oleh Frans Anggal

DPRD Sikka dalam sorotan. Mereka jadi buah bibir, karena baku sikut dan baku sikat. E. P. da Gomez menamakannya "kegaduhan politik". Ia melihat, DPRD Sikka saat ini kehilangan leadership atau kepemimpinan ("Opini" Flores Pos Kamis 24 Maret 2011).

Kegaduhan politik itu berawal dari upaya Ketua DPRD Rafael Raga dkk untuk menghentikan sementara Wakil Ketua DPRD Alexander Longginus dari keanggota dewan. Dasarnya, Alex Longginus berstatus terdawa dalam kasus dana purnabakti DPRD Sikka 1999-2004, periode ketika yang besangkutan menjabat bupati Sikka.

Dalam kasus ini, Longginus telah divonis bebas oleh MA pada 26 Januari 2011. Entah mengetahui atau tidak adanya putusan tersebut, Ketua DPRD Rafael Raga dkk berangkat ke Jakarta, untuk berkonsultasi dengan MA. Biaya perjalanan dinasnya Rp70 juta. Siflan Angi, sesama anggota dewan, melontarkan kritik lewat pers. Perjalanan dinas itu dinilianya sebagai bentuk korupsi. Sebab, peruntukan dananya tidak jelas, tidak efektif, dan tidak efisien.

Rafael Raga dkk mensomasi Siflan Angi agar meminta maaf melalui media massa dalam tempo 3 x 24 jam. Siflan Angi menolak. Maka, Rafael Raga dkk melaporkan Siflan dengan dugaan pencemaran nama baik dan perbuatan tak menyenangkan. Selasa 22 Maret 2011, para pelapor mulai dimintai keterangan oleh polisi (Flores Pos Rabu 23 Maret 2011).

"Mengapa harus lapor ke polisi, jaksa, pengadilan? Mengapa masyarakat Sikka boleh melihat semuanya dengan mata telanjang?" Dalam opininya, E. P. da Gomez menyesalkan kasus ini tidak diselesaikan secara internal. Inilah yang membawa dia pada simpulan, "DPRD Kabupaten Sikka kini telah kehilangan atau ketiadaan leadership."

Simpulan yang tepat. Namun belum lengkap. Tidak hanya kehilangan atau ketiadaan leadership, DPRD Sikka juga mengalami defisit etika. Bagaimana dana publik dimanfaatkan untuk memperlancar upaya jegal-menjegal sesama anggota dewan, demi kalkulasi politik yang tidak ada kaitan langsung, bahkan tidak ada manfaatnya bagi kepentingan umum.

Dengan perspektif ini, kritik Siflan Angi sangat tepat. Pemanfaatan dana publik untuk urusan tidak jelas, tidak efektif, dan tidak efisien patut dapat diduga sebagai bentuk tindak korupsi. Untuk apa Rafael Raga dkk menemui MA? Untuk konsultasikan status hukum Alex Longginus yang sudah diputus bebas murni oleh MA sejak 26 Januari 2011?

Terkesan kuat, Alex Longginus dibenci dan karena itu perlu disingkirkan. Kenapa? Rafael Raga adalah Ketua DPC Partai Golkar. Alex Longginus adalah Ketua DPC PDI-Perjuangan. Posisi politik di partai dan di dewan ini merupakan jalan emas menuju pemilukada mendatang dan/atau pembentukan pemkot. Rivalitas penuh kebencian. Siasat dan upayanya penyingkiran. Dana publik dikorbankan.

Kalau direduksi sederhana, konflik di DPRD Sikka saat ini adalah konflik antara dua orang besar, dari dua partai besar. Ini semacam oligarki kekuasaan di DPRD. Melibatkan dua-tiga tokoh kunci yang saling mengintai. Politik DPRD Sikka saat ini adalah kegiatan personal dari segelintir elite yang terjebak dalam skenario saling mengunci.

Untuk urusan seperti inikah dana publik dihabiskan? Secara hukum, mudah disiasati. Sehingga, dapat dibenarkan, asalkan nomenklaturnya ada. Namun secara etis, jelas tidak. Ini kejahatan. Lebih daripada sekadar persolan leadership, ini adalah pasar gelap politik. Dealership di DPRD.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 25 Maret 2011

24 Maret 2011

Ada Apa Polres Sikka?

Kasus Pencemaran Nama Baik di DPRD Sikka

Oleh Frans Anggal

Wakil Ketua DPRD Sikka Felix Wadon, Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Boy, Wakil Ketua BK Paulus Nong Susar, dan anggota BK Ruamat Pelang dimintai keterangan oleh polisi pada Selasa 22 Mare 2011. Bersama Ketua DPRD Rafael Raga, mereka adalah pelapor dalam kasus dugaan pencemaran nama baik dan perbuatan tak menyenangkan oleh sesama anggota dewan Siflan Angi (Flores Pos Rabu 23 Maret 2011).

Siflan Angi soroti perjalanan dinas kelima pelapor ke MA dalam rangka konsultasi kasus hukum Wakil Ketua DPRD Alex Longginus. Anggarannya Rp70 juta. Dalam pernyataan persnya, Siflan menilai, perjalanan dinas ini bentuk korupsi. Sebab, peruntukan dananya tidak jelas, tidak efektif, dan tidak efisien.

Menyusul pernyataan Siflan Angi, Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) NTT Meridian Dewanto melaporkan Ketua DPRD Rafael Raga ke Kejari Maumere. Rafael Raga diduga telah menyalahgunakan dana perjalanan dinas tersebut (Flores Pos Selasa 15 Maret 2011).

Seakan "berbalas pantun", Rafael Raga dkk melaporkan Siflan Angi ke polisi. Dan polisi tidak tunggu-tunggu, langsung memprosesnya. Ini yang membuat kita terheran-heran.

Pernyataan pers Siflan Angi dan laporan Meridian Dewanto ke jaksa lebih dulu daripada laporan Rafael Raga dkk ke polisi. Kenapa polisi tidak menangguhkan proses hukum laporan Rafael Raga dkk sambil menunggu penyelesaian proses hukum laporan Meridian Dewanto sebagai tindak lanjut pernyataan pers Siflan Angi?

UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pasal 6, menyatakan: saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata atas laporan serta kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Ini dalil yang semestinya digunakan polisi.

Terkesan, Polres Sikka tidak mendalilkan tindakannya pada UU itu. Seakan-akan, yang berlaku adalah hukum rimba I. 'Yang paling kuatlah yang menang' (survival of the fittest). Rafael Raga dkk orang besar. Mereka lebih kuat ketimbang Siflan Angi. Proses hukum pun menjadi proses ukur kuat.

Seakan-akan pula, yang sedang berlaku adalah hukum rimba II. 'Yang paling cepatlah yang menang' (survival of the fastest). Rafel Raga dkk itu paling cepat melapor ke polisi. Sedangkan Meridian Dewanto paling cepat melapor ke jaksa. Dan Siflan Angi paling cepat melapor ke publik, lewat pernyataan pers. Nah, yang paling cepat ke polisi itulah yang didahulukan polisi, meski sudah duluan ada laporan ke jaksa. Jaksa urus jaksa punya, polisi urus polisi punya. Tinggal sekarang, siapa lebih cepat. Proses hukum pun menjadi proses ukur cepat.

Sungguh mengerikan anutan hukum seperti ini. Prinsip paling hakiki yang membedakan hukum positif dari hukum rimba telah diinjak habis. Anutan hukum positif yang benar bukanlah survival of the fittest dan survival of the fastest, tapi survival of the truest: 'yang paling benarlah yang menang'. Itu tidak terjadi di Sikka. Tidak dianut oleh polisi, yang notabene adalah penegak hukum positif.

Pernyataan Siflan Angi itu demi kepentingan umum (public concern). Ini tidak termasuk pencemaran nama baik menurut KUHP, pasal 310, ayat (3). Pernyataannya pun belum terbukti salah. Karena belum diputuskan dalam pengadilan. Semestinya polisi tunggu itu. Karenanya, proses hukum laporan Rafael Raga dkk seharusnya ditolak, minimal ditangguhkan. Ini tidak. Ada apa ya?

“Bentara” FLORES POS, Kamis 24 Maret 2011

Permata Wae Rowang!

Mata Air di Ruteng Tercemar E.coli

Oleh Frans Anggal

Mata air Wae Rowang, pemasok utama air bersih bagi warga Ruteng ibu kota Kabupaten Manggarai, tercemar bakteri E.coli. “Itu hasil pemeriksaan kualitas air beberapa waktu lalu. Tapi, keadaannya belum mengkhawatirkan. Bakterinya masih jauh di bawah ambang batas,” kata Direktur PDAM Manggarai Ambros Dandut (Flores Pos Selasa 22 Maret 2011).

E.coli (Eschericia coli) bakteri yang ditemukan Theodor Escherich pada 1885. Berbentuk batang, panjang sekitar 2 micrometer, diamater 0.5 micrometer. Volume sel E.coli 0.6-0.7 micrometer kubik. Umumnya hidup pada 20-40 derajat C, optimum pada 37 derajat.

Tidak semua E.coli itu berbahaya. Usus besar manusia mengandung sejumlah E.coli yang justru berguna: membusukkan sisa-sisa makanan, memproduksi vitamin K2, dan mencegah bakteri lain. Bahkan, E.coli salah satu tulang punggung bioteknologi. Hampir semua rekayasa genetika melibatkan E.coli karena genetikanya sederhana.

Yang berbahaya adalah E.coli tipe O157:H7. Dapat mengakibatkan keracunan serius pada manusia. Tipe inilah yang ditemukan di mata air Wea Rowang. Kadarnya jauh di bawah ambang batas. Namun, harus diwaspadai. Sebab, Wae Rowang berada dalam kondisi yang memungkinan E.coli meningkat.

Puluhan tahun silam, daerah sekitar mata air ini adalah hutan. Debet airnya besar, 63 liter per detik. Kini hutannya tinggal kenangan. Daerah sekitar mata air telah berubah jadi pemukiman dan kebun. Debet air pun menurun drastis. Kini tinggal 27 liter per detik. Mutu airnya pun merosot. Tercemar E.coli. Dulu, airnya bisa langsung diminum. Sekarang, tidak lagi.

Ini masalah serius. E.coli itu ditemukan di mata air! Dan mata air ini merupakan pamasok utama air bersih bagi warga Ruteng. Karena sumbernya tercemar, pencemaran menyebar secara “adil dan merata” ke setiap rumah. Mengimbau warga mamasak air sebelum dikonsumsi sangatlah tepat. Namun, tidaklah cukup kalau sumbernya tetap tercemar.

Kini diperlukan tindakan segera. Kita namakan saja Pemata Wae Rowang (Perawatan Mata Air Wae Rowang). Hutankan kembali daerah itu. Penanaman pohon merupakan keharusan. Selain berguna sebagai paru-paru kota yang menyerap karbon dioksida, pepohonan meningkatkan sumber daya air. Setiap pohon yang ditanam, selama daur hidupnya, menghasilkan 250 galon air.

Jumlah air di planet Bumi sangat terbatas. Maude Barlow dan Tony Clarke (Blue Gold, 2005) menyebutkan sekitar 1,4 miliar kilometer kubik. Air tawar hanya 2,6 persen atau 36 juta kilometer kubik. Tak banyak volume air tawar yang dapat dinikmati manusia dari siklus air yang berlangsung cepat. Yaitu, hanya sekitar 0,77 persen dari total air tawar yang ada di alam, atau hanya 11 juta kilometer kubik. Tidak mengherankan, krisis air terjadi di mana-mana.

Sungguh sial kalau, sudah krisis, tercemar pula airnya. Kondisi ini menuntut dua langkah sekaligus. Konservasi dan sanitasi. Dalam kasus di atas, tidak cukup menghutankan daerah mata air Wea Rowang. Sumber air Wae Rowang sendiri harus disehatkan. Kalau mungkin, daerah mata airnya diperluas. Sejauh warga pemilik tanah sekitar daerah itu rela, Pemkab Manggarai perlu menyiapkan dana pembebasan lahan. Ganti rugi yang wajar.

Kita berharap, kasus E.coli di Wae Rowang menjadi titik star sebuah gerakan dan program yang nyata, segera, dan sukses. Yakni, Perawatan Mata Air Wae Rowang. Permata Wae Rowang!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 23 Maret 2011

22 Maret 2011

Bonek Pemilukada Lembata

Demo Rusuh GPK di Kantor KPU

Oleh Frans Anggal

ksi demo Generasi Peduli Kasih (GPK) di kantor KPU Lembata, Kamis 17 Maret 2011, berakhir rusuh. Massa menyerang dan melempari kantor dengan batu. Polisi turut jadi sasaran. Kapolres Marthen Johannis yang berusaha menyelamatkan anak buahnya terkena lemparan batu di bagian wajah, di bawah bola mata kanan. Beberapa orang yang diduga sebagai provokatur langsung diciduk untuk jalani pemeriksaan (Flores Pos Senin 21 Maret 2011).

Dalam orasinya, pendemo menggugat hasil pemeriksaan kesehatan bakal calon bupati Lukas Witak Lipataman oleh tim dokter RSUD Prof. Dr. W. Z. Johan¬nis Kupang. Lukas divonis tidak mampu menjalankan tugas sebagai kepala daerah. Pendemo menilai vonis ini hasil konspirasi KPU dengan RSUD untuk gugurkan paket tertentu dan loloskan paket lain.

Tuntuan mereka: KPUD Lembata harus menghentikan pemilukada. Kalau tidak? “Ratakan KPUD! Hancurkan KPUD!” Bahkan ada yang rela masuk penjara asalkan nyawa Ketua KPUD Wilhelmus melayang. “Bapak Kapolres, saya penanggung jawab demo!” kata Masudin Yamin. “KPUD Lembata harus hentikan semua proses dan tahapan pemilukada Lembata. Kalau tidak, Lembata jadi abu dan saya bertanggung jawab!” Maka… kerusuhan pun pecah.

Masudin Yamin adalah ketua tim sukses paket Kasih, akronim dari nama Lukas Lipataman Witak dan Muhidin Ishak, pasangan calon perseorangan. Masudin Yamin juga mantan anggota DPRD Lembata dari Partai Golkar (2004-2009). Sebagai ketua tim sukses, ia sangat kecewa. Meski pengumuman penetapan calon bupati dan wakil bupati 2011-2016 baru berlangsung 23 Maret 2011, sudah dipastikan paket Kasih bakal kandas karena vonis kesehatan.

Kita maklumi lahirnya kekecewaan itu. Namun, kita tidak bisa membenarkan segala bentuk ekspresi kekewaan atau amarah yang bersifat mengancam. Apalagi yang akhirnya menyulut aksi anarkis. Sulit dimengerti pula, ekspresi anti-hukum seperti ini bisa keluar dari diri seorang mantan legislatif, yang salah satu fungsinya justru membuat leges (hukum dan peraturan perundang-undangan).

Tidak hanya itu. Demo Generasi Peduli Kasih pimpinan Masudin Yamin pun tidak mencerminkan makna “kasih” itu sendiri. Peduli kasih koq menjadi peduli benci, peduli amuk, peduli rusuh, peduli anarki. Atas cara yang telah diperlihatkan, demo Generasi Peduli Kasih sesungguhnya demo Generasi Apatis Kasih.

Demo mereka analog dengan aksi bonek (bondo nekat) dalam dunia sepakbola. Para bonek itu fanatik mendukung kesebelasan kesayangan. Mereka kenakan seragam kesebelasan kesayangan, berpawai unjuk kekuatan. Mereka naik kendaraan umum tanpa bayar, masuk stadion tanpa karcis. Saat pertandingan, semua mereka jadi wasit. Bahkan mewasiti wasit.

Bonek selalu ngotot timnya harus menang. Kalau timnya kalah, maka wasit dicap curang, lawan dinilai main sogok, alias ada konspirasi. Kalau sudah begini, apa saja yang ada di tangan dilemparkan ke lapangan. Kalau memungkinkan, mereka menyerbu dan menghajar wasit dan pemain lawan. Kalau belum juga puas, mereka keluar dan merusak apa saja yang dijumpai. Kendaraan yang lewat, kereta api yang akan membawa mereka pulang, berikut stasiunnya, dirusak.

Itulah aksi bonek. Bagaimana dengan aksi GPK di Lembata? Analog! Coba, “KPUD Lembata” dalam ucapan Masudin Yamin itu kita ganti dengan “wasit”, dan “pemilukada Lembata” kita ganti dengan “pertandingan”, maka akan terasa bonek banget.

“Wasit harus hentikan semua proses dan tahapan pertandingan! Kalau tidak, Lembata jadi abu!” Ini ucapan khas bonek. Bonek pemilukada Lembata.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 22 Maret 2011

21 Maret 2011

Algojo di Rutan Bajawa

Kasus Penganiayaan Tahanan

Oleh Frans Anggal

Seorang tahanan di Rutan Bajawa, Ruben Rangga (41) warga Maunori, dianiaya pegawai rutan (sipir) Lukas Asdando. Korban menderita memar di mata karena dipukul berkali-kali, serta lecet di lutut dan kaki karena disuruh berjalan sambil berlutut di atas aspal dalam kompleks rutan, sambil ditendang berkali-kali oleh sang sipir. Keluarga sudah melaporkan kasus ini ke Polres Ngada (Flores Pos Jumat 18 Maret 2011).

Ruben Rangga masuk rutan sebagai tahanan jaksa pada Selasa 15 Maret 2011 karena terlibat penganiayaan terhadap Frengky Pita, warga Maunori, 28 September 2010. Frengky Pita masih bertalian keluarga dengan Lukas Asdando sang sipir. Sejak masuk rutan pukul 13.30 Wita hingga keesokan paginya, Ruben Rangga dianiaya Lukas Asdando.

Kasusnya terungkap ketika keluarga Ruben hendak membesuk. Meski datang tepat jadwal dan dilengkapi surat besuk dari kejaksaan, mereka ditolak Lukas Asdando dengan alasan penahanan Ruben belum sampai seminggu. Mereka balik ke kejaksaan. Kejaksaan buat lagi surat besuk kedua. Tetap ditolak. Akhirnya kejaksaan keluarkan SP 38 (surat perintah tambahan pemeriksaan dari kejaksaan). Bersama keluarga Ruben, pegawai kejaksaan datangi rutan. Saat itulah ketahuan, Ruben Rangga telah dianiaya. Ruben langsung diamankan di kantor kejaksaan.

Apa kata si sipir Lukas Asdando? "Saya bukan menganiaya dia (Ruben Rangga), hanya tempeleng satu kali sebagai bentuk pembinaan. Dia masih keluarga dengan saya. Saya kesal, kenapa dia bisa melakukan hal seperti itu di kampung sehingga bisa masuk tahanan. Tapi dia tidak terima itu" (http://kupang.tribunnews.com).

Hanya tempeleng? Dan hanya satu kali? Benar-benar luar biasa. Tindakan yang “hanya” itu ternyata membawa akibat yang tidak terkira. Mata korban menjadi memar. Lutut dan kaki korban lecet-lecet. Rupanya, saat disuruh berjalan sambil berlutut di atas aspal, korban pun “hanya” ditempeleng, “tempeleng” pakai kaki.

Tempeleng sebagai bentuk pembinaan? Yang benar saja! Beginkah cara pembinaan di Rutan Bajawa? Pembinaan yang ngawur. Tidak tahu membedakan antara treatment (‘tindak pembinaan’) dan violence (‘tindak kekerasan’). Atau mungkin si Lukas Asdando yang tidak paham, sebagaimana sipir lain di rutan lain.

Pada banyak rutan dan lapas, sipir menganggap membentak, mencaci maki, menempeleng, menampar, memukul, menendang, menyuruh lompat-jongkok, hormat bendera berjam-jam, berguling-guling di tanah, berjalan berlutut, dan lain-lain, hanyalah ‘tindak pembinaan’, bukan ‘tindak kekerasan’. Betapa tersesatnya pemahaman seperti ini!

Semua tindakan itu melanggar konstitusi, UUD 1945. Pasal 28G ayat (2): setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Melanggar UU 39/1999 tentang HAM. Pasal 4: hak untuk tidak disiksa dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Melanggar UU 12/2005 tentang Pengesahan Covenant on Civil and Political Rights. Pasal 7: tidak seorang pun dapat dikenakan penyiksaan atau perlakuan atau hukuman lain yang keji, tidak manusiawi atau merendahkan martabat. Melanggar KUHP. Pasal 351: penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan, dst.

Karena itu, kita dukung langkah keluarga korban. Laporkan sang sipir ke polres. Ia harus diproses hukum. Sipir bukan algojo. Rutan bukan hutan.

“Bentara” FLORES POS, Senin 21 Maret 2011

18 Maret 2011

Polres Manggarai Tertawan?

Kasus Tambang Mangan di Serise

Oleh Frans Anggal

Warga kampung Serise di Kabupaten Manggarai Timur akhirnya mengambiL sikap mengusir PT Arumbai Mangabekti dari lokasi prosesing mangan di tengah kampung mereka. Perusahaan tambang itu dinilai telah melanggar kesepakatan. Prosesing dilakukan dekat rumah penduduk dan dekat sumber mata air (Flores Pos Kamis 17 Maret 2011).

Sejak Senin 14 Maret 2011, Arumbai memaksa agar prosesing diaktifkan kembali. Prosesing sempat terhenti sejak lahirnya kesepakatan pen-status-quo-an kegiatan penambangan di lokasi sengketa lingko Rengge Komba. Kesepakatan difasilitasi dan dijamin oleh Polres Manggarai beberapa waktu lalu.

Setelah bermusyawarah di rumah tua teno Sipri Amon, warga mengambil sikap menolak prosesing dan mengusir Arumbai. Terjadi ketegangan dan diskusi alot dengan pihak Arumbai dan aparat Polsek Lambaleda. "Akhirnya memang perusahaan keluar dan tidak kerja lagi di lokasi prosesing mangan di tengah kampung," kata Koordinator JPIC OFM Wilayah Flores, Pater Mateus Batubara OFM.

Kita bersyukur, ketegangan itu berakhir baik-baik. Tidak terjadi pertumpahan darah. Kendati demikian, sebuah pertanyaan tetap menggantung tidak berjawab. Mengapa Arumbai begitu berani melanggar kesepakatan pen-status-quo-an lokasi sengketa?

Isi kesepakatan pen-status-quo-an: Arumbai tidak masuk lagi ke areal hak ulayat masyarakat Serise. Demikian pula prosesing mangan tidak dilakukan lagi di tengah permukiman. Sedangkan dari pihak Serise, warga meninggalkan lokasi sengketa setelah mereka menduduki dan memagarnya selama dua minggu, yang mengakibatkan penambangan dan pengapalan material mangan terhenti.

Kesepakatan ini difasilitasi oleh polres, dan dijamian pengamanannya juga oleh polres. Dengan demikian, melanggar kesepakatan berarti juga melawan polres selaku pihak yang telah memberikan jaminan pengamanan. Perlawanan kali ini merupakan perlawan kedua yang dilakukan Arumbai.

Sebelumnya, pengujung Desember 2010, Arumbai lakukan perlawanan dengan membuka jalan masuk di areal ulayat Serise di perbatasan selatan Golo Serente. Arumbai membuang limbah mangan di wilayah ulayat Serise. Orang-orang tak dikenal, kaki tangan Arumbai, lalu-lalang di lokasi sengketa. Warga Serise telah melaporkannya ke polres (Flores Pos Rabu 5 Januari 2010).

Dua bulan berlalu, Arumbai kembali melakukan perlawanan. Kali ini perusahan tambang ini memaksa agar prosesing di tengah kampung diaktifkan kembali. Menanggapi perlawanan yang kedua ini, warga Serise langsung berhadap-hadapan dengan Arumbai. Tindakan mereka kali ini pun sudah lain. Mereka mengusir perusahaan itu keluar dari kampung. Arumbai pun terusir.

Yang menjadi pertanyaan kita: apakah Arumbai tidak akan datang lagi untuk melanggar kesepakatan pen-status-quo-an? Apakah Arumbai tidak akan lagi melawan polres selaku pihak yang memberikan jaminan pengamanan kesepakatan?

Jawaban pasti atas pertanyaan ini tidak ada. Sebab, polres selaku penjamin kesepekatan sudah terbukti tidak tegas. Dilawan oleh Arumbai, alat negara ini seperti tidak berdaya. Ini polres model apa? Tidak punya wibawa. Kosong harga diri. Kita pun terheran-heran. Koq bisa ya, si pelawan seolah-olah dianggap sebagai kawan. Pertanyaan tak terelakkan pun muncul. Apakah Polres Manggarai sudah tertawan oleh si pelawan?

“Bentara” FLORES POS, Jumat 18 Maret 2011

17 Maret 2011

Bantuan Syok-Sial di Sikka

Dugaan Korupsi Dana Bansos 2009

Oleh Frans Anggal

Tim Kejari Maumere sedang lakukan uji petik dugaan korupsi bantuan dana sosial (bansos) Rp10,7 miliar tahun 2009 yang dikelola Bagian Kesra Setda Sikka. Tim lakukan kroscek antara dokumen adminstratif dan penerima bantuan di lapangan. “Tim jaksa akan mendatangi beberapa penerima bantuan,” kata Kajari San Adji (Flores Pos Rabu 16 Maret 2011).

Sebelumnya, BPK Perwakilan NTT ungkapkan dugaan korupsi dana bansos. Meliputi, bantuan emergensi bencana gunung api Egon Rp656 juta lebih. Bantuan emergensi kebakaran rumah tinggal Rp6 miliar lebih. Bantuan emergensi bencana angin topan Rp681 juta lebih. Bantuan emergensi bencana banjir, abrasi, dan tanah longsor Rp828 juta lebih.

Tidak hanya itu. Belanja tak terduga tahun anggaran 2009 Rp1 miliar lebih. Utang dalam bentuk barang pada salah satu mantan anggota DPRD Rp585 juta lebih. Utang dalam bentuk uang tunai pada salah satu mantan anggota DPRD Rp3,9 miliar. Serta beberapa pos pengeluaran lainnya.

Dari semua butir tersebut, yang paling jelas janggalnya adalah utang pada dua mantan anggota DPRD. Totalnya mencapai Rp4,485 miliar. Itu berarti, hampir setengah dari dana bansos 2009 “dihabiskan” hanya oleh dua mantan wakil rakyat. Dana bansos yang peruntukannya sebesar-besarnya bagi kepentingan umum, ternyata disalurkan sebesar-besarnya hanya untuk dua orang.

Kasus ini memperlihatkan secara kasat mata pula bahwa dana publik seenaknya ditransaksikan. Ditransaksikan secara personal. Atas dasar oportunisme individual. Dan, ditransaksikan dalam bentuknya yang paling kasar: utang-piutang di tempat. Tidak tampak sedikit pun upaya "sofistikasi", sekadar memperlihatkan sifat "elitis" dari transaksi personal oportunistis individual ini.

Dengan praktik janggal seperti ini, kita jadi bingung. Maka, kita perlu bertanya, sebagai salah satu bentuk gugatan. Bagian Kesra Setda Sikka itu sebenarnya apa? Apakah ini semacam koperasi simpan pinjam para elite kabupaten? Ataukah ini sejenis bank perkreditan para pejabat daerah?

Bansos itu apa pula? Apakah ini akronim dari bantuan sosial? Ataukah akronim dari bantuan syok-sial? Bantuan bagi orang yang berlagak sial, berpura-pura sial? Nah, sial apa gerangan yang menimpa dua mantan anggota DPRD Sikka, sehingga keduanya boleh “mengabiskan” hampir setengah dari dana bansos 2009? Apakah benar mereka sial? Lebih sial daripada sebagian rakyat Sikka yang hampir tiap tahun makan umbi hutan karena ketiadaan pangan?

Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan gugatan etis. Sengaja dilontarkan, agar dugaan korupsi dana bansos tidak mengerdil-memicik hanya sebagai persoalan hukum. Ini persoalan moral juga. Dan, sesungguhnya, defisit moral itulah yang menjadi akar dari segala tindak pidana korupsi.

Kesadaran ini kiranya menjadi amunisi bagi Kejari Maumere untuk lebih progresif dan bila perlu lebih agresif mengusut gegas-tuntas dugaan korupsi dana bansos. Hingga kini kejari belum masuk ke tahap penyidikan. Masih berkutat pada pulbaket: pengumpulan bahan dan keterangan. Salah satunya, uji petik.

Uji petik ke bawah, ke penerima dana, pasti mudah. Uji petik ke atas, ke pemberi dana, pasti sulit. Ada kesan, akses ke dokumen administratif dihalang-halangi. Ada resistensi. Semakin kuatlah dugaan, ada yang tidak beres. Kita mendesak kejari segera terapkan upaya paksa. Jangan tunggu dikasih, Pak!

“Bentara” FLORES POS, Kamis 17 Maret 2011

15 Maret 2011

Kini, Ketua DPRD Sikka!

Dugaan Penyalahgunaan Dana Perjalanan Dinas

Oleh Frans Anggal

Ketua DPRD Kabupaten Sikka, Rafael Raga, dilaporkan ke Kejari Maumere oleh Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) NTT Meridian Dewanto. Rafael Raga diduga menyalahgunakan dana perjalanan dinas bimbingan teknis (bimtek) DPRD ke Jakarta pada 24-29 Februari 2011 (Flores Pos Selasa 15 Maret 2011).

Meridian Dewanto membeberkan, biaya perjalanan dinas Rafael Raga Rp358.150.000, untuk lima hari. Dalam pelaksanaannya, Rafael Raga menjalankan tugas hanya satu hari. Ia segera balik ke Maumere karena, katanya, ada anggota keluarganya yang meninggal. Meridian Dewanto mengendus ada sesuatu yang tidak beres dalam modus ini.

Ia menduga Rafael Raga telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara. Atau, telah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan. Ia merujuk UU 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan perubahannya UU 20/2001.

Kalau dugaan tersebut benar, maka modusnya adalah perjalanan dinas yang dilaksankan kurang dari waktu dalam surat penugasan. Lima hari, dibikin jadi satu hari, maka “untung” empat hari. Taruhlah, dana satu hari itu Rp71.630.000 (seperlima dari total lima hari Rp358.150.000), maka “untung” empat hari mencapai Rp286.520.000. Kaya mendadak!

Ini baru satu modus. Masih ada modus lain. (1) Perjalanan dinas fiktif: terima dana tapi tidak jalan. (2) Perjalanan dinas tumpang tindih: satu perjalanan dengan beberapa tujuan berbeda. (3) Pembentukan “dana taktis”/non-budgeter dengan SPJ perjalanan dinas. (4) Perjalanan dinas sebagai sumber tambahan penghasilan tidak sah. (5) Perjalanan dinas oleh yang tidak berhak. (6) Sumber pendanaan perjalanan dinas dari dua atau lebih sumber dana. (7) Penggelembungan biaya perjalanan dinas.

Berbagai modus penyalahgunaan atau penyimpangan dana tersebut menunjukkan satu hal. Perjalanan dinas telah menjadi ladang subur korupsi. Semakin subur saja, karena anggaran perjalanan dinas meningkat dari tahu ke tahun. Dan, tidak diimbangi pengawasan yang meningkat pula.

Dalam Catatan Akhir Tahun 2010 di Jakarta, Selasa 21 Desember 2010, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) membeberkan hasil audit BPK terhadap 35 kementerian/lembaga. "Ada penyimpangan anggran perjalanan dinas sebesar Rp73,6 miliar, dengan modus perjalanan fiktif, tiket palsu, dan pembayaran ganda," kata Diah Y Raharjo, Ketua Dewan Nasional Fitra (www.waspada.co.id).

Dari pusat hingga daerah, pundi-pundi negara ini dijarah oleh para pejabat. Eksekuif, legislatif, sama saja. Tidak semuanya teridentifikasi sebagai pelaku korupsi. Namun, angka yang mereka habiskan sering sangat mencengangkan. Sekadar contoh. Di Sikka, selama 2008 dan 2009, biaya perjalanan dinas bupati dan wabup mencapai Rp1,4 miliar, untuk 91 kali perjalanan di dalam dan keluar daerah.

Forum Masyarakat Sikka Menggugat sudah melapor hal ini ke Kejari Maumere 3 April 2009. Tiga pekan kemudian, saat ditanyakan tindak lanjutnya, kejari mengatakan sedang lakukan pengumpulan bahan dan keterangan alias pulbaket. Hasilnya sampai sekarang? Walahuallam.

Kini, ketua DPRD-nya yang dilaporkan. Oleh TPDI. Mungkin, nanti, saat TPDI tanyakan tindak lanjutnya, kejari pun menjawab dengan formula yang sama. Sedang lakukan pulbaket. Dengan catatan, mesti ada bukti awal yang cukup sebelum sebuah dugaan korupsi mulai diproses hukum. Habis itu ya habis. Selanjutnya? Walahuallam.

“Bentara” FLORES POS, Rabu 16 Maret 2011

“Politik Pisang” di Ende

Cara Kreatif Warga Ekspresikan Kekecewaan

Oleh Frans Anggal

Di kota Ende, Kabupaten Ende, warga menanam pohon pisang di tengah ruas jalan yang menghubungan kota dengan Pelabuhan Ipi. Pohon setinggi 3 meter itu menyembul di tengah “kolam” di badan jalan. Di tepi “kolam” tertancap sebuah papan peringatan: “Pejabat buka mata/hatimu” (Flores Pos Senin 14 Maret 2011).

Ruas jalan itu sudah lama berlubang. Tepat pada lubang itulah pohon pisang ditanam. Badan jalan berlubang karena “termakan” air yang menggenang akibat tidak adanya drainase. Sudah banyak pengendara sepeda motor yang terjerembab di sini.

Rencana pembuatan drainase, ada, tapi tidak dilasanakan. Pernah dilaksanakan, tapi tidak dilanjutkan. “Sudah dua kali gali got tapi tidak dibangun lebih lanjut. Ini yang buat kami kecewa,” kata Yanto Ibrahim, warga setempat.

Warga kecewa. Itulah poinnya. Penanaman pisang di “kolam” jalan itu ekspresi kekecewaan mereka. Setelah keluhan tidak didengarkan, dan setelah yakin pemerintah menutup mata dan hati, mereka memilih jalannya sendiri. “Kolam” nganggur itu mereka tanami pisang. Suatu saat mungkin dengan kangkung, sekalian dengan lele sebagai minanya.

Tindakan mereka bukan tindakan ekonomis. Mereka menanam pisang tidak untuk dipetik buahnya. Demikian pula seandainya mereka menanam kangkung dan melepas lele, tidak untuk dipanen hasilnya. Lalu, untuk apa? Untuk dilihat oleh pemerintah! Agar pemerintah buka mata dan hati. Jadi, tindakan mereka adalah tindakan politis.

Sebagai tindakan politis, cara mereka ini kreatif. Pertama, tidak destruktif. Kedua, efektif menyedot perhatian. Pada tahap awal, ini merengkuh perhatian pers. Flores Pos menempatkannya di halaman depan, dengan judul “Masyarakat Tanam Pisang di Tengah Jalan”. Fotonya jadi foto master. Kalau sudah begini, tidak mungkin bupati-wabup tinggal diam. Kedua pejabat ini pasti segera bertindak.

Dalam catatan Flores Pos, ini kasus kedua berkenaan dengan sistem darinase kota Ende. Pekan sebelumnya, warga Jalan Sam Ratulangi, Alex Joan Sine, menyurati bupati, meminta agar drainase di kawasan permukimannya, Woloweku, yang longsor akibat banjir 22-23 Agustus 2010 segera diperbaiki. Dia juga meminta pemerintah mengganti biaya yang telah ia keluarkan untuk membangun drainase (Flores Pos Jumat 4 Maret 2011).

Merujuk “Bentara” Flores Pos Senin 7 Maret 2011, kita mengidentifikasi persoalan yang sama pada kedua kasus ini. Yakni bahwa kota Ende belum memiliki sistem drainase yang baik. Kota bekas pembuangan Bung Karno dan bekas ibu kota Daerah Flores ini selalu bermasalah pada musim hujan. Longsor sana-sini. Got tersumbat. Air meluap. Jalan raya jadi “kolam”. Sampah berserakan.

Kita mendesak Bupati Don Bosco M Wangge dan Wabup Achmad Mochdar segera selesaikan masalah “klasik’ ini. Jangan menganggap daya tahan masyarakat amat kuat menghadapi semuanya ini. Bahaya selalu ada. Dari kecewa, rakyat bisa frutrasi. Dan frustrasi rakyat bisa bermuara pada politik destruktif. Pada titik paling ekstrem, mereka akan mencari pemimpinnya sendiri. Dan itu pasti, namun setelah destruksi terjadi.

Oleh karena itu, tindakan politis warga menanam pisang semestinya segera membuka mata dan hati. Yang dilakukan warga barulah “politik pisang”. Jangan menunggu “politik pisang” berubah menjadi “politik pusing”. Jangan menunggu tindakan politis kreatif berubah menjadi tindakan politis destruktif.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 15 Maret 2011

14 Maret 2011

Bupati Ngada Lebih “Gubernur”!

Terobosan Pemkab Perbaiki Jalan Provinsi

Oleh Frans Anggal

Pemkab Ngada di bawah kepemimpinan Bupati Marianus Sae dan Wabup Paulus Soliwoa lakukan terobosan. Mereka menamakannya “Operasi Jalak” alias Operasi Jalan Rusak. Yaitu, memperbaiki jalan raya yang rusak, terutama pada titik-titik paling rawan. Operasi Jalan berfokus pada jalan provinsi yang selama ini tidak mendapat perhatian Pemprov NTT (Flores Pos Sabtu 12 Maret 2001).

"Meski jalan ini merupakan tanggung jawab provinsi, saya berinisiatif melakukan perbaikan demi masyarakat Ngada. Kita tahu bahwa namanya jalan provinsi, tetapi yang menggunakan jalan ini adalah masyarakat Ngada," kata Bupati Marianus di lokasi perbaikan di Wangka Selatan, Kecamatan Riung, Rabu 9 Maret 2011.

Semua titik kerusakan pada jalan provinsi akan diperbaiki melalui Operasi Jalak. Operasi ruas jalan provinsi Bajawa-Riung dilaksanakan selama tiga hari, 9-11 Maret 2011. Kerusakan pada ruas jalan ini sangat parah. Bayangkan, sudah mencapai 80 persen. Tinggal 20 persen lagi maka "sempurnalah" kerusakannya.

Panjang ruas jalan Bajawa-Poma-Riung 84,48 km. Ini merupakan jalan provinsi paling panjang di Kabupaten Ngada. Tapi sekaligus juga paling diterlantarkan. Ratusan titik penuh lubang, berdiamter 2-3 meter, dengan dalam 20-30 cm. Pada musim hujan, lubang-lubang ini menjadi "kolam". Semakin parah kerusakannya karena tidak ada drainase.

Kerusakannya sudah lama, terbilang tahunan. Sudah sering dikeluhkan, dilaporkan, namun Pemprov NTT tidak melakukan apa pun. Tidak perlu ditanyakan lagi, apa alasannya. Sudah pasti yang itu-itu juga: dana terbatas, maka perbaikan harus bertahap. Formula jawaban itu tentu benar dan masuk akal. Namun, apakah memang itu masalahnya? Tidak!

Dana terbatas itu kenyataan. Perbaikan bertahap itu keharusan. Yang selalu menjadi soal selama ini, pemprov tidak memiliki skala nilai dan skala prioritas untuk menentukan pilihan kebijakan mendahulukan yang mana. Pengadaan mobil untuk pejabat, yang hanya dinikmati si pejabat, ada dananya. Sebaliknya, perbaikan jalan raya, yang dinikmati semua orang, tidak ada dananya. Kita berharap, DPRD NTT mengontrol. Eh, malah mereka jadi bagian dari masalah.

Sekadar contoh. Dana APBD Provinsi NTT 2009/2010 pernah siap dipijamkan kepada 55 anggota dewan terhormat, miliaran rupiah, untuk pembelian mobil. Masing-masing dapat Rp200 juta. Pengembaliannya pakai cicil, potong gaji Rp5 juta per bulan, selama 48 bulan.

"Ironis. Pada saat masyarakat NTT mengalami masalah sosial yang membutuhkan dukungan dana, DPRD mengambil uang rakyat untuk membeli mobil. Wakil rakyat lebih sibuk memperjuangkan kepentingan pribadi, dan melupakan tugasnya sebagai wakil rakyat," kata Ketua GMNI Cabang Kupang Blasius Timba dalam aksi demo ke DPRD NTT (Flores Pos Senin 24 Mei 2010).

Kalau legislatif sudah begini---mendahulukan suka-nya dan saku-nya---bagaimana mereka bisa mengontrol dan mempresur eksekutif agar prioritaskan apa yang paling dibutuhkan masyarakat. Baik eksekutif maupun legislatif NTT sama dalam satu hal. Tidak punya skala nilai dan skala prioritas. Ini krisis kepemimpinan yang gawat.

Ruas jalan provinsi Bajawa-Riung, yang sudah lama rusak parah dan dikeluhkan tapi tetap dimasabodohi pemprov NTT, merupakan bukti nyata krisis itu. Dalam perspektif ini, Operasi Jalak Pemkab Ngada merupakan bukti sebaliknya. Kepedulian pemimpin! Demi rakyatnya, bupati-wabup menanggung apa yang merupakan tanggung jawab gubernur.

Secara parodi, ini juga "olokan" bagi gubernur. Di NTT, bupati itu lebih "gubernur" ketimbang gubernur!

“Bentara” FLORES POS, Senin 14 Maret 2011

12 Maret 2011

Dokter Aliandoe

Selamat Jalan duhai Teladan!

Oleh Frans Anggal

Direktur RS Elisabeth Lela, Dokter Johannes Aliandoe, Sp.B meninggal di RSU Siloam Hospital di Karawaci, Tangerang, Jakarta, Rabu 9 Maret 2011. Setelah terjatuh saat sedang bertugas di RS Lela pada Minggu (6/3), spesialis bedah ini diterbangkan dari Bandara Frans Seda, Maumere, Senin pagi (7/3), langsung menuju Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta. Dari bandara ia langsung dibawa ke Siloam Hospital di Karawaci, dan dirawat di sana hingga meninggal pada Rabu (9/3). Berita kematiannya mengejutkan banyak pihak. Terutama masyarakat Flores yang telah merasakan kelembutan pengabdiannya (Flores Pos Jumat 11 Maret 2011).

Ketua Badan Pengawas Yayasan Santo Lukas (penyelenggara RS Santa Elisabeth Lela) Romo Richard Muga Buku Pr merasa sangat kehilangan. “Almarhum merupakan figur dokter yang sangat rendah hati, ramah, komit pada profesinya, dan menjadi daya pesona tesendiri bagi RS Lela.”

Tokoh masyarakat Sikka Hendro Alex bersaksi, Aliandoe seorang yang telah memberikan seluruh ilmu, tenaga, dan perhatiannya untuk memajukan kesehatan masyarakat Flores. “Aliandoe dokter yang merakyat, profesional, dan rendah hati. Ia patut diteladani oleh dokter-dokter muda saat ini.”

Siapakah Johannes Aliandoe? Kalau kita ketikkan namanya di mesin pencari Google dengan diapiti tanda petik agar hasil pencarian lebih spesifik, dia kurang “terkenal”. Pengecekan 11 Maret 2011 pukul 17.000 Wita hanya munculkan 6 halaman web untuk namanya. Sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan, misalnya, dengan Sinyo Aliandoe pelatih PSSI 1982-1983 yang namanya ada pada 2.660 halaman.

Meski tidak terkenal “menurut” Google, Dokter Aliandoe sangat terkenal “menurut” Flores. Dia orang Flores, dan ahli bedah pertama dari Flores. Sebagian besar masyarakat Flores mengenal dia, minimal tahu tentang dia. Dan, semua cerita tentang dia adalah dan hanyalah cerita tentang kebaikannya. Profesional, ramah, simpatik, rendah hati, lembah lembut, penuh pengorbanan, dan mencintai orang-orang kecil.

Meski tidak terkenal “menurut” Google, Dokter Aliandoe sangat terkenal “menurut” Atma Jaya,. Dia salah satu Warga Utama Atma Jaya. Warga Utama Atma Jaya merupakan sebentuk penghargaan Atma Jaya bagi warganya yang dinilai telah berjasa terhadap perkembangan Atma Jaya (www.atmajaya.ac.id).

Warga Utama dipilih dari ribuan individu yang tergabung dalam keluarga besar Atma Jaya (mencakup Unika Atma Jaya, RS Atma Jaya, dan Yayasan Atma Jaya). Kontribusi Warga Utama beragam, sesuai dengan bidang masing-masing. Sejak 1963 hingga 2010 tercatat 17 Warga Utama. Diawali oleh Drs. Ferry Sonneville 1963. Dokter Aliandoe sedniri menerima penghargaan ini pada 2000, bersama Dr. KS. Gani D.P.H., Drs. Jusuf Udaya, Lic.Ec., dan Dra. M.B. Widyarto, M.Sc.

Kesaksian dari Flores dan penghargaan dari Atma Jaya menggarisbawahi satu hal. Yakni, kualifikasi Johannes Aliandoe sebagai seorang yang sangat berguna ketimbang sebagai orang yang sangat terkenal. Dan sesungguhnya menjadi orang berguna jauh lebih bernilai ketimbang menjadi orang terkenal. Gayus Tambunan sangat terkenal di Indonesia. Adolf Hitler sangat terkenal di dunia. Tapi kita tahu apa yang telah mereka perbuat.

Dalam “ketidakterkenalan”-nya di level nasional, Dokter Aliandoe justru telah “berjasa” dan “berkorban” bagi bagitu banyak orang di level akar rumput Flores dan level akademik Atma Jaya. Hidupnya adalah kesaksian paling nyata tentang hakikat sejati profesi dokter. Sebuah profesi pelindung manusia!

Dokter Aliandoe telah melakoninya dengan profesional. Yakni, melayani kliennya dalam hal yang paling dibutuhkan, dengan keahlian yang sedemikian rupa, sehingga kepentingan kliennya selalu ia utamakan di atas kepentingannya sendiri. Terima kasih, Dokter Aliandoe. Selamat jalan duhai Teladan!

“Bentara” FLORES POS, Sabtu 12 Maret 2011

Larang Ahmadiyah di NTT?

Mengkritisi Pernyataan Gebernur Frans Lebu Raya

Oleh Frans Anggal

Menindaklanjuti arahan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT melakukan pemantauan terhadap kegiatan keagamaan Jemaat Ahmadiyah. Pemantauan ini juga berkaitan dengan sejauh mana perkembangan Jemaat Ahmadiyah di NTT.

Demikian kata Gubernur NTT Frans Lebu Raya. “Kita sangat berharap Jemaat Ahmadiyah setidaknya bisa patuhi 12 butir pernyataan sikap yang telah disampaikan. Saat ini kita terus memantau,” katanya (Flores Pos Kamis 10 Maret 2011).

Betapun pernyataan Gubernur Lebu Raya ‘hanyalah’ bentuk tindak lanjut arahan mendagri, kita tidak bisa menerimanya begitu saja. Demikian pula, betapapun benar ada 12 butir pernyataan sikap Jemaat Ahmadiyah, yang oleh gubernur dijadikan tolok ukur, kita tidak bisa membenarkan apa yang disebutnya tindakan pemantauan kegiatan keagamaan.

Apa yang mau dipantau oleh negara? Dalam hal ini oleh gubernur sebagai personifkasi negara? Yang mau dipantaunya, apakah hanya “kegiatan” keagamaan? Ataukah juga “keyakinan” keagamaan? Pertanyaan ini penting karena oleh gubernur, 12 butir pernyataan sikap itu dijadikan dasar dan tolok ukur untuk menilai apakah Jemaat Ahmadiyah telah melakukan pelanggaran atau tidak.

Pada 14 Januari 2008, Jemaat Ahmadiyah mengeluarkan 12 butir pernyataan, setelah melalui rentetan dialog dengan Departemen Agama. Pernyataan itu terkait dengan rapat Pakem yang akhirnya menetapkan bahwa negara tidak melarang Jemaat Ahmadiyah.

Kalau disimak cermat, segera terlihat butir pernyataan itu terdiri dari dua kategori. Butir 1-6 berisi “keyakinan” keagamaan. Butir 7-12 berisi “tindakan” keagamaan. Khusus butir 1-3 berisi keyakinan yang secara implisit membantah tudingan bahwa Jemaat Ahmadiyah meyakini Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad (pendiri) sebagai nabi selain Muhammad Rasulullah SAW. Tudingan inilah yang sering dijadikan alasan menolak kehadirannya.

Pertanyaan kita: dengan butir pernyataan keyakian seperti ini, gubenur mau memantau kegiatan keagamaan dan perkembangan Jemaat Ahmadiyah di NTT? Sejak kapan Indonesia menjadi negara teokrasi? Konstruksi konstitusi kita adalah konstruksi negara demokrasi, dalam pengertian tertentu adalah juga negara sekular.

Negara tidak berwenang menentukan mana agama tepat, mana agama sesat. Negara tidak berhak mencampuri aqidah internal umat beragama. Negara tidak berhak memvonis mana doktrin lurus dan mana doktrin bengkok. Isi keyakinan agama bukanlah urusan negara. Tetapi, bila isi keyakinan itu melahirkan kriminalitas, negara wajib menghukum pelaku tindakannya, bukan melarang isi keyakinannya.

Dalam konteks ini, kalaupun ada yag disebut kementerian agama, wewenangnya hanya menyangkut administrasi penyelenggaraan ritus agama, aturan pendirian rumah ibadah, dll. Dengan catatan: menteri agama tetaplah menteri di sebuah republik manusia. Ia pembantu presiden, bukan asisten Tuhan. Gubernur NTT juga begitu!

Dengan ini, kita mengkritisi satu lagi pernyataan Gubernur Lebu Raya. Dia bilang: kerukunan antar-umat beragama di NTT telah terbina, jangan terganggu hanya dengan kehadrian kelompok lain. Kelompok lain, maksudnya Jemaat Ahmadiyah? Lantas, NTT mau melarang dan/atau mengenyahkan kelompok lain ini? Atas dasar apa dan wewenang siapa? Yang benar saja!

“Bentara” FLORES POS, Jumat 11 Maret 2011

10 Maret 2011

Bupati Sosi Ditantang!

Menjadikan Unipa Universitas Negeri

Oleh Frans Anggal

Pemkab dan DPRD Sikka sudah menyiapkan regulasi untuk memproses perubahan status Universitas Nusa Nipa (Unipa) Maumere dari universitas milik Pemkab Sikka menjadi universitas negeri. Salah satu butir regulasinya mengatur: bupati dan wabup adalah pembina Unipa, sedangkan DPRD adalah pengawas.

"Kalau Unipa mau dinegerikan, regulasinya harus jelas. Harus ada regulasi yang baru," kata Bupati Sosimus Mitang di Kantor Kecamatan Talibura, Senin 7 Maret 2011. Saat itu ia melepas 95 mahasiswa Unipa yang hendak menjalani kuliah kerja nyata (Flores Pos Rabu 9 Maret 2011).

Wacana menegerikan Unipa sudah lama terdengar. Kembali menghangat ketika Melchias Mekeng, putra Sikka, Ketua Badan Anggaran DPR RI, melontarkanya dalam sebuah acara tatap muka kunjungan kerjanya, Jumat 10 Desember 2010. Ia berjanji memperjuangkan Unipa menjadi universitas negeri terbesar di Flores dalam satu dua tahun ke depan. Dan memperjuangkan dana Rp200 miliar untuk membangun kampus Unipa menjadi yang termegah di Flores. Saat itu Bupati Sosi Mitang dan Ketua DPRD Rafael Raga memberikan aplaus (Flores Pos Senin 13 Desember 2010).

Dengan dinegerikan, kata Melchias, Unipa akan lebih bermutu, melalui penyediaan sarana, prasarana, ketenagaan, dan fasilitas yang lebih lengkap. Biaya pendidikan akan lebih murah. Akses masyarakat akan lebih mudah dan lebih cepat. Unipa pun akan keluar dari kontroversi yang menganggap universitas ini milik satu dua orang.

Tiga bulan berselang, Bupati Sosi mengembuskan angin segar. Dia bilang, pemkab dan DPRD sudah menyiapkan regulasinya. Salah satu butir regulasi mengatur, bupati dan wabup adalah pembina Unipa, sedangkan DPRD adalah pengawas. Aha! Ini yang mengundang tanda tanya kita.

Memangnya selama ini siapa pembina Unipa? Siapa pula pengawasnya? Unipa itu milik pemkab. Dalam benak publik, bupati dan wabup otomatis pembinanya, DPRD otomatis pengawasnya. Apakah selama ini de jure dan de facto begitu ? Ataukah hanya de jure-nya begitu, tapi de facto-nya tidak? Sehingga jadilah Unipa seolah-olah milik satu dua orang saja?

Dari tujuan menegerikan Unipa yang dilontarkan Melchias Mekeng dan butir regulasi baru yang disampaikan Bupati Sosi, sangat terasa: isu seolah-olah Unipa milik satu dua orang sungguh dipersoalkan. Apalagi diramu campur aduk sana sini dengan tetek-bengek rivalitas politik.

Unipa didirikan pada masa Bupati Alexander Longginus. Ia hanya mempimpin Sikka satu periode, namun berhasil menancapkan sebuah tonggak penting di bidang pendidikan. Ia digantikan oleh Bupati Sosi. Atmosfer rivalitas pemilukada pun ikut berembus ke Unipa. Maka hangatlah isu personalisasi Unipa. Seolah-olah Unipa milik Alex Longginus dkk. Ini yang mau "diatasi" oleh Bupati Sosi dkk.

Bagus! Terlepas dari apakah benar Unipa telah dipersonalisasikan, upaya menegerikan universitas ini patut kita dukung. Demi mutu Unipa yang lebih baik. Demi akses pendidikan masyarakat Flores yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah.

Sekarang, giliran Bupati Sosi-lah yang ditantang. Dalam lima tahun memimpin Sikka, Bupati Longginus berhasil mendirikan Unipa! Apakah juga dalam lima tahun menakhodai kabupaten yang sama, Bupati Sosi berhasil menegerikan Unipa? Kita tunggu dan lihat.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 10 Maret 2011

09 Maret 2011

Lanjutkan Usut Tuntas SJA!

Perambahan Hutan Lindung Nggalak Rego

Oleh Frans Anggal

JPIC Keuskupan Ruteng, JPIC SVD Ruteng, JPIC OFM Indonesia untuk Flores, bersama seluruh jaringan advokasi tambang dan masyarakat lingkar tambang tetap mendukung langkah Polres Manggarai mengusut tuntas tindak pidana kehutanan akibat aktivitas pertambangan PT Sumber Jaya Asia (SJA) dalam kawasan hutan lindung Nggalak Rego RTK 103 Soga Torong Besi di Kecamatan Reok.

Penegasan itu disampaikan Pater Simon Suba Tukan SVD dan Pater Mateus Batubara OFM. Keduanya masing-masing sebagai Koordinator JPIC SVD Ruteng dan Koordinator JPIC OFM Indonesia untuk Flores (Flores Pos Selasa 8 Maret 2011).

Dasar sikap mereka: hutan Nggalak Rego tempat SJA menambang mangan adalah hutan lindung. Statusnya tetap sebagai hutan lindung. Tidak ada perubahan apa pun terhadap sastus itu. Dengan demikian, penyidikan terhadap pihak SJA, yang sudah ditersangkakan karena merambah hutan lindung, harus tetap dilanjutkan hingga tuntas.

Ini merupakan counter-statement JPIC atas surat Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan RI, yang menyatakan Nggalak Rego dalam kuasa pertambangan SJA bukan hutan lindung, tetapi hutan produksi terbatas. Surat 16 September 2010 itu merupakan jawaban atas surat direktur PT SJA 17 Mei 2011 yang meminta penjelasan tentang status hutan Nggalak Rego.

Perlu dicamkan, surat ditjen itu adalah dan hanyalah "jawaban" atas surat SJA. Adalah dan hanyalah "penjelasan" atas permintaan SJA. Surat itu bukan "surat keputusan" atau SK. Karenanya, surat itu tidak bisa membatalkan SK. SK hanya bisa dibatalkan oleh SK atau produk hukum yang lebih tinggi. Tidak oleh sebuah surat jawaban atau surat penjelasan. SK tidak bisa dinulir oleh sebuah produk korespondensi antar-pihak.

SK tentang dan/atau berkenaan dengan status hutan Nggalak Rego adalah SK Menhut. SK Menhut RI No 50/1999 nyatakan Nggalak Rego itu hutan lindung. SK Menhut RI No 32/2001 juga nyatakan Nggalak Rego hutan lindung. Bahkan Peraturan Menhut RI No 423/2009 tegaskan pula Nggalak Rego hutan lindung.

Masa iya, SK dan peraturan menhut bisa dibatalkan oleh sepotong surat dirjen yang notabene adalah bawahan menhut. Dari hierarki perundang-undangan, itu tidak mungkin. SK hanya bisa dibatalkan oleh SK. Permen hanya bisa dibatalkan oleh permen. Atau, oleh produk perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dari sisi struktural organisatoris, itu juga tidak mungkin. Keputusan dan peraturan menteri hanya bisa dibatalkan oleh menteri itu sendiri, atau oleh atasan langsungnya (presiden), atau oleh lembaga pengadilan melalui putusan berkekuatan hukum tetap. Dibatalkan oleh dirjen? Melalui sepotong surat penjelasan? Ah, mungkin hanya terjadi di Manggarai.

Justru pada titik inilah kita tercengang-cengang. Pemkab Manggarai terkesan seolah-olah menganggap surat ditjen itu mahakuasa sehingga langsung saja mengangguk setuju dan bahkan mempersalahkan diri sendiri. "Selama ini kita semua salah kaprah, terkecoh," kata Wabup Kamelus Deno (Flores Pos Selasa 1 Maret 2011). Oleee, yang benar saja taaa!

Kita berharap kapolres tidak seperti itu-lah. Tetaplah berpedoman pada produk hukum yang sah dan kuat: SK menhut, permenhut, dan UU. Bukan memedomani produk korespondensi ditjen-SJA. Hutan Nggalak Rego itu hutan lindung dan masih sebagai hutan lindung. Maka, lanjutkan usut tuntas SJA!

“Bentara” FLORES POS, Rabu 9 Maret 2011

Ini Skenario Apa Lagi?

Kontroversi Status Hutan Nggalak Rego

Oleh Frans Anggal

Status hutan Nggalak Rego RTK 103 Soga Torong Besi di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, lahirkan tanda tanya. Dalam dokumen dari pusat, provinsi, hingga kabupaten, jelas sekali hutan itu hutan lindung. Bupati, polisi, jaksa, dan pengadilan pun nyatakan hutan itu hutan lindung. Sekarang, tiba-tiba saja, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan RI, nyatakan itu bukan hutan lindung, tapi hutan produksi terbatas.

“Kita jadi bingng…. Skenario apalagi yang dilakukan pemerintah sekarang ini,” kata Pater Mateus Batubara OFM, Koordinator JPIC OFM Indonesia untuk Flores (Flores Pos Senin 7 Maret 2011).

Tahun 1983: menhut terbitkan SK tentang penunjukan areal hutan di wilayah NTT. Luas hutan 1.667.962 ha. Dalam SK itu, hutan Nggalak Rego dibagi ke dalam dua fungsi: hutan produksi terbatas (Torong Besi) dan hutan lindung. Tahun 1995-1997: dilakukan pemetaan tapal batas berupa penancapan pilar. Kelompok hutan lindung Nggalak Rego RTK 103 dipatok seluas 14.690,30 ha.

Tahun 1999: menhut terbitkan lagi SK tentang penunjukan kawasan hutan di NTT. Luasnya bertambah, dari 1.667.962 ha (1983) menjadi 1.809.990 ha (1999). Dalam SK tersebut, hutan Nggalk Rego (tetap) berfungsi sebagai hutan lindung. Tahun 2007: dalam dokumen penunjukan kawasna hutan di wilayah NTT, hutan Nggalak Rego RTK 103 tetap dinyatakan sebagai hutan lindung, berkode HL.

Tahun 2008: atas dasar dokumen-dokumen ini, bupati Manggarai meminta PT Sumber Jaya Asia (SJA), yang nenambang mangan dalam hutan Nggalak Rego, segera mengurus izin pinjam pakai kawasan dari menhut, seturut amanat UU 41/1999 tentang Kehutanan.

November 2008: SJA ajukan permohonan pinjam pakai kawasan hutan lindung Nggalak Rego ke menhut. Januari 2009: menhut menolak permohonan izin yang diajukan SJA. Februari 2009: menanggapi tembusan penolakan menhut ini, kapolda NTT perintahkan kapolres Manggarai segera lakukan penyelidikan di kawasan hutan lindung itu, dan segera lakukan penyidikan apabila sudah terjadi penambangan. Maret 2009: bupati mencabut izin PT SJA.

Karena izinnya dicabut, SJA menggugat bupati ke PTUN. Hasilnya? Pertama, berturut-turut SJA menang di PTUN Kupang, PT TUN Surabaya (banding), dan MA (peninjauan kembali/PK). Kedua, terbitlah surat dirjen yang menyatakan Nggalak Rego bukan hutan lindung, tapi hutan produksi terbatas.

Ada kejanggalan luar biasa di sini. Pertama, kejanggalan di tingkat pusat. Menhut bilang ini hutan lindung, dirjen (bawahan menhut) bilang ini hutan produksi terbatas. Mana yang benar? Kedua, keanggalan di tingkat pemkab. Terkesan bupati membiarkan putusan PT TUN Surabaya berkekuatan hukum tetap. Tidak ada upaya kasasi ke MA. Hanya ada hanyalah upaya hukum luar biasa berupa PK.

Kejanggalan lain. Menanggapi surat ditjen, pemkab terkesan pasrah sumarah lemah gemulai. Tidak ada counter-statement. Sebaliknya, pemkab menunjukkan sikap mempersalahkan diri sendiri. Wabup Kamelus Deno bilang, ternyata Nggalak Rego bukan hutan lindung, tapi hutan produksi terbatas. Jadi, “Selama ini kita semua salah kaprah ….”

Benarkah kita salah kaprah? Tidak! Kita lebih condong berpendapat seperti Pater Mateus Batubara. Ini bukan salah kaprah. Ini sebuah skenario. Maka, “Kita jadi bingng…. Skenario apa lagi yang dilakukan pemerintah sekarang ini.”

“Bentara” FLORES POS, Selasa 8 Maret 2011

07 Maret 2011

Drainase Kota Ende!

Mendesak Ditata Lebih Baik

Oleh Frans Anggal

Warga Jalan Sam Ratulangi di kota Ende, Alex Joan Sine, menyurati Bupati Ende Don Bosco M Wangge, meminta agar drainase di kawasan permukimannya, Woloweku, yang longsor akibat banjir 22-23 Agustus 2010 segera diperbaiki. Dia juga meminta pemerintah mengganti biaya yang telah ia keluarkan untuk membangun drainase (Flores Pos Jumat 4 Maret 2011).

Surat Alex Joan bertanggal 22 Febaruari 2011. Ini menunjukkan, selama enam bulan sejak longsor drainase, pemkab tidak lakukan tindakan apa pun. Padahal longsoran itu membawa kerugian luar biasa bagi warga. Tanah milik Alex sendiri ikut longsor. Akibatnya, mobil, nakan pohon, beton molen,dan bahan bangunan miliknya terhanyut.

Sesaat setelah bencana, bupati bersama kadis PU meninjau lokasi. Pada saat itu bupati instruksikan kadis PU segera lakukan perbaikan drainase. “Akan tetapi sampai saat ini belum ada penanganan lebih lanjut dari dinas PU,” kata Alex. Akibatnya, kondisi kawasan Woloweku yang memang rawan bencana lonsor kini semakin parah.

Hal itu diakui Camat Ende Timur Damianus Frayalus, yang bersama Kadis PU Yos Mario Lanamana mendapat tembusan surat Alex. Saat ini Jalan Sam Ratulangi di Woloweku terancam putus total. Yang bisa lewat hanya sepeda motor dan kendaraan roda empat. Kendaraan roda enam dilarang.

Bayangkan! Enam bulan sejak longsor dranase, pemkab tidak lakukan apa pun. Pemkab abai dan lalai. Pembiaran itu kini membawa akibat lebih buruk. Sebuah ruas jalan penting dalam kota terancam putus total. Tidak ada dana? Ah, masa iya. Bikin apa saja selama enam bulan sejak longsor terjadi?

Dalam skop lebih luas, kasus ini menunjukkan satu hal. Kota Ende belum punya sistem drainase yang baik. Bupati berganti bupati, kota ini selalu bermasalah pada musim hujan. Longsor sana-sini. Got tersumbat. Air meluap. Jalan raya jadi kolam. Semua yang ‘tersembunyi’ rapi pun berserakan di jalan raya: sampah! Musim hujan adalah musim membongkar dan mempertontonkan semua yang busuk.

Kota Ende membutuhkan sistem drainase yang baik. Yakni, rangkaian bangunan air yang berfungsi mengurangi dan/atau membuang kelebihan air (banjir ) dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan tersebut dapat difungsikan optimal. Sistem drainase adalah rekayasa infrastruktur di suatu kawasan untuk menanggulangi genangan banjir (Suripin: 2004 ).

Melihat fungsinya itu, sistem drainase semestinya dirancang untuk menampung debit aliran yang normal, terutama pada musim hujan. Musim hujanlah tolok ukur baik tidaknya sistem drainase sebuah kota.

Ende itu “kota pasir”. Tanahnya mudah tergerus. Ia juga “kota miring”. Aliran banjirnya deras. Sistem drainase yang baik merupakan keharusan mendesak. Kalau tidak segera ditangani, Ende tetap dan akan semakin jadi “kota compang-camping” akibat longsoran dan “kota sampah” akibat tak ada atau mampatnya drainase.

Letak Kota Ende sangat strategis. Ia tepat di persimpangan jalan negara yang menghubungkan timur dan barat Pulau Flores. Dari segi transportasi darat, Ende berperan sebagai kota penghubung. Dalam statusnya sebagai ibu kota kabupaten, Ende berfungsi ganda, sebagai pusat pemerintahan, pusat pendidikan, dan pusat perdagangan. Singkatnya, Ende adalah pusat pelayanan di bidang sosial, ekonomi, budaya, dan pertahanan keamanan.

Masa iya, semua multi-fungsi ini dibiarkan rusak dan semakin buruk oleh sistem dranase kota yang jauh dari harapan. Juga, jauh dari janji saat kampanye.

“Bentara” FLORES POS, Senin 7 Maret 2011

04 Maret 2011

Nyepi: Bersisa & Merdeka

Indonesia di Tahun Baru Sakka 1933

Oleh Frans Anggal

Sabtu 5 Maret 2011, umat Hindu merayakan Nyepi, Tahun Saka 1933. Ini adalah perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan atau kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Nyepi berasal dari kata “sepi”: sunyi, senyap.

Tidak seperti perayaan Tahun Baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan Catur Brata Penyepian. Yakni, amati geni (tiada berapi, tidak gunakan dan/atau hidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak nikmati hiburan). Serta, bagi yang mampu, laksanakan tapa: berlatih ketahanan menderita; brata: mengekang hawa nafsu; yoga: menghubungkan jiwa dengan Tuhan; semadhi: manunggal dengan Tuhan demi kesucian lahir batin (http://id.wikipedia.org).

Pada hari Nyepi, suasana seperti mati. Tak ada kesibukan seperti biasa. Bandara internasional pun ditutup. Semua jenis pelayanan publik diistirahatkan, kecuali pelayanan rumah sakit. Dengan Catur Brata Penyepian, umat Hindu diharapkan memiliki kesiapan batin menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru.

Perayaan Tahun Baru Hindu layak dijadikan pelajaran bagi umat beragama lain. Umat yang terbiasa dengan perayaan Tahun Baru Masehi yang serba-wah. Tak ada sunyi di sana, yang ada hanya bunyi. Tak ada refleksi di sana, yang ada hanya aksi. Tak ada kontemplasi di sana, yang ada hanya visualisasi. Penuh pesta pora. Suka foya-foya. Gemar mabuk-mabukan. Gila hiburan tak sehat.

Perayaan Tahun Baru Hindu juga layak dijadikan pelajaran bagi warga sebuah republik bernama Indonesia, yang riuh-rendah, semrawut , kacau-balau, penuh amuk, rusuh, bakar, bunuh…. Republik yang kaya aksi dan anarki, tapi miskin refleksi dan kontemplasi. Apakah karena ini, dua kata bahasa negeri ini, “amok” dan “orang utan”, mudah diserap jadi entri kamus bahasa Inggris?

Yang di bawah, begitu. Yang di atas, tidak hanya begitu, bahkan lebih daripada itu. Lihatlah tingkah laku para elite republik ini. Mereka tidak menghayati sunyi, senyap, dan diam. Mereka tidak mengenal dan tidak menghargai nyepi. Mereka tergila-gila pada “kata” dan “bicara”. Mereka---seperti ucap larik puisi Subagio Sastrowardojo---gemar “bersembunyi di belakang kata, dan menenggelamkan diri tanpa sisa”. Lalu, apa?

Apakah hasil pembicaraan?
Pertengkaran mulut atau bual sombong
sekadar membenarkan perbuatan
atau omong kosong mengisi waktu tak menentu.
Ah, baik diam dan merasakan keramahan
pada tangan yang menjabat dan mata merindu.
Dalam keheningan, detik waktu adalah pilu
yang menggores dalam kalbu
(Subagio Sastrowardojo)

Mereka tidak tahu, di luar “kata” dan “bicara” yang merasa berkuasa, masih ada “ruang kosong dan angin pagi”---masih ucap larik puisi Subagio. Ada hal-hal yang belum ditaklukkan oleh kata, tandas Goenawan Mohamad dalam esainya “Kata dan Diam”. Goenawan pun menulis:

Memilih diam dan membiarkan gerak sebelum wacana dikuasai logos, memilih diam dan membiarkan tubuh menyampaikan isyaratnya, memang tak selalu membuat hal jadi jelas. Tapi kita setidaknya lebih bisa tahu, bahwa kita tak harus “menenggelamkan diri tanpa sisa” dengan “bersembunyi di belakang kata”. Kita selalu bersisa. Dengan itu pula, kita bisa merdeka.

Selamat merayakan Nyepi. Selamat menjadi makhluk yang bersisa dan merdeka.

“Bentara” FLORES POS, Jumat 4 Maret 2011

03 Maret 2011

Reaksi Pemkab Manggarai

Tentang "Status Baru" Hutan Nggalak Rego

Oleh Frans Anggal

Dokumen tentang status hutan Nggalak Rego RTK 103 di Soga Torong Besi, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, berbeda satu sama lain.

Dalam surat 16 September 2010, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan RI, menyatakan status hutan Nggalak Rego yang berada dalam wilayah kuasa pertambangan (KP) PT Sumber Jaya Asia (SJA) bukanlah hutan lindung, tetapi hutan produksi terbatas. Surat ditjen ini merupakan jawaban atas surat direktur PT SJA 17 Mei 2011 yang meminta penjelasan tentang status status hutan Nggalak Rego.

Sementara itu, lampiran Keputusan Gubernur NTT No. 64/1999 tentang Penetapan Hasil Paduserasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi NTT mencantumkan Nggalak Rego sebagai hutan lindung. Keputusan ini diperkuat Keputusan Menhut Ro No. 423/Kpts.2/1999.

“Ini keputusan terbaru,” kata Koordinator JPIC SVD Ruteng Pater Simon Suban Tukan SVD. “Kita pegang juga dokumen-dokumen tersebut. Kita tidak mengerti lagi kalau benar ada dokumen lain yang menyatakan status hutan itu bukan hutan lindung. Dokumen yang ada dan terbaru itu belum dicabut. Jadi, status hutan Nggalak Rego RTK 103 adalah hutan lindung” (Flores Pos Rabu 2 Maret 2011).

Reaksi Pater Simon mewakili masyarakat lingkar tambang dan elemen civil society peduli lingkungan hidup. Reaksinya menolak atau minimal mempersoalkan isi surat ditjen. Counter–statement-nya jelas dan tegas: “… status hutan Nggalak Rego RTK 103 adalah hutan lindung.”

Ini berbeda dengan reaksi Wabup Kamelus Deno. Dia bilang, dari surat ditjen dan dokumen yang ada, baru diketahui status sebenarnya dari hutan Nggalak Rego. Ternyata bukan hutan lindung, tapi hutan produksi terbatas. “Selama ini kita semua salah kaprah … terkecoh ….” (Flores Pos Selasa 1 Maret 2011)

Sangat jelas. Bagi Pemkab Manggarai, status hutan Nggalak Rego sudah final. Hutan itu hutan produksi terbatas. Bukan hutan lindung. Implikasinya, kata Wabup Deno, hutan tersebut bisa dimanfaatkan untuk penambangan terbuka. Masyarakat sekitar kawasan hutan pun bisa menebang pohon, asal tanam lagi. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban atas hutan.

Selama ini, yang sungguh menikmati hak atas hutan ini adalah PT SJA. Menambang mangan secara terbuka, sekaligus menghancurkan secara massif. Masyarakat? Tidak hanya ketiadaan hak, mereka juga dihukum. Sejumlah warga Robek masuk penjara karena memotong kayu dalam hutan ini. Sementara SJA yang lakukan penghancur massif koq tidak tersentuh.

Ketidakadilan itu masih berlangsung ketika tiba-tiba muncul kejutan dari ditjen. Hutan itu bukan hutan lindung. Kejutan kedua, reaksi Pemkab Manggarai. Tidak ada counter–statement sebagaimana diperlihatkan Pater Simon. Padahal, pemkab baru saja kalah di PTUN Kupang, PTUN Surabaya, dan MA dalam perkara gugatan SJA terhadap kebijakan bupati mencabut izi penambangan mangan dalam kawasan yang diketahui sebagai hutan lindung.

Ada kesan, pemkab sepertinya lega dengan status baru hutan Nggalak Rego. Sampai-sampai mengaku diri keliru segala: “selama ini kita semua salah kaprah, terkecoh”. Ah, akal sehat kita sulit menganggap pola reaksi seperti ini wajar. Kita sulit untuk tidak bertanya, ini ada apa. Ini sandiwara apa.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 3 Maret 2011

02 Maret 2011

Ada Apa Hutan Nggalak Rego?

"Ternyata" Bukan Hutan Lindung

Oleh Frans Anggal

Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan RI, menyatakan status hutan Nggalak Rego RTK 103 yang berada dalam wilayah kuasa pertambangan PT Sumber Jaya Asia (SJA) di Kabupaten Manggarai bukanlah hutan lindung, tetapi hutan produksi terbatas (Flores Pos Selasa 1 Maret 2011).
.
Penegasan ini tertuang dalam surat ditjen tertanggal 16 September 2010, dan merupakan jawaban Kementerian Kehutanan atas surat direktur PT SJA tertanggal 17 Mei 2011 yang meminta penjelasan tentang status status hutan Nggalak Rego RTK 103.

Surat ditjen ini mengejutkan banyak pihak. Yang terkejut tidak hanya masyarakat lingkar tambang dan elemen civil society peduli lingkungan hdup. Pemkab Manggarai juga terkejut. Selama ini, hutan Nggalak Rego RTK 103 dikenal luas sebagai hutan lindung.

Pengetahuan inilah yang, antara lain, mendasari protes masyarakat lingkar tambang dan elemen civil society. Mereka menilai SJA telah merambah hutan lindung. SJA pun dilaporkan ke polisi. Tiga orang dari SJA ditetapkan menjadi tersangka. Kelanjutan proses hukumnya kemudian tidak jelas lagi. Ketiga tersangka belum pernah disidangkan barang satu kali pun.

Pengetahuan ini pulalah yang mendasari sikap dan tindakan Pemkab Manggarai sejak 2008. Karena tahu kawasan Nggalak Rego yang ditambang SJA itu hutan lindung, bupati meminta SJA mengurus izin pinjam pakai dari Menhut, seturut amanat UU 41/1999 tentang Kehutanan. Karena izin Menhut tidak turun, 25 Desember 2008 bupati melarang SJA beroperasi. Dan pada 12 Maret 2009 bupati mencabut izin PT SJA di Soga dan Bonewangka.

Menanggapi pencabutan izin ini, SJA mengggugat bupati. Hasilnya, secara berturut-turut SJA menang di PTUN Kupang, PTUN Surabaya, dan MA. Mengapa SJA menang dan bupati kalah? Jawabannya tersirat dalam surat ditjen itu. Status hutan Nggalak Rego RTK 103 dalam wilayah kuasa pertambangan mangan SJA bukanlah hutan lindung, tetapi hutan produksi terbatas.

Status inilah yang melemahkan dasar kebijakan bupati mencabut izin SJA. Hutan Nggalak Rego RTK ternyata bukan hutan lindung, tetapi hutan produksi terbatas. Dengan status itu, SJA tidak perlu meminta izin pinjam pakai dari Menhut, sebagaimana didesakkan oleh bupati, dan dijadikan dasar oleh bupati untuk mencabut izin.

Yang mengherankan kita, mengapa pengetahuan umum tentang status hutan Nggalak Rego meleset jauh dari status “resmi” hutan itu. Mengapa bupati, selaku kepala wilayah setempat, bahkan juga tidak tahu status “resmi” hutan tersebut sehingga, seperti masyarakat awam, ia pun terkejut “oh ternyata” Nggalak Rego itu bukan hutan lindung tapi hutan produksi terbatas. Ini ada apa?

Mari kita simak fenomena berikut. Pada 2008, atas pengetahuan bahwa kawasan hutan Nggalak Rego yang ditambang SJA adalah hutan lindung, bupati meminta SJA mengurus izin pinjam pakai dari Menhut. SJA ajukan permohonan izin ke Menhut 24 November 2008. Permohonan SJA ditolak oleh Menhut 27 Januari 2009. Ini bisa menunjukkan apa?

SJA memohon izin dari Menhut tentu karena tahu hutan itu hutan lindung. Menhut menolak pemohonan izin SJA tentu juga karena tahu hutan itu hutan lindung. Eh, “ternyata” hutan itu bukan hutan lindung. Bayangkan, pengetahuan masyarakat umum, bupati, SJA, dan Menhut sama-sama meleset! Koq bisa ya? Ada apa dengan hutan Nggalak Rego?

“Bentara” FLORES POS, Rabu 2 Maret 2011

Sikap Pemkab Manggarai?

Gugatan PT SJA Menang Lagi di MA

Oleh Frans Anggal

Mahkamah Agung (MA) menolak peninjauan kembali (PK) yang dajukan Bupati Manggarai Christian Rotok dalam kasus gugatan PT Sumber Jaya Asia (SJA) mengenai keputusan bupati Manggarai yang mencabut izin/kuasa pertambangan (KP) perusahaan tersebut di hutan Nggalak Rego RTK 103 di Soka Torong Besi, Kecamatan Reok (Flores Pos Senin 28 Februari 2011).

Sebelum bupati ajukan PK, gugatan PT SJA telah dikabulkan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Kupang dan, di tingkat banding, oleh PTUN Surabaya. Bupati diperintahkan mencabut keputusan pencabutan izin usaha PT SJA.

Menurut informasi, penambangan mangan di hutan Nggalak Rego sudah kembali beroperasi, meski eksekusi pencabutan keputusan MA belum dilakukan bupati. “Pemkab akan menyikapi perintah eksekusi tersebut. Tetapi, sebelum itu, kita harus mengadakan rapat muspida dulu,” kata Wabup Kamilus Deno.

Perkara bupati vs PT SJA berawal dari polemik pada 2008 tentang status hutan Nggalak Rego: hutan lindung atau bukan. Pemkab pastikan, Nggalak Rego hutan lindung. Maka bupati minta SJA mengurus izin pinjam pakai dari Menhut. Menhut menolak atau tidak keluarkan izin. Atas dasar itu, 25 Desember 2008 bupati melarang SJA beroperasi. Selanjutnya, 12 Maret 2009 bupati mencabut KP mangan PT SJA di Soga dan Bonewangka.

Pencabutan KP inilah yang digugat SJA. Dan, gugatan SJA dikabulkan. Kenapa SJA menang? Padahal ia tidak megantongi izin pinjam pakai kawasna hutan lindung dari Menhut. Izin Menhut diharuskan oleh UU 41/1999 tentang Kehutanan.

Permohonan izin ke Menhut diajukan SJA 24 November 2008. Permohonanya ditolak Menhut 27 Januari 2009. Menanggapi tembusan penolakan Menhut, kapolda NTT Februari 2009 instruksikan kapolres Manggarai segera lakukan penyelidikan di kawasan hutan lindung dimaksud, dan segera lakukan penyidikan apabila sudah terjadi penambangan.

Penyidikan sedang berjalan, turunlah putusan MA. Peratnyaan kita: apakah penyidikan otomatis harus dihentikan karena adanya putusan MA? Ataukah penyidikan tetap dilanjutkan, karena dasarnya berbeda? Putusan MA itu perihal pencabutan izin KP, sedangkan penyidikan itu perihal perusakan hutan lindung.

Ini perlu diklirkan. Karena itu, pertama, kita mendukung langkah pemkab. Yakni, akan “menyikapi” perintah eksekusi dari MA. Kata “menyikapi” mengandung banyak makna. Bisa berarti “menaati”, bisa juga berarti “menolak”. Bisa berarti “menaati dengan syarat”, bisa juga berarti “menaati tanpa syarat”. Apa pun sikap pemkab atas perintah eksekusi MA, dampak pasti ada. Karena itu, rencana pemkab yang akan menggelar rapat muspida sangatlah tepat.

Kedua, pemkab perlu pengecek kebenaran informasi bahwa penambangan mangan di hutan Nggalak Rego RTK 103 sudah kembali beroperasi. Apakah tindakan SJA itu dapat dibenarkan? Bisakah SJA langsung kembali beraktivitas hanya atas dasar pengetahuan tentang adanya putusan MA, tanpa didahului eksekusi pencabutan keputusan oleh bupati yang merupakan isi perintah putusan MA?

Bagaimana sikap Pemkab Manggarai atas dua persoalan ini? Kita menantinya dengan penuh harap. Sikap yang jelas, tegas, berani, dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Kasus ini mengandung absurditas luar biasa. Kebenaran dan keadilan substansial terkesan begitu mudahnya dikalahkan ‘kebenaran’ dan ‘keadilan’ transaksional. Lebih jauh, ‘nilai’ (value) terkesan begitu gampangnya tergusur oleh ‘harga’ (price).

“Bentara” FLORES POS, Selasa 1 Maret 2011

01 Maret 2011

Kejari Ruteng, Transparanlah!

Kenapa Kasus Berstatus Pulbaket Dirahasiakan?

Oleh Frans Anggal

Kejaksaan Negeri (Kejari ) Ruteng sedang berupaya menyingkap sejumlah kasus dugaan korupsi pada beberapa proyek di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur. Kejari memasuki tahap pulbaket: pengumpulkan bahan dan keterangan (Flores Pos Sabtu 26 Fabruari 2011).

Karena penanganannya masih berupa pulbaket, proyek-proyek terindikasi korupsi itu belum bisa dipubliksikan, kata Kajari Gembong Priyanto. Usai pulbaket, masih akan dilakukan evaluasi untuk mengidentifikasi apakah terjadi korupsi atau tidak. Kalau teridentifikasi korupsi, status penanganan ditingkatkan menjadi penyidikan. Pada tahap ini, barulah kasusnya boleh dipublikasikan.

Ini aturan main kejari. Saat sedang di-pulbaket-kan, kasus tidak boleh dipublikasikan. Rupanya, dalam keadaan tertutup dari pengetahuan dan pantaun publik, pulbaket akan lebih mudah, lebih cepat, lebih murah. Pihak yang jadi sasaran pulbaket pun tidak leluasa luputkan diri. Dalam pulbaket, kerahasiaan menjamin keberhasilan.

Aturan seperti ini menutut sebuah syarat. Jaksa harus punya integritas. Tanpa itu, pulbaket hanya akan menjadi “pulbakul”: kumpul duit penuh bakul. Setelah bakul penuh duit, pulbaket dimentokkan. Kajarinya pindah, datang kajari baru, pulbaket lagi, “pulbakul” lagi, mentok lagi. Kajari datang silih berganti, kasus pun di-sapi-perah-kan silih berganti. Dihentikan tidak, dilanjutkan tidak. Maka tidak heran, di kantor kejaksaan, kasus bisa berulang tahun berkali-kali.

Kisah korupsi di Indonesia adalah juga kisah keterlibatan institusi hukum dan aparaturnya. Kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan advokat yang seharusnya menegakkan hukum, justru menjadi pedagang hukum. Mereka tidak hanya merusak sistem hukum, tapi juga menghancurkan negara.

Banyak faktor yang menyuburkan kejahatan ini. Salah satu yang paling pokok adalah tidak adanya transparansi. Padahal, transparansi itu tiang utama ‘kepemerintahan yang baik’ (good governance). Transparansi tidak hanya mengharuskan “keterbukaan” dari penyelenggara negara, tapi juga “keterlibatan” dari masyarakat.

Dengan dasar ini, kita menolak aturan main Kejari Ruteng. Bahwa, apabila masih pada tahap pulbaket, proyek terindikasi korupsi belum bisa dipublikasikan. Tunggu, sampai pulbaket selesai. Itu pun tunggu lagi, selesai evaluasi, apakah terjadi korupsi atau tidak. Kalau terjadi korupsi, penanganannya ditingkatkan jadi penyidikan. Baru pada tahap penyidikan inilah kasus itu boleh dipublikasikan.

Kenapa harus tunggu selama itu? Kenapa tidak sejak pulbaket? Kenapa transparansi mesti diunda-tunda? Dengan tidak dipublikaiskannya pulbaket kasus maka publik tidak tahu. Karena tidak tahu maka publik tidak bisa berpartisipasi memberikan bahan dan keterangan yang mungkin sangat dibutuhkan kejari pada tahap pulbaket.

Apa yang diabaikan dan dilalaikan di sini? Hak asasi warga! Pasal 19 (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menegaskan warga punya hak dan kebebaan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi. Secara umum, amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28F pun menjamin hak-hak itu.

Kita mendesak Kejari Ruteng memenuhi hak asasi warga. Untuk itu, transparanlah! Merahasiakan kasus berstatus pulbaket patut dapat diduga sebagai cara mempertahankan dan menyuburkan praktik busuk “pulbakul”. Kumpul duit penuh bakul.

“Bentara” FLORES POS, Senin 28 Februari 2011