Kasus "Perdagangan Manusia Flores"
Oleh Frans Anggal
Tiga anak perempuan di bawah umur (15-16 tahun) asal Riung, Kabupaten Ngada, diamankan aparat Polsek Nita, Kabupaten Sikka, ketika masih berada di penampungan di Takaplager, Kecamatan Nita, Rabu 23 Maret 2011. Mereka direkrut Anton Paru dan hendak diberangkatkan ke Jakarta untuk menjadi pembantu rumah tangga. Anton Paru sudah ditangkap (Flores Pos Kamis 24 Maret 2011).
Kata Anton Paru, ia merekrut atas permintaan Jelius, karyawan PT Mutiara Jakarta, sebuah PJTKI. “Ini kedua kalinya saya kirim tenaga kerja. Sebelumnya, saya kirim tiga orang …. Saya mau tobat dan tidak mau melakukan hal yang sama lagi.”
Ini kasus ketiga sejak Januari 2011. Kasus “perdagangan manusia Flores”. Sebelumnya, Senin 10 Januari 2011, sebanyak 72 tenaga kerja Indonesia (TKI) ilegal asal Kabupaten Sikka yang diberangkatkan sebuah PJTKI tujuan Kalimantan diamankan Polsek Pakal, Kota Surabaya. Sebanyak 22 dari antaranya perempuan dan anak-anak. Mereka tidak miliki dokumen lengkap. Diduga, mereka korban human trafficking ‘perdagangan manusia’ (Flores Pos Senin 24 Januari 2011).
Kamis 20 Januari 2011, pengiriman 3 tenaga kerja wanita (TKW) asal Kabupaten Ende menuju Malaysia digagalkan aparat Polres Ende. Ketiga TKW hendak diberangkatkan oleh Muhammad Heider (35) dengan KM Awu tujuan Surabaya. TKW ini tidak dilengkapi dokumen sah. PJTKI tidak memenuhi persyaratan perekrutan (Flores Pos Sabtu 22 Januari 2011).
Terdapat beberapa poin penting dari ketiga kasus tersebut. Pertama, dokumen tidak lengkap. Kalaupun ‘lengkap’, bisa saja palsu. Ini salah satu indikasi tindak kejahatan. Kalau tujuannya baik, caranya juga harus baik. Kalau caranya buruk, apakah kita harus dipaksa percaya bahwa cara buruk itu punya tujuan baik?
Kedua, perekrutan melibatkan kelompok rentan perempuan dan anak-anak sebai korban. Lelaki Flores merantau, itu biasa. Tapi mulai banyak perempuan dan anak di bawah umur ikut “merantau”, itu fenomen baru. Mereka “dirayu” sesama orang Flores, kaki tangan sindikat. Mereka mudah diperdaya, untuk kemudian tak berdaya saat sudah terperangkap.
Ketiga, orang Flores penjual sesama Flores umumnya menyebut diri petugas atau suruhan PJTKI di Jawa, yang jauh dari Flores. Apakah benar PJTKI itu ada, apakah benar mereka perpanjangan tangan PJTKI, apakah benar tujuan perekrutannya seperti yang disampaikan, apakah benar gaji yang bakal diterima seperti yang digombalkan, semuanya sulit dibuktikan. Semuanya serba “katanya”. Pada banyak kasus di daerah lain, wanita dan anak-anak menjadi korban. Katanya bekerja di Jakarta, ternyata dijual ke luar negeri. Gagal dijual ke luar negeri, mereka dijual ke tempat prostitusi.
Keempat, pencengahan perdagangan manusia Flores hanya terjadi pada momen sebelum atau pada saat pemberangatan. Sebelum pemberangkatan, pencegahan dilakukan di tempat penampungan (kasus di Maumere). Saat pemberangkatan, pencegahan dilakukan di pelabuhan (kasus di Ende). Di luar kedua momen dan tempat itu, tidak ada tindak pencegahan.
Inilah yang membuat para kaki tangan sindikat bebas keluar masuk kampung. Bebas menipu sana sini. Karena yang datang merayu itu sesama Flores, masyarakat di kampung mudah percaya. Mereka tidak punya informasi yang cukup untuk bisa bersikap kritis.
Dengan demikian, de facto, pencegahan hanya menjadi tanggung jawab dan kesibukan polisi. Menyedihkan! Di mana kadis nakertrans? Di mana camat? Di mana kades dan lurah? Di mana ketua RT? Di mana pastor paroki? Di manakah semua mereka?
“Bentara” FLORES POS, Sabtu 26 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar