Indonesia di Tahun Baru Sakka 1933
Oleh Frans Anggal
Sabtu 5 Maret 2011, umat Hindu merayakan Nyepi, Tahun Saka 1933. Ini adalah perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan atau kalender Saka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Nyepi berasal dari kata “sepi”: sunyi, senyap.
Tidak seperti perayaan Tahun Baru Masehi, Tahun Baru Saka di Bali dimulai dengan Catur Brata Penyepian. Yakni, amati geni (tiada berapi, tidak gunakan dan/atau hidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak nikmati hiburan). Serta, bagi yang mampu, laksanakan tapa: berlatih ketahanan menderita; brata: mengekang hawa nafsu; yoga: menghubungkan jiwa dengan Tuhan; semadhi: manunggal dengan Tuhan demi kesucian lahir batin (http://id.wikipedia.org).
Pada hari Nyepi, suasana seperti mati. Tak ada kesibukan seperti biasa. Bandara internasional pun ditutup. Semua jenis pelayanan publik diistirahatkan, kecuali pelayanan rumah sakit. Dengan Catur Brata Penyepian, umat Hindu diharapkan memiliki kesiapan batin menghadapi setiap tantangan kehidupan di tahun yang baru.
Perayaan Tahun Baru Hindu layak dijadikan pelajaran bagi umat beragama lain. Umat yang terbiasa dengan perayaan Tahun Baru Masehi yang serba-wah. Tak ada sunyi di sana, yang ada hanya bunyi. Tak ada refleksi di sana, yang ada hanya aksi. Tak ada kontemplasi di sana, yang ada hanya visualisasi. Penuh pesta pora. Suka foya-foya. Gemar mabuk-mabukan. Gila hiburan tak sehat.
Perayaan Tahun Baru Hindu juga layak dijadikan pelajaran bagi warga sebuah republik bernama Indonesia, yang riuh-rendah, semrawut , kacau-balau, penuh amuk, rusuh, bakar, bunuh…. Republik yang kaya aksi dan anarki, tapi miskin refleksi dan kontemplasi. Apakah karena ini, dua kata bahasa negeri ini, “amok” dan “orang utan”, mudah diserap jadi entri kamus bahasa Inggris?
Yang di bawah, begitu. Yang di atas, tidak hanya begitu, bahkan lebih daripada itu. Lihatlah tingkah laku para elite republik ini. Mereka tidak menghayati sunyi, senyap, dan diam. Mereka tidak mengenal dan tidak menghargai nyepi. Mereka tergila-gila pada “kata” dan “bicara”. Mereka---seperti ucap larik puisi Subagio Sastrowardojo---gemar “bersembunyi di belakang kata, dan menenggelamkan diri tanpa sisa”. Lalu, apa?
Apakah hasil pembicaraan?
Pertengkaran mulut atau bual sombong
sekadar membenarkan perbuatan
atau omong kosong mengisi waktu tak menentu.
Ah, baik diam dan merasakan keramahan
pada tangan yang menjabat dan mata merindu.
Dalam keheningan, detik waktu adalah pilu
yang menggores dalam kalbu
(Subagio Sastrowardojo)
Mereka tidak tahu, di luar “kata” dan “bicara” yang merasa berkuasa, masih ada “ruang kosong dan angin pagi”---masih ucap larik puisi Subagio. Ada hal-hal yang belum ditaklukkan oleh kata, tandas Goenawan Mohamad dalam esainya “Kata dan Diam”. Goenawan pun menulis:
Memilih diam dan membiarkan gerak sebelum wacana dikuasai logos, memilih diam dan membiarkan tubuh menyampaikan isyaratnya, memang tak selalu membuat hal jadi jelas. Tapi kita setidaknya lebih bisa tahu, bahwa kita tak harus “menenggelamkan diri tanpa sisa” dengan “bersembunyi di belakang kata”. Kita selalu bersisa. Dengan itu pula, kita bisa merdeka.
Selamat merayakan Nyepi. Selamat menjadi makhluk yang bersisa dan merdeka.
“Bentara” FLORES POS, Jumat 4 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar