Rencana Eksplorasi Mangan di Manggarai Timur
Oleh Frans Anggal
Ketua Komisi JPIC SVD Ruteng Pater Simon Suban Tukan SVD meminta Pemkab Manggarai Timur (1) hentikan rencana eksplorasi tambang mangan di Desa Nampar Sepang, Kecamatan Sambirampas, (2) mencabut izin pertambangan, (3) mendukung usaha masyarakat di bidang kelautan dan pertanian (Flores Pos Selasa 12 Januari 2011).
Pater Simon hanya menegas ulang sikap masyarakat Nampar Sepang. Sebanyak 338 warga sudah menandatangani pernyataan tolak tambang. Alasan penolakan sangat rasional. Areal eksplorasi berada dekat permukiman, persawahan, dan mata air.
Bagi masyarakat Manggarai, permukiman atau perkampungan (beo) yang terdiri dari rumah (mbaru), serta persawahan atau kebun (uma) dan mata air (wae) merupakan satu kesatuan integratif dan holistik yang membentuk ruang hidup (Lebensraum). Satu saja dari keempat unsur ini dirusakkan maka keseluruhan ruang hidup itu terganggu.
Pada kasus Nampar Sepang, yang terancam dirusakkan tambang bukan hanya satu unsur, tapi semu unsur ruang hidup. Tambang akan menghancurkan rumah, kampung, sawah, dan mata air. Hanya warga yang tidak waras yang menganggap ancaman ini bukan apa-apa. Dan hanya pemkab yang tidak waras yang membiarkannya.
Dalam kasus tambang di tiga kabupaten Manggarai Raya, kita selalu menyaksikan kenyataan yang sama. Masyarakat adat, terancam oleh kapitalis tambang, sekaligus terlantar oleh pemkabnya sendiri. Menghadapi kesewenangan tambang, mereka berjuang sendirian. Syukur kalau didampingi LSM.
Pertanyaan kita: di manakah bupati, wabup, dan anggota DPRD? Mereka pasti ada di mana-mana, tapi tidak di pihak rakyat. Mereka, yang mengemis suara rakyat saat pemilu dan pemilukada, kini menjadi pemilik kedaulatan. Begitu terpilih dan dilantik, mereka memutuskan hubungan historisnya dengan rakyat. Mereka lalu menjadi pengemis baru. Bukan lagi pada rakyat, tetapi pada penguasa lebih tinggi dan pengusaha lebih besar.
Hubungan dengan yang lebih tinggi dan lebih besar itu berupa hubungan transaksional yang tak ada kaitannya dengan politik ideologi. Ini melulu hubungan komersial. Perkara uang dan segala sesuatu yang membutuhkannya. Pada uanglah politik bergantung. Dengan uanglah persaingan ideologi diselesaikan. Betul-betul keuangan yang maha-esa.
Maka, tak heran, demi uang, banyak calon kepala daerah mengijonkan proyek-proyek APBD kepada para pemodal. Demi uang, banyak kepala daerah atau calon kepala daerah menggadaikan wilayahnya kapada kapitalis tambang. Tak heran, kapitalis tambang terkesan begitu arogan saat bersengketa dengan masyarakat. Tak heran pula, bupati terkesan begitu tak berdaya di hadapan sengketa itu.
Pada kasus tambang di Manggarai Raya, kita saksikan, pemkab tak berdaya. Lalu memilih absen. Cari aman. Paling jauh, lakukan mediasi. Belum berani lakukan advokasi. Ini mencengangkan. Tidak berani membela rakyat yang suaranya ia butuhkan saat pemilukada. Lebih membela supporter (pendukung/pembiaya) ketimbang voter (pemilih).
Itulah kondisinya. Dalam kondisi itulah masyarakat Nampar Sepang berteriak tolak rencana eksplorasi mangan. Beranikah bupati mendengarkan mereka dan berpihak pada mereka? Semestinya berani. Sebab, ia sudah tegas nyatakan tolak tambang dalam pertemuan dengan warga Manggarai Raya di Jakarta, Jumat 10 Desember 2010. Tolak tambang? Hmmm. Di Nampar Sepang ini apa?
“Bentara” FLORES POS, Rabu 13 April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar