15 Maret 2011

“Politik Pisang” di Ende

Cara Kreatif Warga Ekspresikan Kekecewaan

Oleh Frans Anggal

Di kota Ende, Kabupaten Ende, warga menanam pohon pisang di tengah ruas jalan yang menghubungan kota dengan Pelabuhan Ipi. Pohon setinggi 3 meter itu menyembul di tengah “kolam” di badan jalan. Di tepi “kolam” tertancap sebuah papan peringatan: “Pejabat buka mata/hatimu” (Flores Pos Senin 14 Maret 2011).

Ruas jalan itu sudah lama berlubang. Tepat pada lubang itulah pohon pisang ditanam. Badan jalan berlubang karena “termakan” air yang menggenang akibat tidak adanya drainase. Sudah banyak pengendara sepeda motor yang terjerembab di sini.

Rencana pembuatan drainase, ada, tapi tidak dilasanakan. Pernah dilaksanakan, tapi tidak dilanjutkan. “Sudah dua kali gali got tapi tidak dibangun lebih lanjut. Ini yang buat kami kecewa,” kata Yanto Ibrahim, warga setempat.

Warga kecewa. Itulah poinnya. Penanaman pisang di “kolam” jalan itu ekspresi kekecewaan mereka. Setelah keluhan tidak didengarkan, dan setelah yakin pemerintah menutup mata dan hati, mereka memilih jalannya sendiri. “Kolam” nganggur itu mereka tanami pisang. Suatu saat mungkin dengan kangkung, sekalian dengan lele sebagai minanya.

Tindakan mereka bukan tindakan ekonomis. Mereka menanam pisang tidak untuk dipetik buahnya. Demikian pula seandainya mereka menanam kangkung dan melepas lele, tidak untuk dipanen hasilnya. Lalu, untuk apa? Untuk dilihat oleh pemerintah! Agar pemerintah buka mata dan hati. Jadi, tindakan mereka adalah tindakan politis.

Sebagai tindakan politis, cara mereka ini kreatif. Pertama, tidak destruktif. Kedua, efektif menyedot perhatian. Pada tahap awal, ini merengkuh perhatian pers. Flores Pos menempatkannya di halaman depan, dengan judul “Masyarakat Tanam Pisang di Tengah Jalan”. Fotonya jadi foto master. Kalau sudah begini, tidak mungkin bupati-wabup tinggal diam. Kedua pejabat ini pasti segera bertindak.

Dalam catatan Flores Pos, ini kasus kedua berkenaan dengan sistem darinase kota Ende. Pekan sebelumnya, warga Jalan Sam Ratulangi, Alex Joan Sine, menyurati bupati, meminta agar drainase di kawasan permukimannya, Woloweku, yang longsor akibat banjir 22-23 Agustus 2010 segera diperbaiki. Dia juga meminta pemerintah mengganti biaya yang telah ia keluarkan untuk membangun drainase (Flores Pos Jumat 4 Maret 2011).

Merujuk “Bentara” Flores Pos Senin 7 Maret 2011, kita mengidentifikasi persoalan yang sama pada kedua kasus ini. Yakni bahwa kota Ende belum memiliki sistem drainase yang baik. Kota bekas pembuangan Bung Karno dan bekas ibu kota Daerah Flores ini selalu bermasalah pada musim hujan. Longsor sana-sini. Got tersumbat. Air meluap. Jalan raya jadi “kolam”. Sampah berserakan.

Kita mendesak Bupati Don Bosco M Wangge dan Wabup Achmad Mochdar segera selesaikan masalah “klasik’ ini. Jangan menganggap daya tahan masyarakat amat kuat menghadapi semuanya ini. Bahaya selalu ada. Dari kecewa, rakyat bisa frutrasi. Dan frustrasi rakyat bisa bermuara pada politik destruktif. Pada titik paling ekstrem, mereka akan mencari pemimpinnya sendiri. Dan itu pasti, namun setelah destruksi terjadi.

Oleh karena itu, tindakan politis warga menanam pisang semestinya segera membuka mata dan hati. Yang dilakukan warga barulah “politik pisang”. Jangan menunggu “politik pisang” berubah menjadi “politik pusing”. Jangan menunggu tindakan politis kreatif berubah menjadi tindakan politis destruktif.

“Bentara” FLORES POS, Selasa 15 Maret 2011

1 komentar:

ooyi mengatakan...

Selamat Malam,Kae

Salam kenal dr saya. Tulisan2 Anda sangat bermutu dan banyak mengangkat sisi kehidupan masyarakat Ende keseharian.

Semoga terus berkarya dan sukses menyertai Kae.

Hormat
ttd
BangOoyi