Kenapa Kasus Berstatus Pulbaket Dirahasiakan?
Oleh Frans Anggal
Kejaksaan Negeri (Kejari ) Ruteng sedang berupaya menyingkap sejumlah kasus dugaan korupsi pada beberapa proyek di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Timur. Kejari memasuki tahap pulbaket: pengumpulkan bahan dan keterangan (Flores Pos Sabtu 26 Fabruari 2011).
Karena penanganannya masih berupa pulbaket, proyek-proyek terindikasi korupsi itu belum bisa dipubliksikan, kata Kajari Gembong Priyanto. Usai pulbaket, masih akan dilakukan evaluasi untuk mengidentifikasi apakah terjadi korupsi atau tidak. Kalau teridentifikasi korupsi, status penanganan ditingkatkan menjadi penyidikan. Pada tahap ini, barulah kasusnya boleh dipublikasikan.
Ini aturan main kejari. Saat sedang di-pulbaket-kan, kasus tidak boleh dipublikasikan. Rupanya, dalam keadaan tertutup dari pengetahuan dan pantaun publik, pulbaket akan lebih mudah, lebih cepat, lebih murah. Pihak yang jadi sasaran pulbaket pun tidak leluasa luputkan diri. Dalam pulbaket, kerahasiaan menjamin keberhasilan.
Aturan seperti ini menutut sebuah syarat. Jaksa harus punya integritas. Tanpa itu, pulbaket hanya akan menjadi “pulbakul”: kumpul duit penuh bakul. Setelah bakul penuh duit, pulbaket dimentokkan. Kajarinya pindah, datang kajari baru, pulbaket lagi, “pulbakul” lagi, mentok lagi. Kajari datang silih berganti, kasus pun di-sapi-perah-kan silih berganti. Dihentikan tidak, dilanjutkan tidak. Maka tidak heran, di kantor kejaksaan, kasus bisa berulang tahun berkali-kali.
Kisah korupsi di Indonesia adalah juga kisah keterlibatan institusi hukum dan aparaturnya. Kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan advokat yang seharusnya menegakkan hukum, justru menjadi pedagang hukum. Mereka tidak hanya merusak sistem hukum, tapi juga menghancurkan negara.
Banyak faktor yang menyuburkan kejahatan ini. Salah satu yang paling pokok adalah tidak adanya transparansi. Padahal, transparansi itu tiang utama ‘kepemerintahan yang baik’ (good governance). Transparansi tidak hanya mengharuskan “keterbukaan” dari penyelenggara negara, tapi juga “keterlibatan” dari masyarakat.
Dengan dasar ini, kita menolak aturan main Kejari Ruteng. Bahwa, apabila masih pada tahap pulbaket, proyek terindikasi korupsi belum bisa dipublikasikan. Tunggu, sampai pulbaket selesai. Itu pun tunggu lagi, selesai evaluasi, apakah terjadi korupsi atau tidak. Kalau terjadi korupsi, penanganannya ditingkatkan jadi penyidikan. Baru pada tahap penyidikan inilah kasus itu boleh dipublikasikan.
Kenapa harus tunggu selama itu? Kenapa tidak sejak pulbaket? Kenapa transparansi mesti diunda-tunda? Dengan tidak dipublikaiskannya pulbaket kasus maka publik tidak tahu. Karena tidak tahu maka publik tidak bisa berpartisipasi memberikan bahan dan keterangan yang mungkin sangat dibutuhkan kejari pada tahap pulbaket.
Apa yang diabaikan dan dilalaikan di sini? Hak asasi warga! Pasal 19 (2) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik menegaskan warga punya hak dan kebebaan untuk mencari, menerima, dan memberikan informasi. Secara umum, amandemen kedua UUD 1945 Pasal 28F pun menjamin hak-hak itu.
Kita mendesak Kejari Ruteng memenuhi hak asasi warga. Untuk itu, transparanlah! Merahasiakan kasus berstatus pulbaket patut dapat diduga sebagai cara mempertahankan dan menyuburkan praktik busuk “pulbakul”. Kumpul duit penuh bakul.
“Bentara” FLORES POS, Senin 28 Februari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar