Kontroversi Status Hutan Nggalak Rego
Oleh Frans Anggal
Status hutan Nggalak Rego RTK 103 Soga Torong Besi di Kecamatan Reok, Kabupaten Manggarai, lahirkan tanda tanya. Dalam dokumen dari pusat, provinsi, hingga kabupaten, jelas sekali hutan itu hutan lindung. Bupati, polisi, jaksa, dan pengadilan pun nyatakan hutan itu hutan lindung. Sekarang, tiba-tiba saja, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan RI, nyatakan itu bukan hutan lindung, tapi hutan produksi terbatas.
“Kita jadi bingng…. Skenario apalagi yang dilakukan pemerintah sekarang ini,” kata Pater Mateus Batubara OFM, Koordinator JPIC OFM Indonesia untuk Flores (Flores Pos Senin 7 Maret 2011).
Tahun 1983: menhut terbitkan SK tentang penunjukan areal hutan di wilayah NTT. Luas hutan 1.667.962 ha. Dalam SK itu, hutan Nggalak Rego dibagi ke dalam dua fungsi: hutan produksi terbatas (Torong Besi) dan hutan lindung. Tahun 1995-1997: dilakukan pemetaan tapal batas berupa penancapan pilar. Kelompok hutan lindung Nggalak Rego RTK 103 dipatok seluas 14.690,30 ha.
Tahun 1999: menhut terbitkan lagi SK tentang penunjukan kawasan hutan di NTT. Luasnya bertambah, dari 1.667.962 ha (1983) menjadi 1.809.990 ha (1999). Dalam SK tersebut, hutan Nggalk Rego (tetap) berfungsi sebagai hutan lindung. Tahun 2007: dalam dokumen penunjukan kawasna hutan di wilayah NTT, hutan Nggalak Rego RTK 103 tetap dinyatakan sebagai hutan lindung, berkode HL.
Tahun 2008: atas dasar dokumen-dokumen ini, bupati Manggarai meminta PT Sumber Jaya Asia (SJA), yang nenambang mangan dalam hutan Nggalak Rego, segera mengurus izin pinjam pakai kawasan dari menhut, seturut amanat UU 41/1999 tentang Kehutanan.
November 2008: SJA ajukan permohonan pinjam pakai kawasan hutan lindung Nggalak Rego ke menhut. Januari 2009: menhut menolak permohonan izin yang diajukan SJA. Februari 2009: menanggapi tembusan penolakan menhut ini, kapolda NTT perintahkan kapolres Manggarai segera lakukan penyelidikan di kawasan hutan lindung itu, dan segera lakukan penyidikan apabila sudah terjadi penambangan. Maret 2009: bupati mencabut izin PT SJA.
Karena izinnya dicabut, SJA menggugat bupati ke PTUN. Hasilnya? Pertama, berturut-turut SJA menang di PTUN Kupang, PT TUN Surabaya (banding), dan MA (peninjauan kembali/PK). Kedua, terbitlah surat dirjen yang menyatakan Nggalak Rego bukan hutan lindung, tapi hutan produksi terbatas.
Ada kejanggalan luar biasa di sini. Pertama, kejanggalan di tingkat pusat. Menhut bilang ini hutan lindung, dirjen (bawahan menhut) bilang ini hutan produksi terbatas. Mana yang benar? Kedua, keanggalan di tingkat pemkab. Terkesan bupati membiarkan putusan PT TUN Surabaya berkekuatan hukum tetap. Tidak ada upaya kasasi ke MA. Hanya ada hanyalah upaya hukum luar biasa berupa PK.
Kejanggalan lain. Menanggapi surat ditjen, pemkab terkesan pasrah sumarah lemah gemulai. Tidak ada counter-statement. Sebaliknya, pemkab menunjukkan sikap mempersalahkan diri sendiri. Wabup Kamelus Deno bilang, ternyata Nggalak Rego bukan hutan lindung, tapi hutan produksi terbatas. Jadi, “Selama ini kita semua salah kaprah ….”
Benarkah kita salah kaprah? Tidak! Kita lebih condong berpendapat seperti Pater Mateus Batubara. Ini bukan salah kaprah. Ini sebuah skenario. Maka, “Kita jadi bingng…. Skenario apa lagi yang dilakukan pemerintah sekarang ini.”
“Bentara” FLORES POS, Selasa 8 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar