Kasus Pencemaran Nama Baik di DPRD Sikka
Oleh Frans Anggal
Wakil Ketua DPRD Sikka Felix Wadon, Ketua Badan Kehormatan (BK) DPRD Boy, Wakil Ketua BK Paulus Nong Susar, dan anggota BK Ruamat Pelang dimintai keterangan oleh polisi pada Selasa 22 Mare 2011. Bersama Ketua DPRD Rafael Raga, mereka adalah pelapor dalam kasus dugaan pencemaran nama baik dan perbuatan tak menyenangkan oleh sesama anggota dewan Siflan Angi (Flores Pos Rabu 23 Maret 2011).
Siflan Angi soroti perjalanan dinas kelima pelapor ke MA dalam rangka konsultasi kasus hukum Wakil Ketua DPRD Alex Longginus. Anggarannya Rp70 juta. Dalam pernyataan persnya, Siflan menilai, perjalanan dinas ini bentuk korupsi. Sebab, peruntukan dananya tidak jelas, tidak efektif, dan tidak efisien.
Menyusul pernyataan Siflan Angi, Ketua Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) NTT Meridian Dewanto melaporkan Ketua DPRD Rafael Raga ke Kejari Maumere. Rafael Raga diduga telah menyalahgunakan dana perjalanan dinas tersebut (Flores Pos Selasa 15 Maret 2011).
Seakan "berbalas pantun", Rafael Raga dkk melaporkan Siflan Angi ke polisi. Dan polisi tidak tunggu-tunggu, langsung memprosesnya. Ini yang membuat kita terheran-heran.
Pernyataan pers Siflan Angi dan laporan Meridian Dewanto ke jaksa lebih dulu daripada laporan Rafael Raga dkk ke polisi. Kenapa polisi tidak menangguhkan proses hukum laporan Rafael Raga dkk sambil menunggu penyelesaian proses hukum laporan Meridian Dewanto sebagai tindak lanjut pernyataan pers Siflan Angi?
UU 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, pasal 6, menyatakan: saksi, korban, dan pelapor tidak dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata atas laporan serta kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Ini dalil yang semestinya digunakan polisi.
Terkesan, Polres Sikka tidak mendalilkan tindakannya pada UU itu. Seakan-akan, yang berlaku adalah hukum rimba I. 'Yang paling kuatlah yang menang' (survival of the fittest). Rafael Raga dkk orang besar. Mereka lebih kuat ketimbang Siflan Angi. Proses hukum pun menjadi proses ukur kuat.
Seakan-akan pula, yang sedang berlaku adalah hukum rimba II. 'Yang paling cepatlah yang menang' (survival of the fastest). Rafel Raga dkk itu paling cepat melapor ke polisi. Sedangkan Meridian Dewanto paling cepat melapor ke jaksa. Dan Siflan Angi paling cepat melapor ke publik, lewat pernyataan pers. Nah, yang paling cepat ke polisi itulah yang didahulukan polisi, meski sudah duluan ada laporan ke jaksa. Jaksa urus jaksa punya, polisi urus polisi punya. Tinggal sekarang, siapa lebih cepat. Proses hukum pun menjadi proses ukur cepat.
Sungguh mengerikan anutan hukum seperti ini. Prinsip paling hakiki yang membedakan hukum positif dari hukum rimba telah diinjak habis. Anutan hukum positif yang benar bukanlah survival of the fittest dan survival of the fastest, tapi survival of the truest: 'yang paling benarlah yang menang'. Itu tidak terjadi di Sikka. Tidak dianut oleh polisi, yang notabene adalah penegak hukum positif.
Pernyataan Siflan Angi itu demi kepentingan umum (public concern). Ini tidak termasuk pencemaran nama baik menurut KUHP, pasal 310, ayat (3). Pernyataannya pun belum terbukti salah. Karena belum diputuskan dalam pengadilan. Semestinya polisi tunggu itu. Karenanya, proses hukum laporan Rafael Raga dkk seharusnya ditolak, minimal ditangguhkan. Ini tidak. Ada apa ya?
“Bentara” FLORES POS, Kamis 24 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar