03 Maret 2011

Reaksi Pemkab Manggarai

Tentang "Status Baru" Hutan Nggalak Rego

Oleh Frans Anggal

Dokumen tentang status hutan Nggalak Rego RTK 103 di Soga Torong Besi, Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, berbeda satu sama lain.

Dalam surat 16 September 2010, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan RI, menyatakan status hutan Nggalak Rego yang berada dalam wilayah kuasa pertambangan (KP) PT Sumber Jaya Asia (SJA) bukanlah hutan lindung, tetapi hutan produksi terbatas. Surat ditjen ini merupakan jawaban atas surat direktur PT SJA 17 Mei 2011 yang meminta penjelasan tentang status status hutan Nggalak Rego.

Sementara itu, lampiran Keputusan Gubernur NTT No. 64/1999 tentang Penetapan Hasil Paduserasi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi NTT mencantumkan Nggalak Rego sebagai hutan lindung. Keputusan ini diperkuat Keputusan Menhut Ro No. 423/Kpts.2/1999.

“Ini keputusan terbaru,” kata Koordinator JPIC SVD Ruteng Pater Simon Suban Tukan SVD. “Kita pegang juga dokumen-dokumen tersebut. Kita tidak mengerti lagi kalau benar ada dokumen lain yang menyatakan status hutan itu bukan hutan lindung. Dokumen yang ada dan terbaru itu belum dicabut. Jadi, status hutan Nggalak Rego RTK 103 adalah hutan lindung” (Flores Pos Rabu 2 Maret 2011).

Reaksi Pater Simon mewakili masyarakat lingkar tambang dan elemen civil society peduli lingkungan hidup. Reaksinya menolak atau minimal mempersoalkan isi surat ditjen. Counter–statement-nya jelas dan tegas: “… status hutan Nggalak Rego RTK 103 adalah hutan lindung.”

Ini berbeda dengan reaksi Wabup Kamelus Deno. Dia bilang, dari surat ditjen dan dokumen yang ada, baru diketahui status sebenarnya dari hutan Nggalak Rego. Ternyata bukan hutan lindung, tapi hutan produksi terbatas. “Selama ini kita semua salah kaprah … terkecoh ….” (Flores Pos Selasa 1 Maret 2011)

Sangat jelas. Bagi Pemkab Manggarai, status hutan Nggalak Rego sudah final. Hutan itu hutan produksi terbatas. Bukan hutan lindung. Implikasinya, kata Wabup Deno, hutan tersebut bisa dimanfaatkan untuk penambangan terbuka. Masyarakat sekitar kawasan hutan pun bisa menebang pohon, asal tanam lagi. Masyarakat memiliki hak dan kewajiban atas hutan.

Selama ini, yang sungguh menikmati hak atas hutan ini adalah PT SJA. Menambang mangan secara terbuka, sekaligus menghancurkan secara massif. Masyarakat? Tidak hanya ketiadaan hak, mereka juga dihukum. Sejumlah warga Robek masuk penjara karena memotong kayu dalam hutan ini. Sementara SJA yang lakukan penghancur massif koq tidak tersentuh.

Ketidakadilan itu masih berlangsung ketika tiba-tiba muncul kejutan dari ditjen. Hutan itu bukan hutan lindung. Kejutan kedua, reaksi Pemkab Manggarai. Tidak ada counter–statement sebagaimana diperlihatkan Pater Simon. Padahal, pemkab baru saja kalah di PTUN Kupang, PTUN Surabaya, dan MA dalam perkara gugatan SJA terhadap kebijakan bupati mencabut izi penambangan mangan dalam kawasan yang diketahui sebagai hutan lindung.

Ada kesan, pemkab sepertinya lega dengan status baru hutan Nggalak Rego. Sampai-sampai mengaku diri keliru segala: “selama ini kita semua salah kaprah, terkecoh”. Ah, akal sehat kita sulit menganggap pola reaksi seperti ini wajar. Kita sulit untuk tidak bertanya, ini ada apa. Ini sandiwara apa.

“Bentara” FLORES POS, Kamis 3 Maret 2011

Tidak ada komentar: