Pembakaran Gereja di Kuatan Singingi
Oleh Frans Anggal
Pemprov NTT mengecam pembakaran gereja Katolik di Taluk Kuantang, ibu kota Kabupaten Kuatan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau, Senin 14 April 2011. "Kita mengecam tindakan itu, karena mengganggu kebersamaan dan persaudaraan yang terus dirajut untuk membangun negeri ini," kata Gubernur Frans Lebu Raya.
Ia minta masyarakat NTT sikapi ini dengan tenang dan menjaga suasana kondusif. Sehingga, daerah lain melihat, walaupun beraneka ragam, NTT tetap rukun. "Kita harus biasakan diri untuk selesaikan dengan kepala dingin" (Flores Pos Rabu 13 April 2011).
Kasus Taluk Kuantang pecah usai rapat pleno KPUD Kuasing yang tetapkan pasangan Sukarmis (incumbent) dan Zulkifli sebagai pemenang. Pasangan lainnya, Mursini dan Gumpita, kalah. Ini menyulut kemarahan massa. Mereka lempari kantor KPUD, rumah pejabat, dan rumah ketua KPUD. Mereka juga bakar gereja Katolik (www.detiknews.com).
Pemprov NTT mengecam aksi ini karena "mengganggu kebersamaan dan persaudaraan". Itu benar, dalam tataran bermasyarakat. Sedangkan dalam tataran bernegara, yang terjadi itu menghujam sendi dasar republik. Republik yang berdiri di atas penghargaan terhadap keberagaman.
Gubernur Riau Rusli Zainal bilang, pembakaran gereja itu bukan karena SARA. Ini tidak masuk akal. Kalau bukan karena SARA, kenapa gereja dibakar?
Kita harus jujur katakan dan akui, ini masalah SARA. Ini perilaku intoleran dan kekerasan massa yang bermotif agama. Dan ini sudah sering terjadi. Gereja selalu bisa dibakar karena alasan apa pun. Masalah IMB, gereja dibakar: kasus di Kecamatan Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, Januari 2010. Masalah vonis di pengadilan, gereja dibakar: kasus di Temanggung, Jawa Tengah, Februari 2011. Sekarang, di Taluk Kuantang, masalah pemilukada, gereja dibakar.
Keberulangan seperti ini menunjukkan apa? Lemahnya penegakan hukum dan etika politik hidup bersama. Akibatnya, prinsip dasar bernegara, seperti pluralisme, hak asasi manusia, dalam hal ini hak beragama dan menjalankan ibadah sebagaimana dimaksud konstitusi, selalu dilanggar.
Ada beberapa faktor penyebab. Pertama, terus dibiarkan dan dibiakkannya kelompok berbasis keagamaan garis keras yang tak menyukai toleransi. Pernyataan Ketua Komisi JPIC Keuskupan Agung Kupang Romo Leo Mali Pr sangat tepat. "Aksi tersebut akibat dari pembiaran yang dilakukan oleh negara kepada kelompok-kelompok tetentu."
Kedua, aparat keamanan lamban dan cenderung melakukan pembiaran terhadap perilaku main hakim sendiri oleh masyarakat. Ketiga, aturan hukum sering tidak mampu menyentuh para pelaku kekerasan sehingga perilaku main hakim sendiri makin tumbuh subur. Keempat, ada dugaan tindak kekerasan juga dikarenakan oleh sistem birokrasi yang korup (Siaran Pers Perhimpunan Pendidikan Demokrasi/P2D 26 January 2010).
Tidak ada cara lain. Negara harus tegas. Pertama, tegas menindak para pelaku. Kedua, tegas berpijak pada ayat konstitusi, dan hanya pada ayat konstitusi, bukan pada ayat kitab suci. Konstitusi UUD 1945 jelas-tegas nyatakan negara menjamin warganya memeluk agama dan kepercayan serta beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Perlindungan konstitusional warga negara dalam pasal 28 E ayat 1 dan 2 serta pasal 29 ayat 2 UUD 1945 ini kini seolah-olah menjadi teks tanpa makna. Teks tanpa kekuatan legal. Sungguh menyedihkan!
“Bentara” FLORES POS, Rabu 13 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar