Demo Rusuh GPK di Kantor KPU
Oleh Frans Anggal
ksi demo Generasi Peduli Kasih (GPK) di kantor KPU Lembata, Kamis 17 Maret 2011, berakhir rusuh. Massa menyerang dan melempari kantor dengan batu. Polisi turut jadi sasaran. Kapolres Marthen Johannis yang berusaha menyelamatkan anak buahnya terkena lemparan batu di bagian wajah, di bawah bola mata kanan. Beberapa orang yang diduga sebagai provokatur langsung diciduk untuk jalani pemeriksaan (Flores Pos Senin 21 Maret 2011).
Dalam orasinya, pendemo menggugat hasil pemeriksaan kesehatan bakal calon bupati Lukas Witak Lipataman oleh tim dokter RSUD Prof. Dr. W. Z. Johan¬nis Kupang. Lukas divonis tidak mampu menjalankan tugas sebagai kepala daerah. Pendemo menilai vonis ini hasil konspirasi KPU dengan RSUD untuk gugurkan paket tertentu dan loloskan paket lain.
Tuntuan mereka: KPUD Lembata harus menghentikan pemilukada. Kalau tidak? “Ratakan KPUD! Hancurkan KPUD!” Bahkan ada yang rela masuk penjara asalkan nyawa Ketua KPUD Wilhelmus melayang. “Bapak Kapolres, saya penanggung jawab demo!” kata Masudin Yamin. “KPUD Lembata harus hentikan semua proses dan tahapan pemilukada Lembata. Kalau tidak, Lembata jadi abu dan saya bertanggung jawab!” Maka… kerusuhan pun pecah.
Masudin Yamin adalah ketua tim sukses paket Kasih, akronim dari nama Lukas Lipataman Witak dan Muhidin Ishak, pasangan calon perseorangan. Masudin Yamin juga mantan anggota DPRD Lembata dari Partai Golkar (2004-2009). Sebagai ketua tim sukses, ia sangat kecewa. Meski pengumuman penetapan calon bupati dan wakil bupati 2011-2016 baru berlangsung 23 Maret 2011, sudah dipastikan paket Kasih bakal kandas karena vonis kesehatan.
Kita maklumi lahirnya kekecewaan itu. Namun, kita tidak bisa membenarkan segala bentuk ekspresi kekewaan atau amarah yang bersifat mengancam. Apalagi yang akhirnya menyulut aksi anarkis. Sulit dimengerti pula, ekspresi anti-hukum seperti ini bisa keluar dari diri seorang mantan legislatif, yang salah satu fungsinya justru membuat leges (hukum dan peraturan perundang-undangan).
Tidak hanya itu. Demo Generasi Peduli Kasih pimpinan Masudin Yamin pun tidak mencerminkan makna “kasih” itu sendiri. Peduli kasih koq menjadi peduli benci, peduli amuk, peduli rusuh, peduli anarki. Atas cara yang telah diperlihatkan, demo Generasi Peduli Kasih sesungguhnya demo Generasi Apatis Kasih.
Demo mereka analog dengan aksi bonek (bondo nekat) dalam dunia sepakbola. Para bonek itu fanatik mendukung kesebelasan kesayangan. Mereka kenakan seragam kesebelasan kesayangan, berpawai unjuk kekuatan. Mereka naik kendaraan umum tanpa bayar, masuk stadion tanpa karcis. Saat pertandingan, semua mereka jadi wasit. Bahkan mewasiti wasit.
Bonek selalu ngotot timnya harus menang. Kalau timnya kalah, maka wasit dicap curang, lawan dinilai main sogok, alias ada konspirasi. Kalau sudah begini, apa saja yang ada di tangan dilemparkan ke lapangan. Kalau memungkinkan, mereka menyerbu dan menghajar wasit dan pemain lawan. Kalau belum juga puas, mereka keluar dan merusak apa saja yang dijumpai. Kendaraan yang lewat, kereta api yang akan membawa mereka pulang, berikut stasiunnya, dirusak.
Itulah aksi bonek. Bagaimana dengan aksi GPK di Lembata? Analog! Coba, “KPUD Lembata” dalam ucapan Masudin Yamin itu kita ganti dengan “wasit”, dan “pemilukada Lembata” kita ganti dengan “pertandingan”, maka akan terasa bonek banget.
“Wasit harus hentikan semua proses dan tahapan pertandingan! Kalau tidak, Lembata jadi abu!” Ini ucapan khas bonek. Bonek pemilukada Lembata.
“Bentara” FLORES POS, Selasa 22 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar