Mengenang Jasa Seorang Pemusik
Oleh Frans Anggal
Penyanyi legendaris Manggarai, Makarius Arus, tutup usia Selasa 26 Maret 2011 di kampungnya, Maras, Desa Belang Turi, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai. Ia meninggal pada usia 70 tahun, setelah cukup lama menderita sakit. Ia meninggalkan seorang istri dan tiga anak yang sudah besar. Almarhum dikuburkan pada Rabu 27 Maret (Flores Pos Sabtu 2 April 2011)
"Kita kehilangan seorang maestro musik Manggarai," kata Kristo Mboi, keluarga almarhum. Menurut anggota DPRD Manggarai ini, Makarius perlu diberi penghargaan. Makarius telah harumkan nama Manggarai lewat lagu-lagunya.
Kalau Makarius diberi penghargaan, tentu alasannya tidak hanya karena ia telah harumkan Manggarai. Ia juga telah mendidik Manggarai! Lagu-lagunya bersaksi tentang nilai-nilai. Tentang yang indah (pulchrum), suci (sacrum), utuh (unum), benar (verum), baik (bonum), cerah (clarum), jujur (honestum), manusiawi (humanum), adil (iustum), dina (parvum).
Pada lagu "Thomas e", jerit dukalara seorang istri begitu terasa. Suaminya, Thomas, hilang tersapu banjir ketika sedang mencari nafkah. Sang istri yakin suaminya meninggal, namun ia tetap berharap kekasih hatinya itu akan kembali. "Ide de toe tara cai rona ge." Sebuah pengalaman eksistensial keterhilangan yang membawa seseorang pada ilusi penantian sia-sia.
Pada lagu "Congka Sae", generasi muda Manggarai diingatkan agar tetap bangga dan menghargai budaya sendiri. "Neka nanang dansa, dansa congka data." Empunya sendiri lebih bagus daripada empunya orang lain. Maka, boleh terbuka, asal tetap kritis. Silakan 'ke luar’, asalkan tidak tercerabut dari akar budaya tanah tumpah darah. Silakan keluar dari Manggarai, tapi janganlah Manggarai keluar dari diri para insannya.
Pada lagu "Kiong", warga Manggarai diingatkan akan entitas ke-manggarai-annya. Entitas geografis-kultural. "Selat Sape rahit salen. Wae Mokel rahit awon." Ini semacam "Dari Sabang Sampai Marauke”-nya Manggarai. Dalam lagu ini, warga diajak untuk tidak melupakan tanah tumpah darah . "Neka oke kuni agu kalo." Secara geografis-administratif-kepemerintahan, Manggarai sudah terbagi dalam tiga kabupaten. Meski demikian, secara kultural, warganya tetap merasa bersatu dalam sebuah Manggarai Raya.
Banyak atau sedikit, Makarius Arus punya andil merekatkan rasa itu. Tidak lewat pidato di mimbar. Tidak lewat opini di koran. Tapi lewat lagu, yang diciptakan dan dinyanyikannya sendiri, dan pada era 1970-an dibawakannya hanya dengan iringan sebuah gitar yang dimaikannya sendiri pula, sebelum akhirnya ia masuk dapur rekaman "sesungguhnya" pada era 2000-an bersama Rensi Ambang.
Pada tahun 1970-an, ”dapur rekaman” Makarius adalah rumah warga. Di Ruteng, kala itu, ia diundang dari rumah ke rumah. Bernyanyi sambil bergitar dan direkam dengan tape recorder. Jasanya dibayar. Tentu sangat melelahkan kalau sehari ia melayani lima undangan, yang berarti lima kali rekaman. Namun, berkat rekaman door to door itulah lagu-lagunya tersebar dari kaset ke kaset. Tak lama berselang, "Thomas e" masuk rekaman "benaran" oleh De Rozen Group pimpinan MT de Rosari yang saat itu sukses merilis lagu dari 12 kabupaten di NTT.
Makarius Arus seorang tunanetra. Orang kampung. Tinggal di kampung. Tidak bersekolah. Ia sederhana. Notasi lagu-lagunya pun sederhana. Akordnya sederhana. Mudah diingat, mudah dihafalkan. Cara bernyanyinya juga sederhana. Suaranya los, lepas, apa adanya. Tapi, sungguh menyentuh rasa. Karena, dia bernyanyi dengan hati. Hati untuk sebuah Manggarai, tanah tumpah darahnya, kuni agu kalo ne.
Syair lagu-lagunya menunjukkan ia mencintai tumpah darahnya itu. Lewat musik, ia mengabdi, mendidik, menyadarkan, mencerahkan, dan mempersatukannya. Ia penjasa. Karena itu, Manggarai pantas mengenangnya. Pantas memberinya penghargaan.
“Bentara” FLORES POS, Senin 4 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar